Senin, 03 Maret 2008

Mentambut harlah NU ke- 82 2 Februari 2008

Oleh: A. Effendy Choirie, ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H). Sebagai jam’iyyah, NU kini berusia 82 tahun. Sebagai jama’ah, usia NU setua usia pesantren yang mewarisi doktrin Sunni dari Wali Sanga, terutama dalam gaya Sunan Kalijaga di tanah Jawa.Kelahiran NU penjelmaan dari tiga semangat kebangkitan di peralihan abad ke-20. Menghadapi keterpurukan rakyat akibat penjajahan politik dan ekonomi, para ulama membentuk tiga organ yang mewakili tiga semangat kebangkitan: yaitu kebangkitan politik melalui Nahdlatul Wathan (1916), kebangkitan intelektual melalui Tashwirul Afkar (1918), dan kebangkitan ekonomi melalui Nahdlatut Tujjar (1918).Dalam rentang kiprahnya yang tua, NU mengalami lompatan luar biasa dalam gerakan politik (kebangsaan) dan kecendekiaan. Sumbangan NU dalam dua aspek ini tidak bisa diingkari. Dalam aspek yang pertama, NU tampil sebagai pengawal Republik dan penjaga NKRI yang teruji. NU terlibat dalam pembentukan Laskar Hizbullah dan Sabilillah (1945-1949), salah satu cikal bakal TNI, untuk membebaskan Republik dari cengkeraman penjajah.Pada 1945, NU mengeluarkan Resolusi Jihad yang menggelorakan perjuangan para pembela Republik. Melalui wakilnya di PPKI, KH A. Wahid Hasyim, NU menolak “Piagam Jakarta” demi persatuan bangsa.Pada periode pergolakan politik yang mengancam NKRI (1950-1960-an), NU mengecam gerakan separatis berlabel agama seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta, maupun pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Demi menjaga “wibawa religius” pemerintahan, NU pada 1953 menggelari Soekarno dengan julukan waliyyul amri al-dlarûri bi al-syaukah, sebuah pengakuan terhadap keabsahan kekuasaan nasional dalam sudut pandang agama.Kian KukuhPilar kebangsaan NU makin kukuh pada 1984, ketika para ulama pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo menerima Pancasila dan menetapkan NKRI sebagai capaian final seluruh bangsa.Komitmen kebangsaan NU juga dibuktikan saat para ulama membidani kelahiran PKB. Partai yang pendiriannya difasilitasi PB NU itu tidak berasas Islam, tetapi Pancasila dan bersifat kebangsaan. Sejalan dengan garis politik NU, Fraksi Kebangkitan Bangsa di DPR menolak upaya mengembalikan Piagam Jakarta dalam perubahan konstitusi.Dalam aspek yang kedua, NU sejak awal memperjuangkan kebebasan intelektual, dengan menolak upaya penyeragaman mazhab keagamaan oleh Wahabisme. Komite Hijaz yang dibentuk para ulama adalah untuk membela keragaman tafsir atas Islam sebagaimana diwakili para ulama mazhab. Sikap ini membuat NU menjelma menjadi organisasi Islam dengan khazanah intelektual yang sangat kaya.NU mewarisi berjilid-jilid kitab tafsir Alquran, syarah kitab-kitab hadits, fikih, kalam, dlsb. Pluralisme menjadi sesuatu yang tidak asing dalam nalar komunitas Nahdliyin.Gerakan intelektual ini mencapai masa keemasannya ketika NU dipimpin KH Abdurrahman Wahid (1984-1999). NU memperoleh berkat terselubung dari impitan politik Orde Baru. Di tengah struktur politik yang meminggirkan NU, Gus Dur mengambil terobosan kultural penting.Hasilnya mengejutkan. Anak-anak muda NU yang berbasis pesantren tiba-tiba berada di garda depan wacana seputar pluralisme, demokrasi, dan civil society. NU mulai dibicarakan secara luas dan mengundang minat banyak sarjana asing karena pemihakannya yang jelas kepada demokrasi, penegakan HAM, dan civil society.Dari komunitas sarungan, anak-anak muda NU kini banyak terlibat dalam gerakan pengayaan wacana Islam di Indonesia. Sebagian di antara mereka menjadi ikon gerakan liberalisme baru.Berbeda dengan kepeloporannya di bidang kebangsaan dan kecendekiaan yang menjanjikan, pilar ketiga NU, yaitu kemandirian ekonomi, adalah pilar NU yang paling rapuh. Kendati Nahdlatut Tujjar adalah elemen penting dari embrio lahirnya NU, diskursus pengembangan ekonomi umat tampaknya hingga kini tidak menempati urutan prioritas program paling atas. Dari sekian wacana-wacana yang digeluti para kader NU, sedikit sekali yang diceritakan tentang kiprah Nahdlatut Tujjar sebagai pendahulu NU.Tidak heran, wacana entrepreneurship jauh tertinggal ketimbang wacana politik (pilpres, pilkada, sistem pemilu, partai politik, dlsb) atau wacana LSM (demokrasi, HAM, gender, dst). Menjadi pengusaha, tampaknya, di seberang ufuk cita-cita Nahdliyin ketimbang menjadi politisi, tokoh agama, atau LSM.Jihad EkonomiPada 1990, NU mengambil ijtihad ekonomi yang penting. Berkongsi dengan Bank Summa, PB NU membentuk Bank Perkreditan Rakyat Nusumma. Hanya dalam satu tahun, bank yang diorientasikan untuk mengucurkan kredit usaha kecil di pedesaan itu limbung setelah induknya, Summa, rontok dihantam kredit macet.BPR Nusumma kemudian sempat mengalami beberapa kali peralihan kepemilikan saham. Sebelum kembali ke PT Duta Dunia Perintis milik PB NU, mayoritas sahamnya sempat pindah tangan ke PT Jawa Pos dan PT Hawari Sekawan.Pada awal 2006, terdapat 2.300 BPR yang beroperasi di seluruh Indonesia, namun jumlah itu menyusut hingga menjadi 2.000 pada akhir 2006 dan terus berkurang tinggal 1.767. BPR Nusumma adalah proyek ekonomi NU yang kurang berhasil meski tidak gagal total.NU sebenarnya memiliki konsen untuk menggarap bidang perekonomian. NU, misalnya, memiliki Lembaga Perekonomian NU (LPNU) yang tersebar di 24 wilayah dan 207 cabang di seluruh Indonesia. NU juga mempunyai Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU) di 19 wilayah dan 140 cabang.Selain itu, NU mempunyai Induk Koperasi Pesantren (Inkopotren), Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU (LPTKNU), dan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi). Namun, dibanding dengan gerakan tradisi intelektual dan politik, program ekonomi dan pemberdayaan sosial menjadi gerbong terakhir dari lokomotif NU. Program-program NU di bidang ekonomi jauh dari memadai. Sebagian masih wacana dan belum menyentuh masyarakat secara langsung.Dirgahayu Nahdlatul Ulama

Read More..