Rabu, 14 November 2007

Banjir Batavia, Banjir Kanal dan Van Breen,,,
Banjir datang lagi! Jakarta bagaikan pulau yang terkurung air। Ketika banjir datang, seperti biasa para pejabat sibuk mencari alasan dari mulai belum selesainya banjir kanal timur, curah hujan yang tinggi, pembangunan villa di Puncak yang tidak terkontrol sampai kebiasaan masyarakat yang buruk. Sementara masyarakat sibuk menyalahkan pembangunan perumahan baru yang tidak terkontrol, seolah bagaikan lingkaran yang tidak ada ujungnya.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan Batavia (baca Jakarta) 89 tahun yang lalu. Pada waktu banjir tanggal 19 Pebruari 1918, kala itu hampir seluruh Jakarta kebanjiran. Diantaranya Straat Belandongan, Kali Besar Oost, Pinangsia, Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grogol, Kebon Jeruk, Kampung Tambora, Suteng, kampung Klenteng Kapuran, kampung Tangki, Petaksinkian, Mol belakang penjara Glodok sampai terus ke kampung Pinangsia, air rata-rata setinggi dada. Selain itu juga Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit disamping kali Gunung Sari, Angke, Pekojan dan lain-lain. Jakarta bagaikan lautan air. Selain itu di Jakarta pada waktu juga sedang dilanda wabah kholera, setiap hari ada sekitar 6 – 8 orang masuk rumah sakit.
Melihat kondisi seperti itu gemeenteraad Batavia (baca DPRD) langsung mengadakan sidang paripurna pada tanggal 19 Pebruari 1918, jam 19.15. Dalam rapat tersebut hadir walikota Bischop dan 14 anggota DPRD. Selain itu hadir pula Herman Van Breen, ahli tata air Jakarta. Dalam rapat tersebut anggota Schotman mencecar beberapa pertanyaan kepada walikota apakah sudah disalurkan bahan makanan dan obat-obatan di tempat pengungsian yang terletak di Pasar Baru, gereja Katedral dan sebelah barat Molenvliet. Selain itu dalam kesempatan tersebut Van Breen juga ditanyakan apakah jika banjir kanal sudah selesai dapat mengatasi banjir? Breen mengatakan tidak menjamin bahwa ketika banjir kanal selesai Jakarta akan terbebas dari banjir, dan ternyata itu benar karena pada tahun-tahun berikutnya Jakarta masih kebanjiran. Karena sebenarnya banjir kanal dan keberadaan pintu air Manggarai hanya merupakan pengalihan wilayah banjir. Banjir yang tadinya biasa melanda daerah Weltevreden dan Menteng beralih ke daerah Manggarai dan daerah Jatinegara. Karena memang proyek banjir kanal dan pintu air Manggarai yang sudah terletak di luar kota, diprioritaskan untuk menanggulangi banjir wilayah Jakarta yang luasnya hanya 162 km2.
Jika hal ini dikaitkan dengan kondisi sekarang, maka yang dikatakan oleh Van Breen sama dengan yang dikatakan oleh para pejabat yang ada sekarang. Pembangunan banjir kanal timur yang sudah diwacanakan sejak tahun 1970-an dan baru selesai sekitar tahun 2008 artinya hampir 40 tahun baru dapat direalisasikan, juga tidak menjamin Jakarta bebas banjir. Karena wacana Banjir kanal timur pada waktu itu, kondisi Jakarta sudah banyak perubahan. Terutama dalam penggunaan tata guna lahan, sekarang Jakarta sudah dikepung oleh kota-kota penyangga di sekitarnya, tentu hal ini telah menutup wilayah kedap air dan akhirnya ketika hujan turun maka air akan langsung menjadi aliran sungai dan tidak meresap kedalam tanah. Sehingga wilayah banjir sudah semakin luas dan semakin ke selatan, di luar Bekasi dan Tangerang. Dalam banjir 2 Pebruari 2006, wilayah paling banyak dilanda banjir adalah wilayah Jakarta Selatan yang meliputi 9 wilayah, Jakarta Timur 8 wilayah, Jakarta barat 7 wilayah,
Jakarta Utara 6 wilayah dan jakarta Pusat 3 wilayah, selain itu juga wilayah Bekasi dan Tangerang (Kompas, 3 Pebruari 2007). Di lihat dari itu banjir kanal yang dibangun oleh Van Breen memang berhasil melindungi wilayah Jakarta Pusat. Dalam “Masterplan Jakarta 1965 – 1985” itupun orientasinya sebagian besar masih untuk melindungi daerah Jakarta Pusat. Sedangkan banjir kanal timur sebagian besar untuk melindungi wilayah bagian timur. Banjir kanal timur hanya mampu menanggulangi banjir untuk sementara waktu saja, jika tidak diikuti penataan air dengan cakupan lebih luas. Untuk itu sudah waktunya dipikirkan untuk membangun kanal atau waduk penampungan yang berada di luar di wilayah Jakarta atau selatan Jakarta. Hal ini berguna untuk mengendalikan air yang masuk Jakarta diwaktu musim hujan maupun musim kemarau. Sudah tidak waktunya lagi jika hanya menyalahkan pembangunan villa di Puncak, karena terbukti bahwa pada waktu banjir tanggal 2 Pebruari 2007, pintu air di Katulampa masih dalam kondisi normal, itu artinya penyebabnya adalah daerah di bawah kawasan Puncak.
Banjir memang sudah terjadi dan rupanya itu sudah menjadi langganan bagi penduduk Jakarta yang katanya dulu disebut Queen from the east. Masyarakat seolah tidak berdaya menghadapi banjir. Pemerintah seolah-olah juga begitu, air surut dan penduduk kembali ke rumah masing-masing maka bahaya air juga sudah dilupakan sampai musim banjir tahun berikutnya. Untuk itu apa yang mesti dilakukan sebagai masyarakat di tengah-tengah suasana banjir, maka masyarakat harus menyiapkan dirinya sendiri menghadapi banjir. Seperti yang dilakukan oleh penduduk di daerah Bukit Duri ketika banjir datang. “Bantuan Tak datang, Warga bentuk satgas” (Kompas, 3 Pebruari 2008) dalam kondisi seperti ini diperlukan sikap kedermawanan dari masyarakat lainnya. Sudah waktu social capital yang ada di masyarakat dipupuk terus untuk membantu masyarakat lain. Ada beberapa yang dapat diberdayakan untuk membantu warga masyarakat dari mulai lembaga swadaya masyarakat, pribadi-pribadi dan juga partai politik.
Partai Politik sudah waktunya memberi pembelajaran kepada masyarakat untuk segera bergerak memberi bantuan kepada masyarakat. Partai politik jangan hanya sibuk diwaktu setahun sebelum dan sesudah pemilu. Sekarang inilah dibuktikan peranan partai ketika jauh dari waktu pelaksanaan pemilu.
Kalau penduduk Jakarta pada waktu banjir tahun 1918 saja sibuk dengan memberikan bantuannya berupa bahan makanan, obat-obatan dan tempat pengungsian, dan juga mendirikan Smerofonds sebuah yayasan yang bergerak untuk membantu masyarakat yang terkena banjir dibentuk tahun 1916 diketuai oleh De Nijs Bik. Maka sikap filantrophi harus ditumbuhkembangkan oleh segenap masyarakat.
Karena tanpa penanganan tata air di Jakarta yang lebih baik, maka banjir Jakarta hanya akan menjadi bahan tertawaan untuk menyindir diri sendiri yang tidak mampu berbuat banyak dalam menghadapi fenomena alam, seperti yang dilakukan oleh Benyamin S dengan lagunya “Kebanjiran”.
Restu GunawanMahasiswa S3 Jurusan Sejarah UI dan Pegawai Dep Budpar
sumber: virgina veryastuti (virghien@yahoo.com)Kompas.com
.