Kamis, 28 Februari 2008

Sayur Gabus Udin Kombo: Rasanya Ora Nahaa....

Betawi yang satu ini letaknya di pinggiran Jakarta, masuk daerah Bekasi. Keluar jalan tol Cacing (Cakung-Cilincing), sedikit menyusur Jalan Raya Bekasi yang berakhir di kawasan Perumahan Harapan Indah, sebuah warung berbentuk rumah yang memanjang akan segera tampak di depan mata. Ada spanduk bertuliskan “Warung Masakan Khas Betawi, Sayur Gabus”. Hmmm…, tentulah menggoda untuk dicoba.
Duduk di dalam warung serasa dibuai angin yang bertiup sepoi-sepoi dari jeruji kayu jendela. Sawah yang menghijau terhampar di sisi selatan warung; sementara di seberangnya terdapat lahan kecokelatan, pertanda habis di panen. Panas mentari yang terik terhapus oleh embusan angin. Bertandang ke warung milik Syamsuddin ini seperti rehat sejenak dari kepenatan metropolitan. Selanjutnya, tentu saja kita wajib mencobai menu andalan Syamsuddin yang panggilan akrabnya Udin Kombo ini. Ikan gabus lazim dijumpai dalam bentuk ikan asin. Namun, gabus racikan Udin Kombo datang dalam wujud sayur. Berkuah hitam pekat serta berisi potongan ikan gabus yang menghitam. “Ini masakan khas Betawi,” ujar Udin Kombo lantang.
Rasa kuah sayur gabus ini tak ubahnya seperti hidangan rawon yang khas Jawa Timur. Warna hitam kuah berasal dari buah pucung atau keluwak. Jadi, jika Anda terbiasa menyantap rawon, ditanggung tidak akan kaget tersengat rasa sayur gabus itu. “Kalau rawon kan tetap tidak pakai gabus,” papar Udin Kombo. Di seputar warung Udin ini adalah tempat bernaungnya orang Betawi asli. Nah, sayur gabus merupakan masakan turun-temurun orang Betawi. Kebetulan ibu kandung Udin sangat pandai mengolah sayur gabus. “Sejak kecil saya sudah disosor sayur gabus,” ujarnya dengan logat Betawi yang kental. Tak hanya itu, sang emak juga kerap menjajakan hasil racikannya ke tetangga kiri kanan rumah.
Jual emas demi sayur gabus
Namun, nasib sering tak akur dengan lidah. Kelezatan sayur gabus dalam kenangan Udin serasa tenggelam dalam gelombang makanan cepat saji dan masakan luar Betawi yang cepat populer. Alhasil, sayur gabus yang masih dikerjakan secara tradisional ini semakin jarang terlihat. Menurut Udin, sayur gabus menghilang bukan lantaran orang Betawi sudah tak doyan, tapi proses pembuatannya cukup rumit, alias cuma bisa dikerjakan oleh tangan-tangan terampil saja.
Lantaran sayur gabus makin langka, Udin berinisiatif membuka warung yang khusus menjual masakan ikan ini. Enam tahun lalu bermodal 30 gram emas yang harganya Rp 27.000 per gram, Udin membeli sepetak gubuk reot di tepi sawah. Kebetulan, gubuk itu berada persis di pertigaan jalan, yang dikelilingi sawah. Demi memperbaiki gubuk yang nyaris ambruk itu, lagi-lagi Udin merogoh 80 gram persediaan emas miliknya. Gubuk diperbaiki, namun bentuk bangunannya tetap dibikin semipermanen dengan jendela yang lebar dan panjang. “Supaya suasana alami tercipta,” katanya.
Perjuangan belum selesai. Membuat masakan sayur gabus yang khas, seperti bikinan emaknya, ternyata tidak mudah. Berkali-kali Udin dan istrinya mengobrak-abrik resep untuk kuah. “Sampai menemukan rasa yang pas,” timpal Udin. Untung saja, eksperimen bumbu ini cuma memakan waktu sebulan. Bulan berikutnya, warung sayur gabus kreasi Udin sudah siap beroperasi.
Bumbu sayur gabus terdiri dari cabai, bawang merah dan putih, lada, jahe, kemiri, dan kacang tanah yang ditumis. Campuran bumbu ini dituangkan bersama pucung ke dalam kuali berisi air, sampai mendidih. Selanjutnya, menyusul potongan ikan gabus. Lantas, siap sudah sajian khas Betawi ini.
Semua ikan gabus itu hasil tangkapan
Selain menaruh perhatian pada racikan bumbu, pengolahan ikan gabus juga harus dicemati. Maklum, tidak sembarang orang bisa mengolah ikan gabus. Terutama, saat menyisik sirip ikan gabus. Selain membutuhkan pisau yang tajam, si penyisik juga harus bisa mengelupas semua sisik ikan sampai putih dan bersih. “Kalau masih ada sisiknya akan amis,” kata Udin yang mempekerjakan 15 orang ini. Tak heran jika Udin tidak asal mencomot tenaga pembersih. Kebanyakan karyawan di sana adalah ibu-ibu yang masih memiliki hubungan saudara, atau tetangga Udin sendiri.
Satu kilogram ikan gabus, yang jumlahnya antara tiga dan empat ekor, bisa dibikin menjadi lima porsi sayur gabus. Seporsi sayur gabus, oleh Udin, dijual Rp 7.500. Untuk sayur gabus lengkap dengan nasi putih, lalapan, plus minuman dingin, biasanya tak lebih dari Rp 20.000 per orang.
Awalnya dulu, Udin cuma mampu menghabiskan 2 kg ikan gabus dalam sehari. Perlahan tapi pasti, kebutuhan ikan gabus pun meningkat. Pertanda orang mulai berdatangan ke tempat makannya. Kini pelanggan Udin bukan cuma para tetangga, atau penduduk daerah sekitar Bekasi. Pelanggan sayur gabusnya datang dari mana-mana. Dari Tebet, Rawamangun, Pulogadung, dan pelosok Jakarta lain. “Kalau si Pitung masih hidup, pasti mampir juga,” celotehnya.
Belakangan ini saban hari Udin harus menyediakan sekitar 40 kg ikan gabus. Malah, untuk akhir pekan dan hari libur, kebutuhannya meningkat menjadi 60 kg per harinya. Selain itu, Udin juga harus menyediakan 30 kg-50 kg beras sehari. Tak ketinggalan juga, 20 kg pucung yang diambil isinya.
Udin jelas membutuhkan ikan gabus dalam jumlah banyak. Namun, dia tak pernah khawatir mengecewakan pengunjung. Malah, Udin hanya ongkang-ongkang kaki menunggu para pengepul ikan gabus datang ke warungnya. Tiap hari, tak kurang dari 50 kg ikan gabus diantar para pengepul dari berbagai daerah, seperti Babelan, Bekasi, Tangerang, dan Cikampek. Ikan ini bukan datang dari peternak, lo. “Semua ikan gabus itu tangkapan,” ujarnya. Lantas, Udin menaruh ikan itu di beberapa kolam dekat warungnya, demi menjaga kesegaran.
Nah, sembari menikmati angin yang semilir dan menunggu para pengepul ikan menyerahkan bawaannya, Udin pun berhitung-hitung. Menurut pengakuannya, omzet sayur gabus kelas warung ini tak kurang dari Rp 2 juta sehari. “Lumayan, saya bisa menghidupi keluarga dan tetangga,” ujar bapak delapan anak ini.
Mengincar Greng atau Warisan?
Konon, ikan gabus sulit ditangkar. Memungutnya pun tak segampang mengambil katak sawah, karena kebanyakan menggunakan setrum. Maklum, ikan yang kepalanya mirip lele ini betah mengendon di dasar air berlumpur. Namun, kegurihan daging gabus membikin penyantapnya lupa bahwa berburu gabus itu susah. Sudah begitu, menurut Syamsuddin, pemilik warung Sayur Gabus, ikan gabus banyak khasiatnya. Misalnya, menyantap ikan gabus dipercaya lekas menyembuhkan luka habis melahirkan. “Itu yang saya tahu, lo,” kata Udin Kombo, panggilan akrab Syamsuddin.
Belum cukup. Bagi lelaki Betawi, ikan gabus dipercaya mempunyai khasiat yang joss. Yaitu, “Bisa meningkatkan hormon laki-laki,” bisik Udin. Nah, bagian potongan ikan gabus mana yang punya daya greng? Ternyata bagian dalam kepala ikan gabus, yakni di otaknya. Cuma nanti dulu, jangan langsung memecahkan batok kepala si gabus. Setelah semua daging di sisi-sisi kepala terambil, baru mengambil isi kepalanya. Caranya dengan mengisap langsung di bagian mulut gabus tersebut. “Sekali sroot… semua isi akan termakan,” kata Udin mengajari “encrotan” ala gabus.
Nah, menyusur tradisi, konon, sayur gabus ini juga bisa meluluhkan hati para juragan tanah yang memiliki anak gadis. Jika Anda menaksir gadis Betawi, tak perlu pamer emas, kekayaan, atau jabatan. Cukuplah bertandang membawa sayur gabus, dua atau tiga kali berurutan. “Pasti dah, ente kebagian tanah warisan,” tutur Udin sambil tersenyum. Masalahnya, sekarang banyak orang Betawi yang bukan juragan tanah lagi, nih. dari berbagai sumber

Read More..

Kopiah Sebagai Simbol Patriotisme


KOPIAH adalah tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6 sampi 12 Cm. Dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Di tempat lain kopiah juga disebut sebagai songkok ada juga yang menyebut peci. Kopia ini sudah cukup lama dipakai oleh masyarakat Islam Nusantara terutama kalangan pesantren.

Dikisahkan bahwa seorang santri Sunan Giri Gresik dikenal sebagai raja cengkeh, karena kalau pulang ke kampung halamannya Maluku selalu membawa kopiah, sambil menyiarkan Islam di daerah yang dulu dikenal dengan nama Hitu itu membawa kopiah, setiap sebuah kopiah diganti oleh masyarakat setempat dengan cengkih yang banyak sekali, sehingga ketika kembali ke pesantren Giri santri tersebut membawa cengkih yang amat banyak, yang sangat laku di Gresik. Demikian juga santri Giri yang pulang ke daerah asalnya juga selalu membawa kopiah, sehingga tutup kepala yang satu ini menyebar di seluruh penjuru Nusantara.
Kalangan Islam pesantren mewajibkan tidak hanya kalangan santri tapi pemeluk Islam pada umumnya untuk selalu memakai tutup kepala yang digunakan sebagai bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang, atau minimal sebagai bentuk kelaziman. Kitab Ta’limulmuta’alim misalnya sangat menekankan untuk selalu memakai tutup kepala dalam kehidupan. Oleh pesantren tidak diterjemahkandalam bentuk sorban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.
Oleh karena itu santri tidak pernah melepas peci, demikian juga saat menjalankan sembahyang masyarakat Islam selalu menggunakan kopiah, dianggap kurang utama bila menangalkannya. Bahkan santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul (tidak memakai tutup kepala) dan itu kemudian diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama, aturan dan pelajaran. Dengan demikian salah satu bentuk tradisi pesantren adalah tradisi memakai kopiah hingga saat ini, walaupun beberapa pesantren modern mulai meningalkannya.
Penggunaan kopiah sebagai identitas kiai itu semakin marak sejalan dengana semakin meluasnya Islam baik oleh para wali dan ulama maupun kiai di berbagai tempat, sehingga mereka yang sudah santri itu meneguhkan identitasnya dengan emakai kopiah berwarna hitam itu. Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa bagi santr atau orang Islam yang belum menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan memakai peci haji. Karena itu bila ada orang belum haji tentu sangat malu dan dicela ketika memakai peci haji warna putih. Mereka itu tahu adat dengan demikian mereka tetap mengunakan peci hitam.
Pada awal pergerakan Nasional 1908 kebanyakan para aktivis masih memakai destar dan tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat, tetapi seiring dengan meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, yang menolak bahasa kromo, sebagaimana yang dikembangkan oleh Tjokroaminoto aktivis Sarekat Islam (SI) yang berasal dari Madiun dan bermarkas di Surabaya yang merupakan kota santri. Sehari-hari Cokro menakai tradisi ini. Dengan sendirinya penampilan tokoh idola yang selalu berkopiah itu menjadi anutan kaum pergerakan baik yang santri dan kalangan priyayi. Apalagi para murid Cokro sendiri termasuk Soekarno yang dulunya masih memakai blangkon kini turut memakai kopiah.
Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional atau kopiah nasional, sebagai identitas nasional yang dipelopori oleh kaum pergerakan. Sebagai orator yang ulung Soekarno tampil sebagai peraganya sendiri, yang tampil sangat prima dan mempesona, karena itu para aktivis dan priyayi mulai menggunakan kopiah, tidak hanya sebagai simbol Islamisme tetapi juga sekaligus sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang berbeda dengan para priyayi atau para ambtenar yang menjadi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, di mana NU mulai sangat aktif melibatkan diri dalam merespon perkembangan dunia luar baik nasional maupun internasional. Saat itu NU mengakui Nasioalisme Hindia Belanda itu, pada saat yang sama membolehkan warganya untuk memakai pantalon, asal masih memakai kopiah, agar identitas kesantriannya masih tampak, sehingga masih bia dibedakan dengan kolonial Belanda.
Kaum pergerakan yang dalam acara resmi baik rapat maupun perundingan selalu memakai peci. Kebiasaan itu berkembang menjadi kelaziman yang tidak pernah ditinggalkan, karena itu bila ada ada tokoh yang tidak memakai kopiah pasti menjadi rasanan para aktivis lainnya. Ketika Muhammad Hatta mewakili Indonesia dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Hag, 27 desember 1949, Hatta digunjing oleh para aktivis lainnya sebagai blootshoofd (tanpa kopiah), sehingga ciri khas Keindonesiaannya tidak ditampilkan, yang diharapkan bisa memberi garis tegas antara nasionalisme dan kolonialisme.
Bung Karno adalah salah seorang penghobi berat kopiah, karena itu ia memilih bahas sendiri untuk pembuatan kopiah dengan beludru terbaik dari luar negeri. Biasanya bila kelihatan kopiah menteri atau koleganya telah lusuh diberinya bahn beludru itu untuk dibawa ke penjait khusus. Bahkan ketika kekuasannya telah diujung tandauk ia masih tenag bersama KH Saifuddin Zuhri berbincang tentang identitas nasional itu. Sewaktu pulang kiai itu diberi dua meter beludru yang menurut Bung karno bisa digunakan untuk membuat enam puah kopiah.
Selama masa Indonesia merdeka sampai akhir orede baru kopiah yang telah menjadi identitas nasional dipakai oleh semua pejabat tinggi negara dalam acara resmi. Termasuk para kontingen olah raga atau Paskibraka, bahkan wanitapun memakai kopiah. Presiden atau menteri dalam kunjungan ke luar negeri selalu menampakkan identitas ini. Tetapi setelah reformasi, terutama ketika liberalisme telah merambah dalam kesadaran beberapa pejabat termasuk presiden, tidak lagi menggunakan kopiah dalam acara resmi.
Walaupun kopiah telah menjadi identitas nasional dipakai siapa saja baik abangan, kalangan priyayi termasuk pengikut agama non Islam, teapi Kopiah masih menjadi identitas kesantrian yang kuat, sebab dalam kopiah di lingkunagn ini menjadi pakaian sehari-hari, setidaknya untuk sembahyang. Karena itu industri kopiah di Nusantara ini masih dikuasai kalangan santri dan tumbuh di kota-kota santri yang berbasisi nahdliyin.
Sejak zaman Sunan Giri hingga saat ini Gresik tetap terdepan dalam industri kopiah, hal itu kemudian diikuti beberapa kota lain seperti Kudus, Pekalongan Tasik dan sebagainya. Saat ini produsen kopiah terkenal adalah Awing, Muslimin selain itu juga banyak produk yang lebih rendah yang diproduksi dalam rumah tangga tanpa merek Ini menunukkan bahwa identitas nasional itu masih dijaga oleh para santri dan pengrajin di masyarakat. dari b
erbagai sumber

Read More..

Selasa, 26 Februari 2008

Novel Kolonel Noer Ali Diluncurkan

Sastra Khas Bekasi Pun Menggeliat
Acara ini memiliki spirit seperti yang ada dalam slogan “revolusi kebudayaan” di Perancis yang monumental itu. Sebab dari sini, lounching buku, tengah dimulai kembali pembacaan ulang atas sosok, sepak terjang dan ajaran yang disampaikan Almaghfurlah, KH Noer Ali. Penemuan data baru dan perdebatan pun kembali terjadi.
Buku ini sedikit berbau ‘bantahan’ atas karya sebelumnya yang ditulis oleh sejarawan Bekasi, Ali Anwar atau karya lainnya yang mengulas soal sosok KH Noer Ali. Bisa jadi Ben Thayyeb Anwar Layu yang memiliki nama asli H Muhtadi Muntaha Lc ingin mengupas kembali soal ‘pernik’ KH Noer Ali dan kiprah para koleganya dalam membantu perjuangan Noer Ali namun kurang banyak ‘disebut’ dalam karya tersebut.
Buku ini setidaknya menjadi antitesa dari buku-buku sejenis yang lebih dahulu lahir soal KH Noer Ali. Ke depan diharapkan semakin banyak buku yang lahir dalam masalah yang sama maka akan lebih lengkap informasi dan data yang didapat pembaca. Dan bukan sebaliknya, sang penulis pertama akan terusik otoritasnya.
Buku ini lanyak dibaca bagi siapa saja terlebih bagi yang ingin mengenal secara luas tentang sosok KH Noer Ali. Ulasannya menggunakan khas bahasa betawi pinggir “ora” yang dikemas dalam bentuk novel. Hanya sekitar 100 halaman dan ukurannya sederhana sehingga memudahkan untuk dibawa kemana-mana.
Sekedar catatan, penggunaan kata “Kolonel” itu sendiri kurang didukung oleh data resmi. Corak penulisannya bergaya antologi yang sedikit menggangu kenyaman pembaca yang ingin tahu secara lengkap namun akan terputus lantaran dimulainya cerita baru yang relatif tak ada kaitannya. Di samping itu, gaya pembahasannya mencitrakan terlalu semangat sehingga ada beberapa hal yang disebut berulang-ulang.
Yang pasti buku ini mampu mengubah tradisi intelektual di Bekasi yang bergaya oral namun kini mulai mengarah pada penulisan buku. Buku ini, pada sisi tulisan akan menjadi catatan dalam banyak hal seperti geliat sastra ala bekasi dan tradisi inventarisasi data dalam bentuk buku. Perubahan kebudayaan ini idealnya direspon positif oleh oihak terkait.
Acara ini dihadiri Cawagub Jawa Barat Dedi Yusuf serta KH M Abid Marzuki, IKRA Attaqwa Pusat dan tokoh masyarakat. Sebagai tuan rumah M Abid dalam sambutannya mengulas soal kiprah KH Noer Ali diluar sebagai pejuang soal ide “mosi Integral M Natsir” serta kelahiran organisasi Majelis Ulama Indonesia yang sarat dengan aroma nasionalistik. Di luar itu, M Abid menyinggung soal letak geografis Bekasi ditinjau dari sudut geohistoris yang katanya Babad tanah Bekasi jauh lebih tua umurnya dari kerajaan Majapahit. Apa iya pak! Lukmanul Hakim

Read More..

Pilkada Riau Lesu Darah

Gairah menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau tahun ini terkesan tak bersemangat alias lesu darah. Berbeda dengan Pilkada tahun sebelumnya yang diadakan sekitar Oktober 2003. Saat itu, aroma Pilkada sangat terasa. Mulai kehadiran sesumbar dari bakal calon (balon), pengamat dan instrumen partai politik pengusung terlihat jelas arahnya. Kali ini, bisa jadi kesunyian itu justru akibat dari konstelasi politik dan hukum belakangan ini tengah memanas dan membuat ‘nyali’ balon sedikit ketar ketir untuk memastikan dirinya tampil dalam Pilkada.
Pastinya waktu penyelenggaraan Pilkada Riau tak lebih dari satu tahun. Malah, bila dihitung hanya tinggal beberapa bulan lagi. Sementara kondisi kali ini terbilang beda dan membuat semua orang bertanya-tanya dan melahirkan spekulasi. Kondisi ini juga dapat diistilahnya bagi warga Jakarta, boro-boro ada spanduk, seminar, deklarasi, perang wacana, demontrasi antar pendudukung dan orasi namun mencari orang yang berani mengaku balon saja sulit didapat.
Spekulasi atas kaitan tersebut dapat dibenarkan. Buntutnya mereka yang berhasrat jadi kandidat Cagub dan Cawagub Riau jadi ngeper. Meski tak bermaksud mendahului, sebut saja kasus korupsi APBD Riau yang kini kasusnya masih ditangani pihak berwenang. Kasus keterlibatan pejabat di Riau dalam penebangan hutan (ilegal logging). Dua kasus ini sempat menghiasi media massa nasional dan malah masalah tersebut sempat merembet hingga ke anak buah jajaran SBY-JK di kabinet. Karena begitu besarnya dosa yang dilakukan mereka sepertinya kurang percaya diri alias ‘ga PeDe’ untuk tampil ke publik sebagai orang yang bakal dipilih menjadi orang nomor satu di negeri lancang kuning.
Bagi mereka hal ini akan membuat serba salah. Bakal calon melakukan gerakan diam-diam juga akan salah karena masyarakat ingin kenal dan tahu mutu dari para calon yang bakal tampil. Sebaliknya, berterus terang justru hanya akan menjadi cacian dan sasaran tembak lagi dari saingannya karena masih ada kaitan dangan kasus yang telah disebut diawal. Parahnya lagi, bagi yang telah ditetapkan sebagai ‘tersangka’ justru menjadi bumerang dan hanya bentuk menggali lubang kubur saja pada Pilkada bila terlalu cepat naik naik panggung.
Masih soal buntut dari kesunyian ini justru berakibat pada kurang sehatnya iklim proses pendewasaan masyarakat dalam berpolitik. Pesta demokrasi yang dilakukan secara langsung bakalan kurang dinikmati sepenuhnya sebagai makna dari kebebasan individu dalam berpolitik dan kebebasan akan hak dasar bagi setiap warga negara. Kesempatan ini juga dapat mendorong publik untuk bersikap apatis dan apolitis dalam masalah pembangunan dan tanggung jawabnya dalam masa depan Riau. Kondisi ini juga bakalan langgeng bila situasi Pilkada tahun ini masih tak bergairah dengan indikator tak ada balon yang tampil jelang Pilkada yang waktunya hanya dalam hitungan bulan saja.
Kesenyapan ini mendorong suasana di mana masyarakat akan sulit mengenal calonnya dalam Pilkada secara baik. Laksana pepatah klasik ‘jangan membeli kucing dalam karung.’ Pasalnya, calon belum ada mau mengaku dan masih berstatus gelap sementara waktu perlaksanaannya sangat dekat.
Menurut kabar yang beredar di kalangan yang sangat terbatas, bakal kandidat yang akan tampil hanya baru terjaring sebanyak tiga pasang. Sebut saja mantan Gubri yang kini anggota DPR RI, Saleh Djasit berpasangan dengan Ketua Partai Amanat Nasional, Topan Andoso Yakin. Gubri Rusli Zainal dengan Raja Mambang Mit yang bakalan didukung Partai Golkar. Serta Bupati Indragiri Hulu yang juga Ketua Partai Demokrat Raja Thamsir Rachman dengan Wagubri Wan Abu Bakar. Pasangan terakhir bakalan didukung koalisi Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan. Tiga pasang balon tersebut pun relatif tak mau tampil dihadapan mata masyarakat meski di kalangan tertentu sudah tak asing lagi.
Akankah suasana seperti ini masih bertahan lama sementara waktu pelaksanaan makin dekat. Di pihak lain, warga Riau ingin segera tahu siapa yang akan mereka pilih sebagai orang yang diamanatkan soal upaya perbaikan nasib dan peningkatan kersejahteraan ke pundak pemimpinnya. Kalau begitu, dengan pertimbangan waktu yang kian dekat, mari kepada semua orang bahwa kans untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam Pilkada memiliki peluang yang sama. Soal hasil itu urusan nanti namun yang terpenting balon jangan sampai lesu darah dahulu jelang Pilkada yang telah di depan mata.

Read More..