Jumat, 22 Februari 2008

Orang Betawi Setelah Tahun 2000

Bicara Betawi atau lebih jelasnya suku Betawi saat ini kembali hangat untuk dibicarakan. Hanya saja tingkat penekanannya berbeda. Bila dahulu menyebut etnis asli penduduk Jakarta ini hanya untuk kepentingan budaya atau pelengkap kota Jakarta semata kini bicara Betawi justru menukik pada jati diri dan produk lain yang terkait dengannya. Pembicaraan ini tak terkait dengan urusan politik dalam arti efek kemenangan Fauzi Bowo sebagai Gubernur Jakarta yang berdarah Betawi.
Di lapangan pembicaraan soal Betawi relatif melebar dan rentan dengan pembiasan di sana-sini. Hal itu terjadi, kata banyak orang, akibat ketidaklengkapan data dan informasi yang didapat sehingga kesimpulan yang dibuat pun menjadi melenceng. Pencitraan soal betawi pun menjadi lain dari betawi itu sendiri. Ataukah memang apa yang dikatakan orang soal betawi saat ini ada benarnya. Seperti ‘kaum betawi kampungan,’ ‘bukan penduduk asli Jakarta’ atau ‘orang betawi tak berpendidikan’ dan segudang pencitraan negatif lainnya. Setuju atau tidak, ini pendapat yang kuat dan beredar di telinga masyarakat.
Lalu siapa betawi sebenarnya, banyak buku dan tulisan yang muncul beberapa tahun belakangan ini mengulas soal potret orang betawi atau kebetawian. Sebut saja kumpulan tulisan dari wartawan senior Alwy Shahab yang berseri. Buku tersebut bisa jadi sedikit dipercaya lantaran dirinya orang betawi dan melakuakn penelitian mendalam serta mampu mengenal budayanya secara baik. Terlihat dari mutu tulisannya yang padat dengan informasi berharga soal betawi. Dalam buku tersebut, suku betawi diakui sebagai suku asli Jakarta namun dalam perjalannya suku betawi banyak dipengaruhi oleh banyak kultur budaya asing. Sebut saja, budaya Arab, China, Potugis dan lainnya. Pendapat ini ada benarnya karena dapat dibuktikan kenyataannya di lapangan.
Bila kita penggal babak sejarah betawi setelah tahun 2000, bicara betawi banyak dipengaruhi dengan urusan formal. Seperti kelahiran berbagai organisasi yang mengatasnamakan orang betawi atau betawi. Seperti dikatakan pengurus badan musyawarah masyarakat betawi (bamus Betawi) baru-baru ini, setidaknya tercatat mendekati 80 organisasi yang mengatasnamanakan betawi. Menariknya, kelahiran organisasi tersebut tak jauh dari tahun 2000-an.
Apakah sebelum tahun itu tak ada orang betawi yang ‘bisa’ membuat organisasi serupa? Atau masalah kesempatan dan waktu saja yang belum mendukung. Ini perubahan dahsat bagi orang betawi yang mendiami wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Paling tidak kata salah seorang pengurus dan pendiri Ormas betawi, menurutnya, era tahun 2000-an merupakan era kebangkitan orang betawi dari tidur panjangnya. Dahulu, orang betawi selalu dipinggirkan baik dalam kebijakan formal maupun kemasyarakatan. Sekarang orang betawi mulai unjuk gigi lewat kemunculan organisasi. Paling tidak kata dia, lewat inilah dirinya mampu berperan di Jakarta dan dapat membela hak-hak orang betawi yang dahulu terpinggirkan.
Saat ini, gubernur Jakarta telah dipegang oleh orang betawi. Kehadiran Foke menjadi orang nomor satu di Jakarta sedikit banyak mendorong komunitas ras betawi sedikit ‘diorangin.’ Maksudnya adalah penghargaan untuk orang betawi mulai naik ‘satu kelas’ dari kesan ketertinggalan yang melekat selama ini.
Masalah berikutnya, apakah dengan kemunculan banyak organisasi betawi plus gubernur Jakarta dari orang betawi justru akan menampakan orang betawi seperti jadi dirinya yang sebenarnya. Atau menjadi suku ‘predator’ yang siap memangsa suku lainnya di kampung sendiri. Ini tentu jangan sampai terjadi sebab siapan pun tahu orang betawi selalu ‘welcome’ alias terbuka kepada siapa saja untuk sejajar di sampingnya asalkan harge diri gue kaga lu usik-usik.









Tidak ada komentar: