Minggu, 01 Juni 2008

Parpol Penipu

Gambaran para tokoh partai politik saat ini jauh beda dengan ketangguhan para elit Parpol di era kemerdekaan negara ini. Umumnya para politisi negara ini selain negarawan juga memiliki ketegasan konsep dalam perjuangan. Wadah partai bagi mereka hanya sebagai alat untuk melanggengkan gagasannya untuk dipakai dalam membangun negara ini. Karenanya, kepiguran toloh politik dalam partai terasa dalam warna dan gerak partai tersebut di masyarakat.

Sebut saja Partai Nasinasionalis Indonesia Pimpinan Soekarno, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia Pimpinan Muhammad Natsir, Partai Komunis Indonesia Pimpinan DN Aidit, Partai Sosialis Indonesia Pimpinan Sutan Sahrir, Partai Nahdlatul Ulama Pimpinan KH Idham Cholid dan lainnya mereka para pendiri negara ini yang kaya dengan gagasan besar. Lewat parpol, ide mereka tersalur secara rapih. Di kalangan bawah, konstituen mengerti benar apa tujuan dari partainya dan apa yang hendak diinginkan dari partai yang dipilihnya.

Terlepas dari kontroversi para tokoh partai tersebut banyak pesan yang dapat diambil bagi erlit politik saat ini. Terumata dalam memimpin partai di negara yang kaya dengan aneka ragam suku, agama, bangsa dan pulau yang diikat dalam nusantara. Dalam catatan sejarah, mereka terlihat ngotot dengan idenya dan berusaha menjejali konstituen dengan paham, orientasi, ideiologi, garis perjuangan hingga agenda-agenda rahasia dalam partainya. Hal itu, dimaksudkan agar pemilih mereka tersadar akan nilai yang disampaikan partai yang mereka pilih.

Masih soal potret Parpol saat itu, umumnya masih terimbas dengan peta politik di belahan dunia. Peta politik dunia di era tahun 50-an masih terikat antara blok Timur dan Barat. Timur yang sosialis dan Barat yang kapitalis. Di luar itu, ada juga yang melakukan kombinasi atas dua arus besar tersebut. Getaran dua blok tersebut terasa dalam sepak terjang Parpol di negara ini. Masing-masing partai berlomba mencari perhatian dengan program partainya. Alih-alih sampai melakukan perebutan kekuasaan di lembaga negara.

Sekedar diketahui, kegigihan partai politik di dunia saat ini, hingga melakukan aksi nekat berupa revolusi sosial. Elemen partai sengaja dimanfaatkan untuk mengornasir massa untuk meruntuhkan sebuah rezim dan membangun rezim baru lewat instrumen partai. Hal ini terjadi dan tercatat dalam sejarah. Kerja besar itu, tentu dilakukan secara matang, terorganisir dan solid. Sebaliknya, sebuah kerja besar tak bakalan terjadi bila dilakukan sacara asal-asalan.

Kembali ke potret elit partai di era 50-an, gagasan besar dalam tubuh partai berpengaruh dalam kerja anggota dewan di parlemen. Dalam catatan, banyak anggota fraksi terlibat diskusi mendalam bahkan memakan waktu berhari-hari padahal yang dibahas terkesan masalah ringan dan sepele. Namun sejatinya dalam, perdebatan itu terdapat kepentingan saling tarik menarik antara ideologi yang satu dengan yang lain. Sementara, masyarakat yang menyaksikan tak merasa dirugikan lantaran para wakilnya memang memperjuangkan apa yang mereka telah keatahu dalam tujuan partainya masing-masing.

Beda dengan yang terjadi saat ini. Terlepas kekuatan dua blok dunia makin pudar, namun di per parah dengan ketidakjelasan orientasi di tubuh partai politik. Parpol kini tak lagi mengedepankan ideologi yang dibawanya. Sumber rujukan yang dipakai pun tak memiliki akar yang jelas. Terkadang, dalam melakukan tinjauan masalah sering kali mengambang dan tak didasarkan pada garis partai. Pertimbangan yang dikedepankan justru didasarkan pada kepentingan sesaat, lobby-lobby yang mengarah pada politik uang.

Pergeseran perilaku dalam Parpol justru meluas dan melanda di kalangan masyarakat. Bila sebelumnya, konstituen disuguhi dan dicerdaskan dengan kesadaran akan diri sendiri, bangsa dan negara hingga peta politik dunia kini justru berbalik pada aksi pembodohan rakyat secara massal. Elit politik justru berlomba menghamburkan uang dan janji untuk meraih kedudukan. Setelah itu lupa kepada yang memilihnya. Untuk menyiasati hal itu, jauh-jauh hari persiapan modal uang dalam jumlah besar dilakukan. Meski dicapai dalam usaha yang tak sah secara hukum.

Masalah lain yang sangat kentara soal rekrutmen kader partai. Siapa saja dapat masuk menjadi anggota partai tententu dan dapat melesat ke posisi strategis. Sementara efek dari masalah itu justru sangat membahayakan. Sebut saja, gejala saat ini pengurus parpol berlomba merekrut para artis untuk menjadi orang nomor atas dalam partai. Sejatinya, partai yang semula dipersiapkan sebagai wahana dalam menyiapkan politisi yang handal justru tak melalui proses yang semestinya. Siapa saja dapat masuk meski hanya jual tampang yang berkantong tebal.

Gurita kerancuan dalam organ partai sangat dirasakan saat ini. Masalah ini tentunya sangat dirasakan oleh rakyat dan negara ini tentunya. Masalah yang muncul dan diselesaikan dengan pertimbangan oleh para ahli dibidangnya namun sebaliknya masalah tersebut diselesaikan tanpa menyentuh akar masalah. Ujung-ujungnya, antara satu problem dengan yang lainnya justru saling berbeda dan saling bertabrakan. Masalah ini sering terjadi akibat ketidakjelasan orientasi yang ada di kepada para elit partai.

Ujug-ujug, arus ketidakpercayaan masyarakat pada Parpol terlihat dari kelahiran calon pemimpin dari tokoh independen. Sosok non partai ini kembali muncul bisa jadi akibat rendahnya kinerja parpol saat ini yang membuat masyarakat lebih percaya pada kinerja tokoh tertentu untuk memimpin mereka. Kefiguran tokoh tersebut, lantaran masih memegang nilai yang terdapat dalam kinerja Parpol di era tahun 50-an. Parpol yang menyadarkan kodrat kemanusiaan pada dirinya bukan menipu lewat politik uang.

Read More..

Demokrasi ala Gus Dur (lagi) Dipertanyakan

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat ini tetap menjadi ikon demokratisasi di Indonesia. Kerja keras Gus Dur soal ini tidak perlu diragukan lagi. Meski kerap kali mendapat perlawanan dari aus besar dirinya tetap ngotot untuk membangun iklim demokratis. Sebut saja upayana dalam melindungi hak-hak kaum minoritas dan kekebasan berekspresi serta tindakan kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan. Pembelaan itulah, ia menjadi tempat mengadu kelompok yang merasa dirampas hak-hak dasarnya di negara ini. Karena itulah dirinya disebut tokoh dermokrat sejati.

Nama besar yang disandang Gus Dur saat ini kembali diuji terkait kasus diinternal partai yang didirikannya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Masalah ini terjadi di penghujung bulan Maret dan bersamaan dengan acara ‘pelepasan’ Mahfud MD sebagai anggota hakim Mahkamah Konstitusi setelah dirinya lolos dalam uji seleksi baru-baru ini. Bagi sangkaan banyak orang, DPP PKB yang dikomandokan Gus Dur telah melakukan ‘catatan’ yang relativ kurang baik lantaran meminta Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar untuk mundur dari jabatannya dalam acara Pleno. Ini masalah internal PKB, tapi yang dibicarakan di sini kasus tersebut dalam tinjauan demokratisme. Terutama bagi kelompok yang kurang setuju dengan sikap itu dianggap melanggar asas-asas demokrasi lantaran berbau dictator yang kontras dengan prinsip demokrasi.

Persoalannnya yang perlu dijawab bersama, apakah tokoh sebesar Gus Dur melakukan pencederaan dalam kasus tersebut? Apakah dirinya tak sadar untuk melacurkan ide demokrasi yang dibangun puluhan tahun hanya dengan kasus di partainya? Apakah Gus Dur mau mendengar sepihak ucapan si pembisik atau si penyusup yang berada di partainya? Bila sangkaan banyak orang ada benarnya berarti Gus Dur tengah melakukan bunuh diri atas nama besarnya sebagai pejuang demokrasi.

Kegelisaan serupa atas kasus tersebut datang dari kolega Gus Dur. Seperti pernyataan pengamat politik dari CSIS J Kristiadi yang katanya, ‘kandang’ PKB bagi Gus Dur sepertinya terlalu sempit. Jawaban seperti ini tentu yang tahu hanya Gus Dur sendiri dan Tuhan. Sebab, sejak awal dirinya sering memulai lakon politiknya dengan memakai cara-cara antagonis untuk melanggengkan aapa yang m,enjadi kemaunnya dalam banyak hal. Bisa jadi kasus ini bagian dari upaya tersebut.

Terlepas dari ketokohan Gus Dur, kasus ini banyak menimbulkan polemik di berbagai kalangan lantaran kontras dengan apa yang selama ini diperjuangkan soal demokrasi. Tak hanya dari rivalnya di politik namun teman seperjuangannya sibuk membicarakan sepak terjang mantan cucu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama menjelang satu tahun diadakannya Pemilu 2009. Pro dan kontra komentar soal ini muncul menghiasi media. Malah ada yang hanya menuding bahwa masalah ini hanya trik dirinya dalam menyiasati perolehan suara PKB pada Pemilu yang digelar tahun depan.

Yang pasti bola panas atas kasus ‘pemecatan’ Muhaimin belum usai. Bola liar ini masih menggelinding. Kedua belah pihak, Muhaimin versus Gus Dur masih memasang jurus masing-masing. Gelagat untuk untuk damai hingga saat ini belum terlihat juntrungannya. Malah kedua belah pihak siap saling gugat di meja hijau untuk mencari kebenaran masing-masing.

Bagi kita, masalah ini tentu menjadi wacana baru terkait relasi antara dermokratisasi, wilayah politik dengan Gus Dur di era kekinian. Tak bermaksud mendahului Gus Dur, apakah penerapan atas konsep demokrasi di ranah politik berbeda modelnya dengan di luar kawasan itu. Konsekuensinya pemimpin partai bakalan meneruskan gaya-gaya kepemimpinan model Adolf Hitler atau Musollini sebagai figur sentral kekuasaan dalam politik. Kalau begini jadinya, dinamika seorang Gus Dur yang fenomel dan sang kampium demokrasi di negara ini akan dipertanyakan lagi kapasitasnya soal ini. Oh Gus Dur!

Read More..

Untuk Kepentingan Di 2009

Menjelang Pemilu 2009 suasana ke arah tersebut makin terasa getarannya. Hal itu terlihat dari arah kebijakan pemerintah yang kelihatnnya bermata ganda hingga bertebaran bendera dan spanduk partai di simpang jalan. Gejala ini hadir untuk mencari simpati masyarakat dan berujung pada perolehan suara dalam Pemilu tahun depan.

Presiden SBY dalam satu kesempatan pernah memperingatkan anak buahnya agar tak melakukan hal itu dan tetap fokus dalam profesionalitas sebagai menteri di kabinetnya. Ungkapan itu lahir setelah dirinya melihat adanya usaha dari anak buahnya untuk menggunakan posisi strategis untuk kepentingan partainya di Pemilu ketimbang mengurus masalah yang dihadapi masyarakat. Seperi naiknya harga sembako, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dan korban musibah akibat kelalaian perusahaan di berbagai daerah. Karenanya, larangan presiden ada benarnya sebab kampanye gratis yang dilakukan pejabat memakai fasilitas negara yang semestinya dihindari.

Secara kasat mata, masyarakat mengeluh soal kenaikan harga minyak goreng yang mencapai sekitar Rp17 ribu, kelangkaan BBM, korban lumpur lapindo, busung lapar, ancaman flu burung, pengangguran, biaya sekolah mahal dan lainnya. Masalah ini makin besar seiring kesibukan anak buah SBY di partainya.

Presiden sebagai pimpinan dari para menteri tak selamanya ada benarnya terkait dengan pelarangan tersebut. Pasalnya sistem negara ini menganut asas multipartai yang presidential. Di mana para menteri diisi sebagian dari partai yang pengusung pasangan SBY-JK pada Pemilu lalu. Satu sisi sang menteri menjadi penyambung lidah presiden dan harus taat pada atasannya. Pada sisi lain menteri yang berasal dari partai tentu terikat dengan partai dan aturan partai yang ditetapkan. Dua pilihan itu sangat tipis antara posisi menteri dan orang partai dalam melalukan tugas sehari-hari. Karena sulit mengontrol secara tegas soal larangan menggurus partai atau berselingkuh dengan urusan partai lewat fasilitas negara.

Soal kesulitan memisahkan satu sisi dari dua sisi berbeda dalam diri seorang menteri sangat sulit dipisah tapi bentuk pelarangan untuk masalah tertentu ada benarnya. Sebut saja, sang menteri melakukan kerja partai namun menggangu tugas-tugasnya. Kondisi ini diperparah dengan semakin dekatnya, era kampanye 2009 yang mesti dimulai perang dingin antarpartai untuk kemenangan di Pemilu.

Di laur itu, bisa jadi larangan presiden tak berlaku ketika sang menteri melakukan penajaman atas programnya yang dibantu dengan instrumen partai. Partai dijadikan alat efektif untuk mendukung program pemerintah. Sebab partai sebagai kekuatan di luar pemerintah yang memiliki pengaruh besar di masyarakat dapat memperkuat agenda pemerintah di level paling bawah. Untuk urusan ini, SBY bisa jadi tak ada masalah.

Lebih jauh lagi, komunitas partai dalam sejarah tercatat pernah memiliki kekuatan vital dalam negara dan masyarakat. Sebab bagi sebagian orang, partai itu merupakan kekuatan kedua di luar perintah setelah unsur kepolisian. Sebut saja partai-partai yang dominan di sebuah negara, partai dapat menggerakan rakyat untuk perkara besar. Partai dengan kekuatan ideologi yang tangguh dan soliditas kader banyak membawa negara dalam kemakmuran dan kemajuan serta kewibawaan. Misalnya yang teradi Eropa dan di sebagian negara di Asia.

Terlepas apakah lembaga partai sebagia indikator dari demokratisasi, ia berpotensi untuk wadah kaderisasi dan ‘sekolah’ bagi calon pemimpin masa depan. Fenomena ini diperkuat dengan terbukanya arus reformasi di negara ini yang membawa angin segar bagi Parpol untuk melakukan kebebasan dalam banyak hal. Parpol dapat berkembang dengan sendirinya dengan modal yang dimiliki untuk kemajuan masyarakat.

Belakangan ini sikap ‘aneh’ kembali muncul menjelang Pemilu 2009. keanehan itu sangat merugikan masyarakat lantaran program pemerintah yang dipimpin menteri banyak terbuang waktunya hanya mengurus partai. Masalahnya yang menjadi menteri saat ini bukan sekedar kader partai namun banyak yang berasal dari orang papan atas di struktur partai. Otomatis problem partai mesti kembali ke pundak seorang menteri. Untuk orang ini, beban partai jauh lebih besar ketimbang menjalankan tugas negara.

Rupanya, trik dan jurus partai untuk kemenangan partainya tak hanya berupa penggalangan di tingkat pengurus dan mencari simpati konstituen. Strategi tersebut menembus ke jantung pemegang keputusan juga. Buntutny adalah partai lawan partai. Kartu mati lawan politik yang dikantongi sejak lama mulai dikeluarkan satu demi satu. Ujung-ujungnya, kasus pemberantasan korupsi, dan konflik lain tetap banyak terkait dalam agenda besar partai.

Sebut saja banyak masalah saat ini yang menimpa tokoh partai tertentu. Meski bukan bermaksud ada upaya adu domba antarpartai namun masalah tersebut berujung pada sikap negativ di kalangan partai yang bermasalah. Kasus ini tentu ada keuntungan dari partai lain yang relative aman. Gejala ini, kontras terjadi jelang semakin dekatnya pelaksanaan Pemilu.

Larangan SBY, pada satu sisi ada benarnya. Mungkin saja apa yang dikatakannya bukan sekedar mengunakan fasilitas negara untuk kampanye diinternalnya dengan modal dari negara. Di luar, itu konflik di partai lain jangan sampai dikompori oleh tokoh partai lain yang juga duduk di kabinet. Keduanya sama-sama merugikan negara dan masyarakat lantaran menguras tenaga dan anggaran rakyat hanya untuk kepentingan di 2009.

Read More..

Republik Kapitalis

Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 30 persen kembali menjadi isu nasional. Kenaikan ini bakalan menaikan harga bakan bakar jenis premium yang semula Rp4500 per liter kini diperkirakan menjadi Rp6000 per liter. Kenaikan ini secara per lahan akan menaikan semua jenis bahan bakar dari peredaran.

Imbas dari kenaikan tersebut sudah pasti akan mendorong kenaikan harga bahan pokok di masyarakat. Kondisi ini makin diperparah dengan kenaikan sepihak di pasaran. Pasalnya, ketetapan harga kenaikan BBM secara resmi yang dilakukan pemerintah yang hingga kini belum keluar namun dipasaran secara sepihak harga semakin naik. BBM belum naik tapi harga sembako dan barang lainnya telah naik terlebih dahulu. Malah, kenaikan tersebut mencapai 25 persen.

Gelombang penolakan yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat kembali bergejolak. Hampir di setiap kampus terjadi aksi demontrasi untuk menolak menolak rencana kebijakan yang tak pro rakyat. Gerakan moral mereka rupanya hanya sebatas teriakan yang tak memiliki arti apa-apa. Sebab keputusan ada di pemerintah dan DPR.

Di satu sisi, pemerintah tak mau disalahkan dengan rencana tersebut. Seperti yang dikatakan SBY-JK dalam sebuah bantahannya soal tersebut, belum lama ini, rencana kenaikan itu pasti dilakukan meski sangat berat untuk dilakukan. Pertimbangan yang paling besar, terkait tingginya harga minyak dunia dan tingginya ongkos operasional kerja negara. Lantaran itulah, hasil dari penjualan minyak negara dilakukan untuk menambah modal APBN.

Ungkapan tersebut bagi sebagian pengamat terkesan aneh, lantaran pemerintah tak punya nyali untuk menekan sebagian kecil pemilik saham di PT Pertamina. Sebut saja antara pemerintah dan swasta. Meski saham di sektor swasta terbilang sedikit lebih kecil namun nyali mereka lebih besar. Seakan pemerintah kalah gertak dengan pemilik saham. Buntut-buntutnya, harga minyak dinaikan dengan tujuan keuntungan yang didapat para kapitalis cepat menimbun keuntungan dengan kenaikan minyak dunia. Sementara rakyat yang membeli eceran makin susah. Bagi kapitalis kesusahan rakyat akibat hal ini bukan urusan mereka yang penting kantong mereka tebal dan deposito mereka cukup untuk tujuh turunan.

Parahnya lagi, sang kapitalis tetap memainkan peranan penting dalam proses kenaikan minyak negara. Dalam doktrin kapitalisme, urusan ekonomi negara diserahkan pada swasta sementara negara sebagai penonton. Sedangkan kewajiban negara dalam melindungi warganya soal ekonomi hanya mengharap ‘subsidi’ atau bantuan dari sistem tersebut. Nah, pemerintah sepertinya bertekuk lutut dengan sistem ini lantaran nekat menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) bagi si miskin. Padahal di sebagian daerah bantuan model ini banyak ditolak pejabat rendahan karena tak menyelesaikan masalah. Kalau begini jadinya apa bedanya, posisi negara di bawah kendali kapitalistik yang didalangi oleh para pemodal swasta yang hanya berpikir untung besar tanpa melihat masyarakat yang tengah kesusahan.

Apa jadinya bila pemerintah tetap ngotot menaikan harga BBM yang diputuskan pada Akhir Mei. Bagi masyarakat Indonesia yang tergolong santun tetap percaya dengan pemerintah agar bijaksana dalam melakukan kebijakan publik terutama soal BBM. Dalam kondisi seperti ini, kemiskinan yang mencapai 45 persen dari total penduduk Indonesia idealnya menjadi pertimbangan para pemegang kebijakan, seperti instrument pemerintah, DPR, dan para pemegang saham. Kerja keras dan kebijakan yang pro rakyat banyak mereka di tunggu segera. Mereka berharap BBM tak naik. Pemerintah serius melindungi warganya dalam semua hajat hidup.

Masalahnya akan menjadi lain, bila kenaikan harga BBM hanya untuk menggenjot kepentingan asing tanpa membuat perlindungan bagi warga yang tak mampu. Sudah sekian dari jumlah presiden, namun secara periodik kenaikan harga BBM hanya menjadi kebutuhan mereka terkait kerja negara dan aneka kepengtingannya. Bila hal ini masih dipertahankan, tak mustahil negara ini akan masuk diambang kebangkrutan.

Read More..