Gambaran para tokoh partai politik saat ini jauh beda dengan ketangguhan para elit Parpol di era kemerdekaan negara ini. Umumnya para politisi negara ini selain negarawan juga memiliki ketegasan konsep dalam perjuangan. Wadah partai bagi mereka hanya sebagai alat untuk melanggengkan gagasannya untuk dipakai dalam membangun negara ini. Karenanya, kepiguran toloh politik dalam partai terasa dalam warna dan gerak partai tersebut di masyarakat.
Sebut saja Partai Nasinasionalis Indonesia Pimpinan Soekarno, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia Pimpinan Muhammad Natsir, Partai Komunis Indonesia Pimpinan DN Aidit, Partai Sosialis Indonesia Pimpinan Sutan Sahrir, Partai Nahdlatul Ulama Pimpinan KH Idham Cholid dan lainnya mereka para pendiri negara ini yang kaya dengan gagasan besar. Lewat parpol, ide mereka tersalur secara rapih. Di kalangan bawah, konstituen mengerti benar apa tujuan dari partainya dan apa yang hendak diinginkan dari partai yang dipilihnya.
Terlepas dari kontroversi para tokoh partai tersebut banyak pesan yang dapat diambil bagi erlit politik saat ini. Terumata dalam memimpin partai di negara yang kaya dengan aneka ragam suku, agama, bangsa dan pulau yang diikat dalam nusantara. Dalam catatan sejarah, mereka terlihat ngotot dengan idenya dan berusaha menjejali konstituen dengan paham, orientasi, ideiologi, garis perjuangan hingga agenda-agenda rahasia dalam partainya. Hal itu, dimaksudkan agar pemilih mereka tersadar akan nilai yang disampaikan partai yang mereka pilih.
Masih soal potret Parpol saat itu, umumnya masih terimbas dengan peta politik di belahan dunia. Peta politik dunia di era tahun 50-an masih terikat antara blok Timur dan Barat. Timur yang sosialis dan Barat yang kapitalis. Di luar itu, ada juga yang melakukan kombinasi atas dua arus besar tersebut. Getaran dua blok tersebut terasa dalam sepak terjang Parpol di negara ini. Masing-masing partai berlomba mencari perhatian dengan program partainya. Alih-alih sampai melakukan perebutan kekuasaan di lembaga negara.
Sekedar diketahui, kegigihan partai politik di dunia saat ini, hingga melakukan aksi nekat berupa revolusi sosial. Elemen partai sengaja dimanfaatkan untuk mengornasir massa untuk meruntuhkan sebuah rezim dan membangun rezim baru lewat instrumen partai. Hal ini terjadi dan tercatat dalam sejarah. Kerja besar itu, tentu dilakukan secara matang, terorganisir dan solid. Sebaliknya, sebuah kerja besar tak bakalan terjadi bila dilakukan sacara asal-asalan.
Kembali ke potret elit partai di era 50-an, gagasan besar dalam tubuh partai berpengaruh dalam kerja anggota dewan di parlemen. Dalam catatan, banyak anggota fraksi terlibat diskusi mendalam bahkan memakan waktu berhari-hari padahal yang dibahas terkesan masalah ringan dan sepele. Namun sejatinya dalam, perdebatan itu terdapat kepentingan saling tarik menarik antara ideologi yang satu dengan yang lain. Sementara, masyarakat yang menyaksikan tak merasa dirugikan lantaran para wakilnya memang memperjuangkan apa yang mereka telah keatahu dalam tujuan partainya masing-masing.
Beda dengan yang terjadi saat ini. Terlepas kekuatan dua blok dunia makin pudar, namun di per parah dengan ketidakjelasan orientasi di tubuh partai politik. Parpol kini tak lagi mengedepankan ideologi yang dibawanya. Sumber rujukan yang dipakai pun tak memiliki akar yang jelas. Terkadang, dalam melakukan tinjauan masalah sering kali mengambang dan tak didasarkan pada garis partai. Pertimbangan yang dikedepankan justru didasarkan pada kepentingan sesaat, lobby-lobby yang mengarah pada politik uang.
Pergeseran perilaku dalam Parpol justru meluas dan melanda di kalangan masyarakat. Bila sebelumnya, konstituen disuguhi dan dicerdaskan dengan kesadaran akan diri sendiri, bangsa dan negara hingga peta politik dunia kini justru berbalik pada aksi pembodohan rakyat secara massal. Elit politik justru berlomba menghamburkan uang dan janji untuk meraih kedudukan. Setelah itu lupa kepada yang memilihnya. Untuk menyiasati hal itu, jauh-jauh hari persiapan modal uang dalam jumlah besar dilakukan. Meski dicapai dalam usaha yang tak sah secara hukum.
Masalah lain yang sangat kentara soal rekrutmen kader partai. Siapa saja dapat masuk menjadi anggota partai tententu dan dapat melesat ke posisi strategis. Sementara efek dari masalah itu justru sangat membahayakan. Sebut saja, gejala saat ini pengurus parpol berlomba merekrut para artis untuk menjadi orang nomor atas dalam partai. Sejatinya, partai yang semula dipersiapkan sebagai wahana dalam menyiapkan politisi yang handal justru tak melalui proses yang semestinya. Siapa saja dapat masuk meski hanya jual tampang yang berkantong tebal.
Gurita kerancuan dalam organ partai sangat dirasakan saat ini. Masalah ini tentunya sangat dirasakan oleh rakyat dan negara ini tentunya. Masalah yang muncul dan diselesaikan dengan pertimbangan oleh para ahli dibidangnya namun sebaliknya masalah tersebut diselesaikan tanpa menyentuh akar masalah. Ujung-ujungnya, antara satu problem dengan yang lainnya justru saling berbeda dan saling bertabrakan. Masalah ini sering terjadi akibat ketidakjelasan orientasi yang ada di kepada para elit partai.
Ujug-ujug, arus ketidakpercayaan masyarakat pada Parpol terlihat dari kelahiran calon pemimpin dari tokoh independen. Sosok non partai ini kembali muncul bisa jadi akibat rendahnya kinerja parpol saat ini yang membuat masyarakat lebih percaya pada kinerja tokoh tertentu untuk memimpin mereka. Kefiguran tokoh tersebut, lantaran masih memegang nilai yang terdapat dalam kinerja Parpol di era tahun 50-an. Parpol yang menyadarkan kodrat kemanusiaan pada dirinya bukan menipu lewat politik uang.