Selasa, 20 November 2007

Kolumnis Diadili

Kolumnis diadili, cemarkan Kejaksaan Agung Gara-gara pelarangan buku sejarah SMP dan SMU serta novel Pramoedya Ananta Toer
Menulis kolom opini di surat kabar bisa menuai perkara di meja hijau. Kasus itulah yang menimpa penulis kolom, Bersihar Lubis yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Depok karena didakwa menghina instansi Kejaksaan Agung dan dituntut sesuai pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo 310 ayat (1) KUHP. Jaksa Penuntut Umum Tikyono dari Kejaksaan Negeri Depok menuntut terdakwa dengan hukuman delapan bulan penjara pada 14 November lalu. Lubis menyampaikan pledooinya pada 21 November 2007.
Kisah ini berawal ketika Lubis menulis kolom pendapat di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007 yang berjudul "Kisah Interogator yang Dungu." Tulisan opini itu mengkritisi pelarangan buku sejarah SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung pada Maret lalu. Lubis juga mengaitkannnyadengan pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (BM) dan Anak Semua Bangsa (ASB) pada 1981, juga oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus Pram, Lubis mengutip ceramah lisan Joesoef Isak, penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan novel Pram, BM dan ASB pada 1981 lalu di Hari Sastra Indonesia di Paris pada Oktober 2004 lalu. Lubis mengutip, Joesoef Isak diperiksa interrogator dari KejaksaanAgung pada 1981 yang menuturkan mulanya ia meminta supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah symposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya-karya Pram. Tapi ditolak dengan alasan interrogator lebih paham dari siapapun bahwa BM dan ASB adalah karya sastra Marxis.
Tapi kemudian pemeriksa meminta Joesoef Isak menunjukkan baris-baris mana yang memperlihatkan adanya teori Marxis dalam novel BM dan ASB. Padahal, semula katanya lebih paham dari siapapun. Interrogator beralasan bahwa mereka memang tidak bisa mengidentifikasi pada baris-baris mana teori Marxis dalam novel itu, tapi dapat merasakannya. Itulah yang membuat Joesoef mengucapkan "kata dungu" di Hari Sastra Indonesia di Paris itu. Nah, kutipan kata "dungu" dalam kontek interogasi Joesoef Isak itulah yang dicuplik Lubis, sehingga ia didakwa telah menghina instansi Kejaksaan Agung.
Kisah lama itu ditulis Lubis sehubungan dengan langkah Kejaksaan Agung melarang belasan buku sejarah SMP dan SMU karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan PKI di Madiun (1948) dan pemberontakan PKI pada 1965. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Muchtar Arifin, Jaksa Agung Muda Intelijen, kini Wakil Jaksa Agung RI.
Dalam kolomnya, Lubis mengkritisi pelarangan buku sejarah itu dari sudut kesejarahan belaka. "Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan Anhar Gonggong, dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah," tulis Lubis di Koran TEMPO.
Kebebasan Berpendapat
Dalam pembelaannya yang dibacakan pada 21 November 2007 di PN Depok, Lubis mantan wartawan Majalah TEMPO (1978-1994) itu mengutip berbagai fakta dalam persidangan. Ternyata tak seorang saksi pun yang secara tegas dan meyakinkan mengatakan bahwa kata "dungu" itu berasal dari Lubis. Dua saksi dari Kejaksaan Negeri Depok, sekaligus saksi pelapor ke Polres Depok, yakni Pudin Saprudin dan Abdul Syukur, semula berkata bahwa kata "dungu" dalam tulisan itu berasal dari Lubis. Kemudian keduanya bimbang setelah dicecar hakim.Akhirnya, keduanya berkata, "tidak tahu."
Beda dengan saksi Susanto SH, juga dari Kejaksaan Negeri Depok, mengatakan bahwa kata "dungu" adalah kutipan dari Joesoef Isak. Keterangan saksi Daru Priyambodo selaku Redaktur Eksekutif Koran TEMPO dengan tegas mengatakan bahwa kata-kata "dungu" itu berasaldari Joesoef Isak, bukan terdakwa.
Saksi Joesoef Isak, mulanya menjelaskan bahwa istilah "dungu" itu tidak sepenuhnya mencerminkan ceramah lisannya di Paris. Tapi mantan Pemred Harian Merdeka ini mengaku tak bisa mengulanginya secara persis (beliau sudah berusia 79 tahun). Namun ketika Lubismemperlihatkan teks pidatonya sehubungan karya-karya Pram di Fordham University, New York pada 24 April 1999 di depan Majelis Hakim, Joesoef Isak membenarkan. Ia mengakui adanya kata "idiocy" dalam pidatonya di New York tersebut. Ia pun membenarkan beberapa butir teks pidatonya di New York, yang dikonfirmasikan terdakwa di depan majelis dan klop dengan tulisan terdakwa di Koran TEMPO.
Joesoef Isak adalah penerima Hadiah Jeri Laber Pour La Liberte De l'edition dari Perhimpunan Penerbit Amerika, Partner Pen American Center, April 2004 di New York. Selain juga penghargaan dari Australia dan Belanda.
Menurut Lubis, teks pidato Joesoef di New York juga dibagikan-bagikan pada Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Ceramah dan teks pidato itulah yang kemudian dilaporkan oleh JJ Kusni, koresponden Majalah MEDIUM di Paris dan mengirimkannya ke Majalah MEDIUM lengkap dengan foto-foto Joesoef Isak di Paris dan dimuat pada edisi 27 Oktober-9 November 2004. Pada saat itu, Lubis menjadi Pemimpin Redaksi Majalah MEDIUM di Jakarta.
Ketika Kejaksaan Agung melarang buku sejarah SMP dan SMU pada Maret 2007 lalu, Lubis pun mengutip laporan dari Hari Sastra Indonesia di Paris itu, sebagai bahan untuk tulisan Pendapat atau Opini di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007.
Keterangan saksi Joesoef Isak ini klop dengan keterangan saksi ahli Frans Asisi Datang, M. Hum dari UI Jakarta yang menjelaskan bahwa jika kata dungu itu berasal dari tulisan (teks pidato Joesoef Isak, pen), harus dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan.
Dalam pledooinya, Lubis mengatakan bahwa tulisannya di Koran TEMPO bukanlah perbuatan pidana. "Tetapi adalah wujud ekspresi dalam kebebasan berpendapat sebagaimana dibenarkan dalam pasal 28 UUD 1945, dan merupakan bagian dari alam demokrasi di Indonesia," kataLubis. Untuk itu ia mohon Majelis Hakim membebaskannya dari segala dakwaan.
Komunitas Sejarah
Dalam pleedoinya, Lubis juga mengutip keterangan Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia) Jhonson Panjaitan di media massa yang mengkritik Kejaksaan Agung terkait pelarangan 13 buku sejarah. PBHI mewakili Komunitas Sejarah Indonesia melihatpelarangan itu tak berdasar. Misalnya, pelarangan buku pelajaran kelas I SMP karena pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku tersebut tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Padahal, buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965 karena pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan Nusantara. Belum sampai ke periode Peristiwa Madiun dan G30S/PKI 1965. Bahkan, selain melarang bukuyang tidak mencantumkan G30S/PKI (Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, Erlangga) tetapi juga melarang buku yang tetap menggunakan istilah G30S/PKI (Tugiyono dkk, Pengetahuan Sosial, Grasindo).
Bertolak dari pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer dan pelarangan buku sejarah untuk SMP dan SMU, menurut Lubis, telah menimbulkan ketidak-pastian hukum. Bahkan dapat menghambat kreatifitas penulisan dan penerbitan karya sastra maupun buku-buku sejarah yang merugikan dunia penerbitan secara ekonomi dalam kaitannya dengan pencerdasanbangsa. Mengutip pasal 310 ayat (3) KUHAP, maka kritik yang dilakukan Lubis adalah demi kepentingan umum, dan bukan merupakan perbuatan pidana pencemaran tertulis (Bersihar Lubis).
Catatan:
1. Bersihar Lubis, 57 tahun. Nomor HP. 081317889457. Penah bekerja di Majalah TEMPO (1978-1994); Majalah GATRA (1995-1999); Majalah GAMMA (1999-2003); Majalah MEDIUM (2003- awal 2006). Sekarang penulis tetap Weekly Review di Medan Bisnis (Medan) tulisan Opini di Harian Analisa (Medan), Harian Riau Pos (Pekanbaru), Sumut Pos (Medan), Pikiran-Rakyat (Bandung), Batak Pos (Jakarta); Koran TEMPO (Jakarta) dan sesekali di Harian KOMPAS (Jakarta) dan Sinar Harapan (Jakarta). Ayah empat anak, kelahiran Gunungtua Batangonang, Tapanuli Selatan Sumatera Utara, 25 Februari 1950.
2. Dalam persidangan, saya tidak didampingi penasihat hukum. Tapi berdiskusi dan menerima masukan dari rekan-rekan PBHI Jakarta (Irfan Fahmi al Kindy, HP, 08159023416). media-jakarta.blogspot.com

Tidak ada komentar: