Senin, 04 Februari 2008

sisi lain candi jiwa batujaya karawang, jabar

Batujaya adalah sebuah desa di tepi Sungai Citarum, sekitar 20 km di sebelah barat laut kota Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Batujaya hanya 20 km dari Ujung Karawang - tempat bermuaranya Sungai Citarum di Laut Jawa yang membentuk delta. Sekitar 25 km ke sebelah timur, terdapat kampung Cibuaya - sebuah kampung yang di kalangan para ahli arkeologi terkenal sebab di dalamnya terdapat situs Cibuaya yang menyingkapkan artefak-artefak penting pra-sejarah (Neolitikum) Jawa Barat dan Indonesia. Cibuaya terletak 5 km dari tepi pantai. Dulu, mungkin Batujaya dan Cibuaya terletak di tepi pantai, sedimentasi Kuarter di wilayah ini sangat aktif.

Batujaya sekarang terletak di tengah hamparan sawah. Telah 22 tahun situs ini digali dan dipelajari para ahli arkeologi Indonesia dan mancanegara. Situs ini pertama kali diketahui tahun 1984, semula berupa bukit-bukit kecil di tengah sawah, penduduk setempat menyebutnya unur-unur (bukit-bukit kecil). Sekarang tak ada lagi bukit-bukit tetapi candi-candi hasil rekonstruksi dan lubang-lubang parit dan terbuka galian para archaeologists.
Hasan Djafar, ahli arkeologi UI, kepala tim penggalian situs Batujaya, menerangkan dengan runtut penemuan situs ini. Penggalian yang telah berlangsung selama 22 tahun ini telah menghasilkan banyak penemuan artefak : bongkah2 bata merah yang kemudian bisa direkonstruksi menjadi candi-candi yang cukup besar, tembikar-tembikar, manik-manik, tablet-tablet tanah liat dan yang mengejutkan dan baru ditemukan tahun 2006 ini (terutama Juli 2006) adalah penemuan puluhan kerangka manusia yang masih utuh dari tengkorak sampai tapak kaki.
Dua orang perempuan ahli arkeologi berkebangsaan Prancis dan Belanda khusus datang ke situs ini untuk mengekskavasi kerangka-kerangka di situs Batujaya, mengambil beberapa sampel tulang dan gigi dan akan melakukan penelitian DNA atas fosil tulang dan gigi guna mendapatkan data karakteristik ragawi yang lebih lengkap. Metode terbaru dalam arkeologi adalah bahwa pengambilan spesimen fosil suatu ras manusia harus dilakukan oleh ahli arkeologi dari ras yang berlainan. Mungkin, ini untuk menghindarkan kontaminasi saat pengambilan sampel. Karena kerangka manusia di Batujaya diperkirakan dari ras Indonesia, yaitu Mongolid, maka yang mengambil sampel adalah orang2 dari ras Eropa (Kaukasoid).
Penelitian lebih dari 20 tahun ini tentu telah menghasilkan beberapa kesimpulan sementara, yaitu : (1) situs ini berumur di ambang pra-sejarah dan sejarah Indonesia (abad ke-4 dan ke-5 Masehi, saat ini batas pra-sejarah dan sejarah Indonesia adalah tahun 400 Masehi), (2) Candi Batujaya terbuat dari batamerah dan mempunyai ciri-ciri candi Budha, (3) tembikar dan manik-manik yang ditemukan adalah dari masa Neolitikum, (4) votive tablets (semacam meterai) dari tanah liat bakar bertuliskan tulisan pendek dalam aksara Palawa.
Implikasi penemuan situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan Indonesia, Jawa khususnya. Situs di pinggir Citarum ini menunjukkan bahwa masyarakat purbakala Indonesia telah cukup terorganisasi dan siap untuk meningkatkan peradaban. Keberadaan Candi Batujaya meruntuhkan mitos bahwa di Jawa Barat tidak ada candi lain selain Candi Cangkuang (candi Syiwa) di Leles Garut. Candi Batujaya justru adalah candi yang paling tua di tanah Jawa yang berasal dari abad ke-4 atau ke-5. Juga, Candi Batujaya ini meruntuhkan mitos bahwa candi-candi yang berumur lebih mudalah yang dibangun dari bata merah setelah candi yang lebih tua dibangun dari batuan gunung (andesitik) (model candi Jawa Tengah ke Jawa Timur).
Aksara di tablet2 tanahliat yang ditemukan di Batujaya sama dengan aksara yang dipakai pada prasasti-prasasti Tarumanagara yang ditemukan lebih tersebar di daerah Jawa Barat. Bagaimana hubungan Batujaya dengan Tarumanegara dan juga kerajaan-kerajaan Sunda sesudahnya (Galuh, Sunda, Pajajaran). Penanggalan absolut dan posisi stratigrafik situs Batujaya dan situs2 lainnya di Jawa Barat akan menjawab hal ini.
Bagaimana pula hubungannya dengan pengaruh pedagang-pedagang India beragama Hindu dan Budha adalah persoalan tersendiri yang harus dijawab. Penggalian dan penelitian di Situs Batujaya masih terus berlangsung, analisis laboratorium atas sampel-sampel artefak dan fosil dari Batujaya masih terus dilakukan. Data hasil analisis DNA pada kerangka2 manusia yang ditemukan di situs ini nanti akan mengungkapkan banyak fakta. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita akan dapat mendengar hasilnya.
Situs Batujaya begitu pentingnya buat prasejarah dan awal sejarah bangsa Indonesia. Dan, situs Batujaya menghadirkan artefak dan kerangka manusia yang begitu lengkapnya, tak pernah dalam sejarah arkeologi ditemukan artefak dan kerangka manusia pembuatnya dalam satu tempat secara sangat lengkap.
Tetapi, penelitian arkeologi di situs Batujaya harus berdampingan dengan kepentingan ekonomi pesawahan Karawang sebagai lumbung padi nasional, dan rencana Pertamina dalam mengembangkan penemuan minyak di Pondok Tengah. Mungkin, tumpang-tindih lahan penelitian dan kepentingan ekonomi kelak akan terjadi.
Secara ekonomi, Situs Batujaya bisa saja dianggap tak menguntungkan, namun dilihat dari sudut kebutuhan memperkuat jati diri bangsa, maka sejarah bangsa yang jelas terbaca adalah sebuah modal pokok untuk berjati diri. Bangsa yang dihapus sejarahnya akan menjadi bangsa yang tidak percaya diri, yang dengan mudah akan dijadikan sasaran dominasi bangsa lain. Siapa tahu Situs Batujaya kelak mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah berbudaya tinggi sejak zaman pra-sejarah pun




Kalo nggak salah sih Candi yg ditemukan pd Situs Batujaya udah hancur semuanya . Oh ya katanya sih Situs Batujaya berhubungan erat dgn hilangnya pengaruh Agama Hindu dan Budha di Indonesia [/img]

Read More..

Candi Jiwa Batujaya Karawang, Jabar


Langsung ke: navigasi, cari Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya Candi atau lebih tepat disebut Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah situs peninggalan Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan juga di Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena merupakan kompleks candi-candi yang berbeda-beda.
Daftar isi [sembunyikan]1 Lokasi 1.1 Cara mengunjungi lokasi 2 Penelitian 3 Arsitektur Bangunan 3.1 Candi Jiwa 4 Penanggalan 5 Sumber rujukan
[sunting] LokasiSitus Batujaya secara administratif terletak di perbatasan antara dua desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar 5 km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di bagian permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak 6 kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter dari utara sungai Citarum. Keberadaan sungai citarum ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap area situs. Sebab tanah di daerah sini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pada musim hujan.
[sunting] Cara mengunjungi lokasiJika menggunakan kendaraan sendiri, dan datang dari Jakarta, ambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang barat dan ambil jurusan Rengasdengklok. Sesampai di sini ambil jurusan Batujaya.
[sunting] PenelitianSitus Batujaya pertama kali ditemukan oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984. Semenjak awal penelitian dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1999, ditemukan tidak kurang dari 13 situs di desa Segaran dan 11 situs di Tegaljaya. Sehingga secara total ada 24 buah situs di kawasan ini.
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di situs Batujaya telah dipugar dan sedang dipugar.
Saat ini ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh tim gabungan Indonesia-Perancis. Hal ini antara lain dimungkinkan berkat bantuan EFEO (École Français d’Extrême-Orient).
[sunting] Arsitektur BangunanDari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
[sunting] Candi JiwaCandi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia.
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata.
[sunting] PenanggalanBerdasarkan analisis radiometri Carbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik China, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.
[sunting] Sumber rujukanSitus Percandian Batujaya, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat (leaflet Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang Wilayah Kerja Propinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, 2003. sumber wikipedia

Read More..

BAHAN KAJIAN NEOLIBERALISME DALAM KASUS RUU PMA

*Fauzi Fashri
Abstraksi Awal
RUU berisi 36 pasal ini, hanya menitik beratkan bagaimana mengundang pemodal sebanyak-banyaknya dan melayani mereka bak majikan.Tahun 2005 jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri mencapai USD 8,55 miliar yang dinvestasikan pada 785 proyek.Selama Januari hingga Oktober 2006, jumlah modal asing bertambah USD 4,48 miliar yang dinvestasikan pada 770 proyek.Perbaikan investasi dijadikan alasan mempercepat keluarnya RUU PM, setidaknya pada Februari 2007 nanti. Dengan alasan yang sama Bank Dunia juga ikut mendesak RUU ini segera dikeluarkan. Pengurus negara tak pernah menghitung biaya eksternalitas, berupa biaya dan nilai oportunitas sosial dan lingkungan yang dibebankan kepada rakyat di kawasan dimana penanaman modal beroperasi.Biaya eksternalitas bisa dengan mudah dijumpai hampir disemua titik-titik investasi industri ekstraktif dalam bentuk pemiskinan, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.Mulai dari Exxon Mobil di NAD, Laverton Gold di Sumatera selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimantan timur, Arutmin di Kalimantan selatan, Aurora Gold di Kalimantan tengah, PT INCO di Sulawesi selatan, Expan Tomori di Sulawesi tengah, Antam Pomalaa di Sulawesi tenggara. Juga Newmont di Sulawesi utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, juga Newcrest, PT Anggai dan PT Elka Asta Media di Maluku utara, Pertamina di Babelan Bekasi, Lapindo di Sidoarjo hingga Freeport dan Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua. Segala upaya yang dilakukan pengurus negara untuk mengundang investasi mengekstraksi bahan tambang dan migas sebesar-besarnya. Hingga tahun 2005 terdapat 1830 ijin pertambangan mineral dan batubara serta sedikitnya 202 blok migas, yang sebagian besar dikuasai asing. Dari 66 blok migas yang berproduksi sebagian besar diekspor hanya untuk melipat gandakan devisa negara. Tindakan ini telah melahirkan krisis energi yang berujung merugikan rakyat. Kontrak-kontrak jangka panjang migas telah melahirkan krisis migas di NAD yang ditandai dengan tutupnya PT Kertas Kraft Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh Fertilizer. Yang tak lama kemudain disusul krisis gas di Kaltim dan dikawasan lainnya. Belakangan krisis listrik juga terjadi menyusul krisis gas ini, menguatkan bukti rapuhnya ketahanan energi bangsa ini. Pengurus negara lebih suka menerapkan kebijakan suku bunga relatif tinggi. Akibatnya investasi portofolio menjadi pilihan pemodal dan menjadikan Indonesia sebagai ajang spekulasi investasi-investasi jangka pendek. Terbukti jumlah modal yang bergerak di Bursa Saham Jakarta hingga akhir 2005 mencapai 801,25 triliun, dengan lebih dari 4 juta transaksi, yang dijalankan oleh 336 emiten. Angka ini 10 kali lebih besar dari jumlah investasi asing yang masuk pada tahun 2005. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap transaksi spekulasi dan perpindahan uang keluar. Tak sedikitpun pelajaran dari kasus-kasus dan masalah yang terjadi sepanjang 40 tahun, sejak berlakunya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 diatas menjadi rujukan pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reorientasi penyusunan RUU PM. Dimana hampir semua pasalnya sangat terbuka agar dapat menarik modal sebanyak-banyaknya. Tak ada perlakuan berbeda antara investasi asing dan domestik, tak ada pembatasan penguasaan sektor publik. Tidak ada pengaturan investasi dikaitkan dengan national interest. Termasuk pengaturan yang ditujukan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, hingga dikaitkan dengan pengembangan wilayah, alih teknologi hingga pengembangan UKM. Bahkan semangat liberalisasi yang berlebihan melahirkan pasal-pasal sangat tegas tentang peluang investor melakukan transfer dan repatriasi secara bebas dan jaminan bebas nasionalisasi. Melihat subtansi RUU PM yang disusun pemerintah dan mengikuti rapat pembahasannya di Komisi VI DPR RI, terasa sekali pengurus negara hanya bersiap mengundang pemodal sebesar-besarnya, tanpa kehendak mengaturnya. Bangsa ini terbukti tak pernah bebas menentukan keputusan sendiri. Setelah Bank Dunia, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell mengintervensi penyusunan Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUU PM). Saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (15/3/2007) di Jakarta, Lord Powell mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar segala “ganjalan” investasi di tingkat pusat dan daerah. RUU PM akan mengganti peraturan lama yang telah berusia 40 tahun lalu, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970), tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional.Penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi, malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Negeri ini makin bergantung pada kekuatan asing. Saat ini, dominasi modal asing mencapai 70%. Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh. Setidaknya terdapat 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu per hari. Sepanjang 5 tahun terakhir, pertumbuhan angkatan kerja mencapai 6,9 juta jiwa lebih, dimana 2,8 juta tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia.Mereka malah menyusun RUU PM yang berpotensi membahayakan keselamatan dan produktivitas rakyat. RUU ini memperlakukan pemodal, khususnya modal asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. Pemodal juga bebas melakukan repatriasi, mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal hingga bebas nasionalisasi. Sedikitpun tidak nampak upaya sungguh-sungguh melakukan koreksi atas pengelolaan kebijakan ekonomi neoliberal selama ini.Ironisnya, pemerintah dan DPR RI yang harusnya mengubah secara mendasar subtansi RUU PM, justru ngotot segera mengesahkan. Mereka juga menolak melakukan konsultasi pubik yang dimandatkan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Mereka lebih patuh kepada pihak asing, yang secara gamblang disampaikan utusan khusus PM Inggris : mempercepat pengesahan RUU PM. Inggris adalah negara yang memiliki kepentingan sangat besar terhadap penanaman modal di Indonesia. Pada tahun 2005, mereka memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua di negeri ini setelah Singapura. Dominasi modal asing telah menutup akal sehat pemerintah dan DPR Senayan.RUU PM memberikan peluang industri manufaktur memindahkan modalnya ke luar negeri kapan pun. Industri tersebut diantaranya pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%. Akibatnya jaminan atas pekerjaan bagi buruh perempuan akan semakin melemah. Petani juga akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan oleh RUU ini. Pasalnya RUU ini akan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) sepanjang 80 tahun, hak pakai selama 70 tahun. Selain bertentangan dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, RUU ini lebih buruk dibanding peraturan pada masa kolonial Belanda yang hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU selama 75 tahun. Analisis
Substansi pasal yang tidak berpihak pada rakyat dan mengancam kedaulatan negara:
Pasal 1Ayat 3:
Penanaman modal asing adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Kritik: Pemerintah terkesan memberikan kebebasan sangat besar pada modal asing, dengan pernyataan “modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam”, mengindikasikan pemerintah memberikan kesempatan 100% bagi modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah seharusnya memberikan pembatasan pada investasi asing dan mengutamakan pada muatan lokal (local content).
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanam modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia.Kritik: Tidak ada ketetapan bahwa pemerintah menetapkan batas-batas sektoral dalam perekonomian Indonesia terhadap modal asing dan modal besar lainnya. Sektor publik seperti air, listrik, transportasi dll. seharusnya dilindungi.
Pasal 3Ayat 1 (d):
Pemerintah tidak memakai asas keadilan dan kesejahteraan rakyat serta perlindungan terhadap hak warga negara, affirmative action untuk sektor-sektor produksi rakyat, contohnya: industri rumah tangga, pertanian skala kecil, sektor informal, perikanan dan peternakan rakyat. Hal ini seharusnya juga diakomodasi di pasal 4 ayat 2 (a) dan (c).
Pasal 4.Ayat 1:Seperti komentar kami pada ayat 3, pemerintah menunjukkan keengganannya untuk memperhatikan asas keadilan memberantas kemiskinan, tidak memperkuat industri nasional, namun lebih berorientasi mendorong penanaman modal asing secara besar-besaran dan mengingkari perekonomian rakyat dalam Pancasila.
Ayat 2 (a): Pemerintah tidak memperhatikan ikatan masyarakat dengan tanah, aspek budaya, sejarah. Pasal ini mengancam kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, pangan serta aspek kehidupan yang lain.
Pasal 5.
Pasal ini tidak memuat usaha kelompok rakyat sebagai salah satu penanam modal, contohnya koperasi. Sebaliknya pemerintah terlihat lebih mengakomodasi usaha perorangan, padahal usaha perorangan ini justru menyebabkan akumulasi modal pada individu tertentu. Hal ini akan menimbulkan akibat berbahaya jika sewaktu-waktu terjadi pelarian modal ke luar negeri atau pemindahan nama pemegang saham atas nama orang lain yang berakibat pula pada pengalihan aset dan kepemilikan secara besar-besaran dan ilegal. Pasal 6. Pemerintah terkesan memberikan kebebasan atas masuknya penanaman modal asing dengan hak berproduksi yang sangat besar dan kewajiban yang sangat menguntungkan penanam modal, tanpa memikirkan kepentingan dan hak rakyat sendiri. Pemerintah seharusnya melarang untuk memberikan perlakuan yang sama, karena penanam modal asing tidak punya kedudukan dan hak yang sama di wilayah hukum Indonesia.
Pasal 7.
Pasal ini mencerminkan pemerintah berada di bawah wilayah kekuasaan internasional. Seharusnya Pemerintah memuat haknya untuk menguasai kepemilikan penanaman modal dan untuk memberlakukan pengambilalihan negara/nasionalisasi untuk kepentingan publik. Nasionalisasi adalah hak sebuah negara berdaulat untuk kepentingan publik, sejalan dengan pasal 33 UUD 1945.
Pasal 8.
Pasal ini berpotensi untuk terjadinya pelarian modal dan kepemilikan secara tak terbatas yang menyebabkan ketidakpastian hukum atas aset, yang akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Pengalihan aset tidak boleh berlaku untuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, demikian juga sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak”. Dengan demikian repatriasi yang artinya pelarian modal, harus dilarang. Seharusnya ada ketentuan bahwa dana modal harus mengendap di Indonesia selama jangka waktu tertentu.
Pasal 9.
Pasal ini sangat interpretatif, misalnya dalam kata-kata “tanggung jawab hukum, tanggung jawab sosial”. Tanggung jawab sosial dalam konteks korporasi (Corporate Social Responsibility) selalu menggunakan kata “should atau shall”, yang maknanya saran, tetapi bukan “have to” atau kewajiban imperatif. Ini merupakan salah satu bentuk penyuapan sosial. Jangan sampai tanggung jawab sosial hanya sebatas pertanggungan jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) yang bersifat semu atau memuaskan kepentingan korporasi. Kasus dana-dana Freeport untuk aktifitas karitatif sudah dianggap bertanggung jawab secara sosial, padahal makna tanggungjawab sosial lebih dari hanya sekedar pemberian dana karitatif.
Pasal 10
Pasal ini terlihat memberikan hak, fasilitas khusus dan kemudahan pada penggunaan tenaga kerja asing. Padahal penggunaan tenaga kerja asing akan menggusur tenaga kerja lokal. Pasal ini seharusnya memuat jaminan perusahaan untuk menghormati standar tenaga kerja inti (core labour standard) berupa jaminan perlindungan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan pekerja warga negara Indonesia.
Pasal 11.
Pasal ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada masalah dan penyelesaian sengketa perburuhan. Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial itu harus diselesaikan dengan sistem keterwakilan yang seimbang, bukan dengan tripartit yang selama ini komposisinya tidak seimbang. Seharusnya pasal ini memuat mengenai perlindungan tenaga kerja dalam hal fasilitas, kemudahan akses, kesehatan, jaminan kerja dan keselamatan.
Pasal 12.
Pasal ini mengatakan muatan bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka dan tertutup, namun pada kenyataannya tidak ada bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pasal ini sama sekali tidak ditujukan untuk melindungi perekonomian rakyat, sebaliknya sangat mencerminkan semangat neoliberalisme yang berlebihan yang jelas melanggar isi dan makna Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 15.
Pasal ini tidak memasukkan kriteria pelanggaran ham, kekerasan –termasuk kekerasan aparat pemerintah atau perusahaan, perlakuan diskriminasi, pelanggarn dan kerusakan lingkungan, pelaksanaan Amdal, penghormatan atas tradisi dan sistem kepercayaan masyarakat, budaya, ekosistem, kewajiban mensosialisasikan atau diseminasi pengetahuan/informasi adanya kemungkinan dampak lingkungan dari kegiatan usaha kepada msyarakat di sekitarnya, serta kewajiban untuk membagikan nilai lebih keuntungan perusahaan kepada masyarakat, dan kewajiban melakukan perbaikan lingkungan dan sosial paska kegiatan usaha yang berakhir (pasal selanjutnya harus memuat tentang sanksi-sanksi atas tidak dipenuhinya kewajiban di atas).
Pasal 16.
Pasal ini tidak memuat kewajiban penanam modal dalam pemberian jaminan, perlindungan lingkungan dan perlindungan hak kehidupan masyarakat sekitar.
Pasal 17.
Pasal ini berlogika bahwa alokasi dana perbaikan (recovery) oleh perusahaan dilakukan secara bertahap, padahal seharusnya dalam kegiatan usaha eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan maka perusahaan harus memberikan dana deposit di awal sebesar 50% dari total aset untuk menghindari eksploitasi brutal oleh perusahaan. Contoh kewajiban pemberian deposit perusahaan Newmont yang beroperasi di Nevada. Dalam pasal ini pemerintah tercermin melakukan langkah yang kuratif bukan preventif. Pemulihan lokasi tidak hanya berkait dengan rehabilitasi lahan secara fisik (contoh: lokasi operasional perusahan) tetapi terkait juga dengan kesehatan, dan kesiapan masyarakat sekitar.
Pasal 18.(a) Daerah terpencil tidak dapat menjadi alasan bagi pemberian fasilitas kemudahan pada penanaman modal, karena sebagian besar sektor industri ekstratif beroperasi di wilayah tersebut. (b) Bahwa pemberian pembebasan dan keringanan bea masuk barang modal atau mesin tidak akan mendorong produktifitas industri dalam negeri agar mampu memproduksi barang modal, mendorong produktiftas dan alih teknologi.
Pasal 19.
(a) Keberatan jika hak atas tanah diberikan sebagai fasilitas, sebab fasilitas itu akan mengubah hak kepemilikan dan perlindungan, kemudahan akses atas hak kepemilikan rakyat atas tanah, dan perubahan peta penguasaan atas tanah
b) Fasilitas perijinan impor, selama ini tidak pernah jelas tentang peraturan mengenai impor, apalagi adanya pemberian fasilitas atas impor tersebut. Impor tidak mendorong produk dalam negeri, sebaliknya impor justru membawa uang keluar bukan membawa uang masuk dalam devisa negara.
Pasal 20.]
(a) bertentangan dengan UUD 45 pasal 33 dan berlawanan dengan UU pokok Agraria. Didalam UU pokok Agraria, bagian penjelasan disebutkan bahwa Hak Guna Usaha merupakan mekanisme konversi atas hak erpacht, yang diberikan pada masa transisi dari masa revolusi 1945 untuk penataan struktur agraria. Dalam hal ini isi pasal 20 RUU Penanaman Modal tentang Hak Guna Usaha (95 tahun), Hak Guna Bangunan (80 tahun) dan Hak Pakai (70 tahun) itu berarti menghilangkan akses rakyat terhadap tanah sepanjang masa itu.
(b) Kegiatan penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara. Pemerintah tidak diperkenankan memberikan ijin kegiatan penanaman modal atas tanah negara. Pada prinsipnya tanah negara adalah tanah rakyat Indonesia. Pemerintah memfasilitasi rakyat mengambil manfaat atas tanah tersebut secara merata, tidak untuk dialihkan ke penguasaan pribadi/usaha komersial.
Ayat 3:
Ayat ini hanya mempertimbangkan kapasitas produksi lahan dan proses produksi oleh pemilik modal di tempat tersebut. Ayat ini tidak memperhatikan evaluasi dan kepentingan masyarakat sekitarnya sebagai pemegang hak atas tanah (stakeholder).
Ayat 4: Pemberian dan perpanjangan dalam ayat ini seharusnya berdasarkan pada permintaan negara atas jaminan perusahaan untuk tidak melanggar hak asasi manusia secara keseluruhan, seperti rincian tentang perlindungan dan jaminan pada hak pekerja, anak-anak, perempuan dan rakyat sekitarnya.
Pasal 21.
Ayat 1: Pemerintah tidak perlu memberikan kemudahan fasilitas imigrasi. Fasilitas imigrasi seharusnya diberikan dengan standar yang sama pada setiap individu. Pasal 22. Fasilitas tidak perlu diberikan secara istimewa atau khusus. Sudah waktunya pemerintah melarang dengan tegas impor barang-barang sisa/buangan luar negeri yang jelas tidak dapat lagi digunakan di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus tegas menetapkan standar barang impor (bekas/baru).
Pasal 28.
Sebelum menetapkan pasal ini, pemerintah seharusnya menyelesaikan dan melakukan koordinasi kewajiban pembagian tugas dan wewenang pusat dan daerah secara adil dan benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, bukan kesejahteraan pemerintah dan pemilik modal.
Pasal 29.
Catatan: Kawasan ekonomi khusus hanya tercermin memberikan kemudahan bagi kegiatan berproduksi pemilik modal tanpa mencerminkan kepentingan pemerintah pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta wawasan lingkungan hidup. Pemerintah hendaknya menentukan kwasan ini pada kepentingan rakyat dan lingkungan hidup, bukan menjadikan rakyat sekitar menjadi terasing dan tidak mempunyai kemudahan akses apapun atas hidupnya di kawasan tersebut.
Pasal 30.
Ayat 4:
(a) Sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing harus berada dalam wilayah hukum Indonesia, tidak dalam wilayah hukum internasional. Arbitrase internasional terlalu riskan karena kemenangan atas sengketa ditentukan oleh besarnya dana.
(b). Pemerintah tidak memperhatikan kemungkinan adanya sengketa antara rakyat dengan penanam modal. Ini berarti pemerintah hanya memperhatikan kepentingan kegiatan penanaman modal yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
Pasal 31.
(a) Merujuk pada kertas posisi kami Pasal 15 yang berisi: “Paling sedikit menyimpan deposit 50% dari total aset. Dan tidak melanggar hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, tidak melakukan kekerasan dalam pengelolaan serta wajib menjaga, tidak merusak ekosistem dan memenuhi prasyarat dan kewajiban Amdal”. Pemerintah dalam menetapkan sanksi seharusnya berkewajiban melakukan sosialisasi jenis usaha dan dampak kepada masyarakat, dan terutama memperhatikan bentuk-bentuk pelanggaran para penanam modal secara keseluruhan, taat hukum dan konsisten. (b) Pada pasal ini pemerintah hanya menerapkan sanksi administratif, sementara kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan (misalnya pelanggaran Amdal, HAM, kerusakan lingkungan dan kerugian lain) tidak dicantumkan, demikian pula dengan sanksi perdata maupun pidana atas kemungkinan kasus-kasus di atas yang dapat terjadi.
Pasal 34.
Ayat 4: Tidak ada kejelasan tentang batas waktu yang tegas yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang lalu (UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri 1968). Jika misalnya suatu perusahaan sudah melakukan eksploitasi berdasarkan UU PMA 67 atau PMDN 68 sudah habis masa berlakunya atau hampir habis mas berlakunya, jangan sampai ia doberikan kesempatan untuk kembali melakukan eksploitasi berdasarkan UU Penanaman Modal. Sebagai catatan penting, pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal ini tidak mencantumkan sedikitpun tentang ketentuan mengenai keharusan audit terhadap semua aktifitas penanaman modal.
Kesimpulan:
Pertama, RUU ini tidak mengedepankan kepentingan nasional, namun justru melayani internasionalisasi modal. Orientasi kebijakan ekonomi Indonesia masih terlihat berada pada eksploitasi bahan baku, yang berarti ekonomi Indonesia tidak diarahkan pada ekonomi yang bersifat kompetitif. Dengan demikian RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI, karena memfasilitasi modal asing, menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat Indonesia). Pemerintah secara jelas tidak menunjukkan itikad baik untuk menopang kehidupan rakyat sekitar secara khusus dan rakyat secara keseluruhan atas aktifitas penanaman modal, sebaliknya justru menunjukkan indikasi masuknya kolonialisme baru.
Kedua, RUU ini tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK, akibat perusahaan tutup sebagai dampak pindah lokasi usaha. Sementara itu pemerintah justru memfasilitasi kehadiran tenaga kerja asing melalui kemudahan-kemudahan keimigrasian dan fasilitas lainnya, tanpa regulasi khusus mengenainya.
Ketiga, RUU ini memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara, khususnya korporasi.
Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri, seperti investasi pada pabrik garment, sepatu, mainan anak, tekstil, dan industri lainnya yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%, akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembngkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.
Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan dalam sektor tersebut. BAHAN KAJIAN NEOLIBERALISME DALAM KASUS RUU PMA*Fauzi Fashri
Abstraksi Awal
RUU berisi 36 pasal ini, hanya menitik beratkan bagaimana mengundang pemodal sebanyak-banyaknya dan melayani mereka bak majikan.Tahun 2005 jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri mencapai USD 8,55 miliar yang dinvestasikan pada 785 proyek.Selama Januari hingga Oktober 2006, jumlah modal asing bertambah USD 4,48 miliar yang dinvestasikan pada 770 proyek.Perbaikan investasi dijadikan alasan mempercepat keluarnya RUU PM, setidaknya pada Februari 2007 nanti. Dengan alasan yang sama Bank Dunia juga ikut mendesak RUU ini segera dikeluarkan. Pengurus negara tak pernah menghitung biaya eksternalitas, berupa biaya dan nilai oportunitas sosial dan lingkungan yang dibebankan kepada rakyat di kawasan dimana penanaman modal beroperasi.Biaya eksternalitas bisa dengan mudah dijumpai hampir disemua titik-titik investasi industri ekstraktif dalam bentuk pemiskinan, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.Mulai dari Exxon Mobil di NAD, Laverton Gold di Sumatera selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimantan timur, Arutmin di Kalimantan selatan, Aurora Gold di Kalimantan tengah, PT INCO di Sulawesi selatan, Expan Tomori di Sulawesi tengah, Antam Pomalaa di Sulawesi tenggara. Juga Newmont di Sulawesi utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, juga Newcrest, PT Anggai dan PT Elka Asta Media di Maluku utara, Pertamina di Babelan Bekasi, Lapindo di Sidoarjo hingga Freeport dan Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua. Segala upaya yang dilakukan pengurus negara untuk mengundang investasi mengekstraksi bahan tambang dan migas sebesar-besarnya. Hingga tahun 2005 terdapat 1830 ijin pertambangan mineral dan batubara serta sedikitnya 202 blok migas, yang sebagian besar dikuasai asing. Dari 66 blok migas yang berproduksi sebagian besar diekspor hanya untuk melipat gandakan devisa negara. Tindakan ini telah melahirkan krisis energi yang berujung merugikan rakyat. Kontrak-kontrak jangka panjang migas telah melahirkan krisis migas di NAD yang ditandai dengan tutupnya PT Kertas Kraft Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh Fertilizer. Yang tak lama kemudain disusul krisis gas di Kaltim dan dikawasan lainnya. Belakangan krisis listrik juga terjadi menyusul krisis gas ini, menguatkan bukti rapuhnya ketahanan energi bangsa ini. Pengurus negara lebih suka menerapkan kebijakan suku bunga relatif tinggi. Akibatnya investasi portofolio menjadi pilihan pemodal dan menjadikan Indonesia sebagai ajang spekulasi investasi-investasi jangka pendek. Terbukti jumlah modal yang bergerak di Bursa Saham Jakarta hingga akhir 2005 mencapai 801,25 triliun, dengan lebih dari 4 juta transaksi, yang dijalankan oleh 336 emiten. Angka ini 10 kali lebih besar dari jumlah investasi asing yang masuk pada tahun 2005. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap transaksi spekulasi dan perpindahan uang keluar. Tak sedikitpun pelajaran dari kasus-kasus dan masalah yang terjadi sepanjang 40 tahun, sejak berlakunya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 diatas menjadi rujukan pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reorientasi penyusunan RUU PM. Dimana hampir semua pasalnya sangat terbuka agar dapat menarik modal sebanyak-banyaknya. Tak ada perlakuan berbeda antara investasi asing dan domestik, tak ada pembatasan penguasaan sektor publik. Tidak ada pengaturan investasi dikaitkan dengan national interest. Termasuk pengaturan yang ditujukan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, hingga dikaitkan dengan pengembangan wilayah, alih teknologi hingga pengembangan UKM. Bahkan semangat liberalisasi yang berlebihan melahirkan pasal-pasal sangat tegas tentang peluang investor melakukan transfer dan repatriasi secara bebas dan jaminan bebas nasionalisasi. Melihat subtansi RUU PM yang disusun pemerintah dan mengikuti rapat pembahasannya di Komisi VI DPR RI, terasa sekali pengurus negara hanya bersiap mengundang pemodal sebesar-besarnya, tanpa kehendak mengaturnya. Bangsa ini terbukti tak pernah bebas menentukan keputusan sendiri. Setelah Bank Dunia, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell mengintervensi penyusunan Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUU PM). Saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (15/3/2007) di Jakarta, Lord Powell mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar segala “ganjalan” investasi di tingkat pusat dan daerah. RUU PM akan mengganti peraturan lama yang telah berusia 40 tahun lalu, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970), tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional.Penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi, malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Negeri ini makin bergantung pada kekuatan asing. Saat ini, dominasi modal asing mencapai 70%. Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh. Setidaknya terdapat 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu per hari. Sepanjang 5 tahun terakhir, pertumbuhan angkatan kerja mencapai 6,9 juta jiwa lebih, dimana 2,8 juta tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia.Mereka malah menyusun RUU PM yang berpotensi membahayakan keselamatan dan produktivitas rakyat. RUU ini memperlakukan pemodal, khususnya modal asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. Pemodal juga bebas melakukan repatriasi, mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal hingga bebas nasionalisasi. Sedikitpun tidak nampak upaya sungguh-sungguh melakukan koreksi atas pengelolaan kebijakan ekonomi neoliberal selama ini.Ironisnya, pemerintah dan DPR RI yang harusnya mengubah secara mendasar subtansi RUU PM, justru ngotot segera mengesahkan. Mereka juga menolak melakukan konsultasi pubik yang dimandatkan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Mereka lebih patuh kepada pihak asing, yang secara gamblang disampaikan utusan khusus PM Inggris : mempercepat pengesahan RUU PM. Inggris adalah negara yang memiliki kepentingan sangat besar terhadap penanaman modal di Indonesia. Pada tahun 2005, mereka memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua di negeri ini setelah Singapura. Dominasi modal asing telah menutup akal sehat pemerintah dan DPR Senayan.RUU PM memberikan peluang industri manufaktur memindahkan modalnya ke luar negeri kapan pun. Industri tersebut diantaranya pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%. Akibatnya jaminan atas pekerjaan bagi buruh perempuan akan semakin melemah. Petani juga akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan oleh RUU ini. Pasalnya RUU ini akan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) sepanjang 80 tahun, hak pakai selama 70 tahun. Selain bertentangan dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, RUU ini lebih buruk dibanding peraturan pada masa kolonial Belanda yang hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU selama 75 tahun. Analisis
Substansi pasal yang tidak berpihak pada rakyat dan mengancam kedaulatan negara:
Pasal 1Ayat 3:
Penanaman modal asing adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Kritik: Pemerintah terkesan memberikan kebebasan sangat besar pada modal asing, dengan pernyataan “modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam”, mengindikasikan pemerintah memberikan kesempatan 100% bagi modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah seharusnya memberikan pembatasan pada investasi asing dan mengutamakan pada muatan lokal (local content).
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanam modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia.Kritik: Tidak ada ketetapan bahwa pemerintah menetapkan batas-batas sektoral dalam perekonomian Indonesia terhadap modal asing dan modal besar lainnya. Sektor publik seperti air, listrik, transportasi dll. seharusnya dilindungi.
Pasal 3Ayat 1 (d):
Pemerintah tidak memakai asas keadilan dan kesejahteraan rakyat serta perlindungan terhadap hak warga negara, affirmative action untuk sektor-sektor produksi rakyat, contohnya: industri rumah tangga, pertanian skala kecil, sektor informal, perikanan dan peternakan rakyat. Hal ini seharusnya juga diakomodasi di pasal 4 ayat 2 (a) dan (c).
Pasal 4.Ayat 1:Seperti komentar kami pada ayat 3, pemerintah menunjukkan keengganannya untuk memperhatikan asas keadilan memberantas kemiskinan, tidak memperkuat industri nasional, namun lebih berorientasi mendorong penanaman modal asing secara besar-besaran dan mengingkari perekonomian rakyat dalam Pancasila.
Ayat 2 (a): Pemerintah tidak memperhatikan ikatan masyarakat dengan tanah, aspek budaya, sejarah. Pasal ini mengancam kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, pangan serta aspek kehidupan yang lain.
Pasal 5.
Pasal ini tidak memuat usaha kelompok rakyat sebagai salah satu penanam modal, contohnya koperasi. Sebaliknya pemerintah terlihat lebih mengakomodasi usaha perorangan, padahal usaha perorangan ini justru menyebabkan akumulasi modal pada individu tertentu. Hal ini akan menimbulkan akibat berbahaya jika sewaktu-waktu terjadi pelarian modal ke luar negeri atau pemindahan nama pemegang saham atas nama orang lain yang berakibat pula pada pengalihan aset dan kepemilikan secara besar-besaran dan ilegal. Pasal 6. Pemerintah terkesan memberikan kebebasan atas masuknya penanaman modal asing dengan hak berproduksi yang sangat besar dan kewajiban yang sangat menguntungkan penanam modal, tanpa memikirkan kepentingan dan hak rakyat sendiri. Pemerintah seharusnya melarang untuk memberikan perlakuan yang sama, karena penanam modal asing tidak punya kedudukan dan hak yang sama di wilayah hukum Indonesia.
Pasal 7.
Pasal ini mencerminkan pemerintah berada di bawah wilayah kekuasaan internasional. Seharusnya Pemerintah memuat haknya untuk menguasai kepemilikan penanaman modal dan untuk memberlakukan pengambilalihan negara/nasionalisasi untuk kepentingan publik. Nasionalisasi adalah hak sebuah negara berdaulat untuk kepentingan publik, sejalan dengan pasal 33 UUD 1945.
Pasal 8.
Pasal ini berpotensi untuk terjadinya pelarian modal dan kepemilikan secara tak terbatas yang menyebabkan ketidakpastian hukum atas aset, yang akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Pengalihan aset tidak boleh berlaku untuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, demikian juga sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak”. Dengan demikian repatriasi yang artinya pelarian modal, harus dilarang. Seharusnya ada ketentuan bahwa dana modal harus mengendap di Indonesia selama jangka waktu tertentu.
Pasal 9.
Pasal ini sangat interpretatif, misalnya dalam kata-kata “tanggung jawab hukum, tanggung jawab sosial”. Tanggung jawab sosial dalam konteks korporasi (Corporate Social Responsibility) selalu menggunakan kata “should atau shall”, yang maknanya saran, tetapi bukan “have to” atau kewajiban imperatif. Ini merupakan salah satu bentuk penyuapan sosial. Jangan sampai tanggung jawab sosial hanya sebatas pertanggungan jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) yang bersifat semu atau memuaskan kepentingan korporasi. Kasus dana-dana Freeport untuk aktifitas karitatif sudah dianggap bertanggung jawab secara sosial, padahal makna tanggungjawab sosial lebih dari hanya sekedar pemberian dana karitatif.
Pasal 10
Pasal ini terlihat memberikan hak, fasilitas khusus dan kemudahan pada penggunaan tenaga kerja asing. Padahal penggunaan tenaga kerja asing akan menggusur tenaga kerja lokal. Pasal ini seharusnya memuat jaminan perusahaan untuk menghormati standar tenaga kerja inti (core labour standard) berupa jaminan perlindungan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan pekerja warga negara Indonesia.
Pasal 11.
Pasal ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada masalah dan penyelesaian sengketa perburuhan. Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial itu harus diselesaikan dengan sistem keterwakilan yang seimbang, bukan dengan tripartit yang selama ini komposisinya tidak seimbang. Seharusnya pasal ini memuat mengenai perlindungan tenaga kerja dalam hal fasilitas, kemudahan akses, kesehatan, jaminan kerja dan keselamatan.
Pasal 12.
Pasal ini mengatakan muatan bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka dan tertutup, namun pada kenyataannya tidak ada bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pasal ini sama sekali tidak ditujukan untuk melindungi perekonomian rakyat, sebaliknya sangat mencerminkan semangat neoliberalisme yang berlebihan yang jelas melanggar isi dan makna Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 15.
Pasal ini tidak memasukkan kriteria pelanggaran ham, kekerasan –termasuk kekerasan aparat pemerintah atau perusahaan, perlakuan diskriminasi, pelanggarn dan kerusakan lingkungan, pelaksanaan Amdal, penghormatan atas tradisi dan sistem kepercayaan masyarakat, budaya, ekosistem, kewajiban mensosialisasikan atau diseminasi pengetahuan/informasi adanya kemungkinan dampak lingkungan dari kegiatan usaha kepada msyarakat di sekitarnya, serta kewajiban untuk membagikan nilai lebih keuntungan perusahaan kepada masyarakat, dan kewajiban melakukan perbaikan lingkungan dan sosial paska kegiatan usaha yang berakhir (pasal selanjutnya harus memuat tentang sanksi-sanksi atas tidak dipenuhinya kewajiban di atas).
Pasal 16.
Pasal ini tidak memuat kewajiban penanam modal dalam pemberian jaminan, perlindungan lingkungan dan perlindungan hak kehidupan masyarakat sekitar.
Pasal 17.
Pasal ini berlogika bahwa alokasi dana perbaikan (recovery) oleh perusahaan dilakukan secara bertahap, padahal seharusnya dalam kegiatan usaha eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan maka perusahaan harus memberikan dana deposit di awal sebesar 50% dari total aset untuk menghindari eksploitasi brutal oleh perusahaan. Contoh kewajiban pemberian deposit perusahaan Newmont yang beroperasi di Nevada. Dalam pasal ini pemerintah tercermin melakukan langkah yang kuratif bukan preventif. Pemulihan lokasi tidak hanya berkait dengan rehabilitasi lahan secara fisik (contoh: lokasi operasional perusahan) tetapi terkait juga dengan kesehatan, dan kesiapan masyarakat sekitar.
Pasal 18.(a) Daerah terpencil tidak dapat menjadi alasan bagi pemberian fasilitas kemudahan pada penanaman modal, karena sebagian besar sektor industri ekstratif beroperasi di wilayah tersebut. (b) Bahwa pemberian pembebasan dan keringanan bea masuk barang modal atau mesin tidak akan mendorong produktifitas industri dalam negeri agar mampu memproduksi barang modal, mendorong produktiftas dan alih teknologi.
Pasal 19.
(a) Keberatan jika hak atas tanah diberikan sebagai fasilitas, sebab fasilitas itu akan mengubah hak kepemilikan dan perlindungan, kemudahan akses atas hak kepemilikan rakyat atas tanah, dan perubahan peta penguasaan atas tanah
b) Fasilitas perijinan impor, selama ini tidak pernah jelas tentang peraturan mengenai impor, apalagi adanya pemberian fasilitas atas impor tersebut. Impor tidak mendorong produk dalam negeri, sebaliknya impor justru membawa uang keluar bukan membawa uang masuk dalam devisa negara.
Pasal 20.]
(a) bertentangan dengan UUD 45 pasal 33 dan berlawanan dengan UU pokok Agraria. Didalam UU pokok Agraria, bagian penjelasan disebutkan bahwa Hak Guna Usaha merupakan mekanisme konversi atas hak erpacht, yang diberikan pada masa transisi dari masa revolusi 1945 untuk penataan struktur agraria. Dalam hal ini isi pasal 20 RUU Penanaman Modal tentang Hak Guna Usaha (95 tahun), Hak Guna Bangunan (80 tahun) dan Hak Pakai (70 tahun) itu berarti menghilangkan akses rakyat terhadap tanah sepanjang masa itu.
(b) Kegiatan penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara. Pemerintah tidak diperkenankan memberikan ijin kegiatan penanaman modal atas tanah negara. Pada prinsipnya tanah negara adalah tanah rakyat Indonesia. Pemerintah memfasilitasi rakyat mengambil manfaat atas tanah tersebut secara merata, tidak untuk dialihkan ke penguasaan pribadi/usaha komersial.
Ayat 3:
Ayat ini hanya mempertimbangkan kapasitas produksi lahan dan proses produksi oleh pemilik modal di tempat tersebut. Ayat ini tidak memperhatikan evaluasi dan kepentingan masyarakat sekitarnya sebagai pemegang hak atas tanah (stakeholder).
Ayat 4: Pemberian dan perpanjangan dalam ayat ini seharusnya berdasarkan pada permintaan negara atas jaminan perusahaan untuk tidak melanggar hak asasi manusia secara keseluruhan, seperti rincian tentang perlindungan dan jaminan pada hak pekerja, anak-anak, perempuan dan rakyat sekitarnya.
Pasal 21.
Ayat 1: Pemerintah tidak perlu memberikan kemudahan fasilitas imigrasi. Fasilitas imigrasi seharusnya diberikan dengan standar yang sama pada setiap individu. Pasal 22. Fasilitas tidak perlu diberikan secara istimewa atau khusus. Sudah waktunya pemerintah melarang dengan tegas impor barang-barang sisa/buangan luar negeri yang jelas tidak dapat lagi digunakan di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus tegas menetapkan standar barang impor (bekas/baru).
Pasal 28.
Sebelum menetapkan pasal ini, pemerintah seharusnya menyelesaikan dan melakukan koordinasi kewajiban pembagian tugas dan wewenang pusat dan daerah secara adil dan benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, bukan kesejahteraan pemerintah dan pemilik modal.
Pasal 29.
Catatan: Kawasan ekonomi khusus hanya tercermin memberikan kemudahan bagi kegiatan berproduksi pemilik modal tanpa mencerminkan kepentingan pemerintah pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta wawasan lingkungan hidup. Pemerintah hendaknya menentukan kwasan ini pada kepentingan rakyat dan lingkungan hidup, bukan menjadikan rakyat sekitar menjadi terasing dan tidak mempunyai kemudahan akses apapun atas hidupnya di kawasan tersebut.
Pasal 30.
Ayat 4:
(a) Sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing harus berada dalam wilayah hukum Indonesia, tidak dalam wilayah hukum internasional. Arbitrase internasional terlalu riskan karena kemenangan atas sengketa ditentukan oleh besarnya dana.
(b). Pemerintah tidak memperhatikan kemungkinan adanya sengketa antara rakyat dengan penanam modal. Ini berarti pemerintah hanya memperhatikan kepentingan kegiatan penanaman modal yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
Pasal 31.
(a) Merujuk pada kertas posisi kami Pasal 15 yang berisi: “Paling sedikit menyimpan deposit 50% dari total aset. Dan tidak melanggar hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, tidak melakukan kekerasan dalam pengelolaan serta wajib menjaga, tidak merusak ekosistem dan memenuhi prasyarat dan kewajiban Amdal”. Pemerintah dalam menetapkan sanksi seharusnya berkewajiban melakukan sosialisasi jenis usaha dan dampak kepada masyarakat, dan terutama memperhatikan bentuk-bentuk pelanggaran para penanam modal secara keseluruhan, taat hukum dan konsisten. (b) Pada pasal ini pemerintah hanya menerapkan sanksi administratif, sementara kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan (misalnya pelanggaran Amdal, HAM, kerusakan lingkungan dan kerugian lain) tidak dicantumkan, demikian pula dengan sanksi perdata maupun pidana atas kemungkinan kasus-kasus di atas yang dapat terjadi.
Pasal 34.
Ayat 4: Tidak ada kejelasan tentang batas waktu yang tegas yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang lalu (UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri 1968). Jika misalnya suatu perusahaan sudah melakukan eksploitasi berdasarkan UU PMA 67 atau PMDN 68 sudah habis masa berlakunya atau hampir habis mas berlakunya, jangan sampai ia doberikan kesempatan untuk kembali melakukan eksploitasi berdasarkan UU Penanaman Modal. Sebagai catatan penting, pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal ini tidak mencantumkan sedikitpun tentang ketentuan mengenai keharusan audit terhadap semua aktifitas penanaman modal.
Kesimpulan:
Pertama, RUU ini tidak mengedepankan kepentingan nasional, namun justru melayani internasionalisasi modal. Orientasi kebijakan ekonomi Indonesia masih terlihat berada pada eksploitasi bahan baku, yang berarti ekonomi Indonesia tidak diarahkan pada ekonomi yang bersifat kompetitif. Dengan demikian RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI, karena memfasilitasi modal asing, menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat Indonesia). Pemerintah secara jelas tidak menunjukkan itikad baik untuk menopang kehidupan rakyat sekitar secara khusus dan rakyat secara keseluruhan atas aktifitas penanaman modal, sebaliknya justru menunjukkan indikasi masuknya kolonialisme baru.
Kedua, RUU ini tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK, akibat perusahaan tutup sebagai dampak pindah lokasi usaha. Sementara itu pemerintah justru memfasilitasi kehadiran tenaga kerja asing melalui kemudahan-kemudahan keimigrasian dan fasilitas lainnya, tanpa regulasi khusus mengenainya.
Ketiga, RUU ini memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara, khususnya korporasi.
Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri, seperti investasi pada pabrik garment, sepatu, mainan anak, tekstil, dan industri lainnya yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%, akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembngkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.
Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan dalam sektor tersebut. dari berbagai sumber


Read More..

Situs Arkeologi Babad sejarah Kampung Buni, babelan, Bekasi

Matahari belum terik ketika Tua Masna menyebar benih padi di petak sawah milik H Jari. Pandangan perempuan asal Kampung Buni, Desa Muara Bakti, Babelan, itu tiba-tiba tertuju pada satu benda dengan warna keemasan, mencuat dari lubang di lahan sawah yang becek.
Tua Masna mengorek benda yang terbenam itu. Setelah benda itu dicuci sekadarnya, Tua Masna terkejut karena ternyata giwang emas. Lantaran masih tak yakin, Tua Masna lalu membawa temuannya itu ke seorang tukang emas di kampungnya.
"Setelah diperiksa, ternyata giwang itu memang dari emas. Penduduk di kampung ini lantas beramai-ramai menggali di sawah milik H Jari sampai sawah itu rusak," kata Sakihudin (52), cucu Tua Masna, menuturkan peristiwa yang terjadi sekitar 46 tahun silam tersebut.
Menyusul penemuan Tua Masna, penggalian liar di kampung ini tak terbendung. Semakin banyak warga Kampung Buni yang menemukan perhiasan emas. Tidak jarang pula mereka menemukan kerangka manusia atau periuk kuno di dekat kerangka itu saat sedang menggali.
Penggalian liar oleh warga dapat dilarang beberapa kali, baik oleh pemilik sawah maupun pemerintah, namun tetap saja ada yang secara sembunyi-sembunyi melakukan penggalian. Sakihudin menuturkan, karena banyaknya penemuan perhiasan emas dan seringnya warga bertransaksi menjual emas, Kampung Buni lalu lebih dikenal dengan nama Kampung Pasar Mas.
Membuka rahasia
Penemuan Tua Masna dan warga Kampung Buni itu sendiri menjadi kunci yang membuka rahasia sejarah peradaban manusia Indonesia. Dari hasil penelitian arkeolog yang dilakukan beberapa tahun setelah penemuan giwang emas, tanah di Kampung Buni ini diketahui menyimpan peninggalan arkeologi dari masa prasejarah hingga masa berdirinya kerajaan tertua di Jawa, yakni Tarumanegara.
"Benda-benda peninggalan arkeologi yang ditemukan di Buni menunjukkan bukti adanya kehidupan masyarakat zaman akhir prasejarah di pantai utara Jawa Barat hingga masa Kerajaan Tarumanegara," kata Hasan Djafar, arkeolog dari Universitas Indonesia, Rabu (30/5).
Hasil penelitian para arkeolog juga menunjukkan, benda-benda tinggalan arkeologi serupa di Buni ternyata ditemukan pula di tempat lain. Daerah sebarannya luas, meliputi sepanjang pesisir pantai utara Jawa Barat, mulai Tangerang, Jakarta, Bekasi, hingga Karawang dan Cirebon.
Dalam dunia arkeologi, daerah sebarannya itu dikenal dengan istilah kompleks tembikar Buni (Buni Pottery Complex). Sejumlah arkeolog juga menyebut daerah sebaran tembikar Buni itu dengan Horison Buni.
Beberapa bukti peninggalan arkeologi sezaman yang sudah ditemukan antara lain prasasti Tugu di Cilincing, Jakarta Utara, dan kompleks candi tertua di situs Batujaya di Karawang.
Sayangnya, penggalian liar dan penjarahan perhiasan selama hampir tiga dasawarsa nyaris merusak seluruh bukti sejarah peradaban Nusantara di Kampung Buni. Kondisi ini diperparah dengan pembangunan terusan kanal Cikarang Bekasi Laut sekitar tahun 1980.
Dari sejumlah temuan yang dapat diselamatkan, bukti peninggalan Buni ini meliputi peralatan batu dari masa neolitik, artefak dan perhiasan dari masa perunggu, hingga perhiasan dari masa Kerajaan Tarumanegara.
Bercocok tanam
Hasan menambahkan, dari peninggalan arkeologi yang ditemukan, masyarakat di sepanjang pesisir utara Jawa Barat, termasuk di Kampung Buni, diketahui sudah mengenal budaya bercocok tanam dengan teknologi bertani. Komunitas Buni juga sudah menjalin kontak dengan bangsa India, diperkirakan mulai abad ke-2 Masehi.
Dari sejumlah tulisan dan referensi lain yang diperoleh, bukti-bukti hubungan dua peradaban, Nusantara dan India, antara lain dari penemuan gerabah atau tembikar Arikamedu, berasal dari pelabuhan di India selatan, di sejumlah situs arkeologi di Tanah Air, termasuk Buni.
Sisa peninggalan bersejarah itu hingga kini masih tersimpan di lahan-lahan milik warga Buni. Sakihudin menuturkan, Pemerintah Kabupaten Bekasi pernah berencana menjadikan kampung itu sebagai kawasan situs sehingga peninggalan arkeologi yang ada dapat diselamatkan.
"Dulu pernah ada rencana untuk melindungi situs ini, tetapi sampai sekarang belum terwujud. Sampai saat ini tidak ada perhatian terhadap situs ini," ujar Sakihudin. (cok) dari berbagai sumber

Read More..

PKB Dukung Agum-Nu’man


Bandung.Globalnews.Jajaran pengurus baru DPW PKB Jabar periode 2006 – 2011 dituntut untuk melakukan konsilodasi maupun kaderisasi dalam upaya memenangkan pemilu yang akan datang, untuk itu DPW PKB Jabar harus segera melakukan penataan kembali kepengurusan partai di cabang-cabang, karena dalam kepengurusannya kali ini DPW PKB Jabar di isi oleh kader-kader yang benar-benar teruji kualitasnya maupun kinerjanya, untuk itu DPW PKB Jabar pun harus dapat menunjukan kerja nyata bersama masyarakat dimana hal inipun sesuai dengan yang di amanatkan dalam Muktamar ke-II di Semarang beberapa waktu yang lalu, bahwa PKB merupakan partai rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hal inilah yang dikemukakan Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar yang juga wakil ketua DPR RI, seusai melantik kepengurusan baru DPW PKB Jabar di Hotel Horison Bandung, Jl. Pelajar Pejuang, Sabtu (24/6), yang di hadiri oleh, Ketua Dewan Syuro DPP PKB, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gusdur, Gubernur Jabar Danny Setiawan, ketua DPRD Jabar H. A. M Ruslan, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jabar H. Avi Taufiq Hidayat, dan para pimpinan Parpol di Jabar.
Dalam kesempatan tersebut Muhaimin pun mengatakan bahwa, apa yang selama ini telah diraih oleh PKB merupakan hasil kerja nyata dari para kader maupun jajaran pengurus PKB sebelumnya, dan dengan dilantiknya jajaran kepengurusan baru khususnya bagi DPW PKB Jabar dapat meneruskan program-program maupun penataan kembali kepengurusan partai dicabang-cabang agar tidak tertinggal dengan PKB yang ada di Jawa Timur, Jawa Tengah mapun Yogyakarta, utuk diharapkan PKB Jabar pun harus dapat menunjukan kerja konkritnya, baik ditataran legislative maupun eksekutif, Ujar Muhaimin yang juga berpesan agar para pengurus baru DPW PKB Jabar tidak lagi mengandalkan kebesaran nama para Kiai akan tetapi dapat menjadi PKB yang mandiri, solid serta selalu berpegang teguh kepada kebenaran, sementara disinggung mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang akhir-akhir ini mendapat sorotan, pihaknya akan terus mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan pendidikan nasional, sebab dampak buruk dari pelaksanaan UN lebih banyak dibanding manfaatnya, dan UN tidak bisa dijadikan penentu kualitas pendidikan nasional, oleh itu komisi pendidikan DPR menolak UN secara resmi, bahkan secara tegas komisi pendidikan DPR mendesak pemerintah menghapus UN dari system pendidikan nasional, tegasnya.
Sementara dikesempatan yang sama, H. Avi Taufik Hidayat, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jabar disela-sela pelantikan tersebut mengatakan dalam menghadapi Pilgub Jabar tahun 2008. PKB akan melakukan koalisi dengan partai lain dalam Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) Jabar yang akan datang, dan iapun menambahkan bahwa koalisi tersbut tidak harus dengan partai islam saja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan dengan partai-partai lain juga, jadi lihat situasi kondisi nanti, ujarnya. Dan ipun menjelaskan bahwa PKB sudah mempunyai standard an prosedur yang sudah ditetapkan yaitu, calon yang diusung PKB akan dipilih dalam konvensi selain itu juga akan dilakukan fit and proper test di 25 cabang dan DPW, sehingga nantinya akan menghasilkan 3 calon, yang kemudian akan diajukan ke DPP sehingga akan muncul satu nama, nah calon inilah yang nantinya akan mewakili PKB dalam pemilihan Pilgub 2008, iapun menyinggung tentang Pilkada gabungan yang akan diselenggarakan Pemprov Jabar untuk tidak segera memutuskan tentang penyelenggaraan pilkada Gabungan tersebut, karena lanjutnya wacana tersebut harus dikaji lebih dahulu oleh lembaga independent maupun kalangna akademisi, sebab jangan sampai pilkada gabungan itu justru nantinya akan menimbulkan persoalan baru dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, dan yang lebih ituma harus pula disesuaikan dengan kondisi sosiologi dan psikologis masyarakat yang ada di Jabar, ujarnya.
Sementara dalam pidato politiknya, Ketua Dewan Suro DPP PKB K. H. Abdurrahman Wahid atau Gusdur berpesan kepada seluruh kader dan pengurus PKB agar menolak kekerasan dalam bentuk apapun dan tidak perlu menanggapi pihak-pihak lain yang mengajak bermusuhan dengan PKB, sebaliknya Gusdur meminta agar para kader dan pengurus PKB untuk lebih berkonsentrasi dalam melakukan pembenahan ditubuh partai, apalagi menjelang pilgub 2008 maupun pilkada daerah, dan pemilu 2009, PKB harus betul-betul bersiap diri untuk mengusung kader-kader terbaiknya agar dapat membawa PKB kearah yang lebih baik lagi dalam menyongsong Indonesia baru, dan juga satu hal yang perlu diigat bahwa seluruh pengurus terutama pengurus baru dilantik memperbaiki system rekruitmen, karena dengan system recruitment PKB akan menghasilkan kader-kader yang menjungjung tinggi visi dan misi partai demi kesejahteraan rakyat, ujarnya.[ALX/Dfy/26/6/6].

Read More..

Belasan Kader PKB Belajar Ke Jerman


Jerman - Penyelenggaraan sistem demokrasi di Indonesia perlu belajar pada sistem demokrasi yang dilaksanakan Partai Demokrasi Liberal (Freie Demokratische Partei/ Free Democratic Party/ FDP) Jerman. Selain efisien dan efektivitas dalam menghargai waktu, sisem demokrasi FPD terpancar diselenggarakan dengan akal yang sehat, memegang teguh etika berpolitik, dan menjaga aturan main yang telah tersepakati.Sehingga politik tercermin sangat steril dari kekuatan uang atau intrik-intrik kotor demi keberhasilan misi suatu kelompok. Penyelenggaraan politik dalam tubuh FDP tersebut tercermin dijalankan dengan harga diri, moralitas atau etika. Sebuah hal yang biasa di dunia politik, tapi menjadi hal yang sangat luar biasa jika berhasil menjadi atmosfer perpolitikan di Indonesia.Kesan istimewa dalam sistem demokrasi partai FDP itu disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh 13 anggota Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menyaksikan penyelenggaraan Kongres FDP di negara bagian Mecklenburg-Vorpommern, Sabtu (21/4/2007).
Kongres tersebut langsung memilih seluruh jajaran pengurus mulai dari ketua hingga delegasi untuk kongres di tingkat nasional. Di Indonesia, kongres ini dikenal dengan nama musyawarah wilayah tingkat propinsi."Banyak hal menarik yang bisa dicermati para pengurus PKB. Di antaranya, betapa efisiensi dan efektivitas waktu benar-benar berlangsung. Seluruh rangkaian kongres, sejak pembukaan, pertanggungjawaban ketua, sekjen, bendahara dan laporan auditor sampai ke pemilihan delegasi (wakil) untuk kongres FPD di tingkat nasional berlangsung satu hari," kata Ketua DPW PKB Jatim Imam Nahrawi, dalam emailnya pada penulis.
Menurut Imam Nahrawi, penyelenggaraan kongres tersebut sangat menarik dan layak ditiru para parpol di Indonesia dalam melaksanakan sistem demokrasi. Dalam penyelenggaraannya tersebut tercermin sekali jika demokrasi yang mereka gelar memenuhi koridor terori sistem demokrasi ketatanegaraan, semua anggota maupun pengurus sangat bertanggungjawab dengan jabatan yang menjadi amanahnya.Kehadiran 13 orang dari DPP PKB dan DPW PKB itu di Jerman, karena undangan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) atau Yayasan Friedrich Naumann. Ini adalah yayasan lembaga kajian untuk politik liberal yang berasal dari Jerman dan berada di bawah Partai Demokrasi Liberal.
Sedangkan ke-13 pengurus PKB tersebut adalah Franciscus Hermawi Taslim (ketua rombongan/Ketua DPP), Ali Hanafiyah (anggota Dewan Syuro DPP), Eman Hermawan (Wasekjen DPP/Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Garda Bangsa), Imam Nahrawi (Ketua DPW Jatim/anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR), Masduki Baidlawi (anggota FKB DPR). Saidah Sakwan (anggota FKB DPR), Zaenal Arifin Na'im (Sekretaris DPW DKI Jakarta), Abdul Wahid (Sekretaris DPW Riau), Avi Taufik Hidayat (Ketua DPW Jabar), Rieke Dyah Pitaloka (Wasekjen DPP), Agus Wiyarto (Ketua DPW DI Yogyakarta), Marwan Dasopang (Ketua DPW Sumut), dan Jucundianus Lepa (Ketua DPW NTT) Dalam kunjungan selama satu minggu mulai 21 April-27 April itu, para pengurus melakukan studi banding bertemakan "Organisasi dan Manajemen Partai Politik di Jerman".
Mereka juga berkesempatan mengikuti kongres FDP di Greifswald dekat Laut Baltik. Selain itu, mereka juga berkunjung ke tiga kota, yakni Greifswald (di negara bagian Mecklenburg), Bremenhaven (negara bagian Bremen) dan Berlin (negara bagian Berlin).Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Saidah Sakwan mengatakan rekomendasi partai yang berbasis pada isu riil dan lokal dan memang menjadi kebutuhan konstituen. Isu yang dibahas bukan disusun oleh DPW atau DPP tetapi merupakan aspirasi bawah.Misalnya tentang disiplin sekolah, persoalan kanal di Greifswald dan perlu tidaknya diajarkan tata krama di sekolah, diperdebatkan, apakah menjadi agenda partai atau tidak. Jika iya, fraksi di DPRD harus memperjuangkannya. "Ini kan riil dan pembagian tugas jadi jelas," ucapnya. dari berbagai sumber

Read More..