Senin, 04 Februari 2008

BAHAN KAJIAN NEOLIBERALISME DALAM KASUS RUU PMA

*Fauzi Fashri
Abstraksi Awal
RUU berisi 36 pasal ini, hanya menitik beratkan bagaimana mengundang pemodal sebanyak-banyaknya dan melayani mereka bak majikan.Tahun 2005 jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri mencapai USD 8,55 miliar yang dinvestasikan pada 785 proyek.Selama Januari hingga Oktober 2006, jumlah modal asing bertambah USD 4,48 miliar yang dinvestasikan pada 770 proyek.Perbaikan investasi dijadikan alasan mempercepat keluarnya RUU PM, setidaknya pada Februari 2007 nanti. Dengan alasan yang sama Bank Dunia juga ikut mendesak RUU ini segera dikeluarkan. Pengurus negara tak pernah menghitung biaya eksternalitas, berupa biaya dan nilai oportunitas sosial dan lingkungan yang dibebankan kepada rakyat di kawasan dimana penanaman modal beroperasi.Biaya eksternalitas bisa dengan mudah dijumpai hampir disemua titik-titik investasi industri ekstraktif dalam bentuk pemiskinan, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.Mulai dari Exxon Mobil di NAD, Laverton Gold di Sumatera selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimantan timur, Arutmin di Kalimantan selatan, Aurora Gold di Kalimantan tengah, PT INCO di Sulawesi selatan, Expan Tomori di Sulawesi tengah, Antam Pomalaa di Sulawesi tenggara. Juga Newmont di Sulawesi utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, juga Newcrest, PT Anggai dan PT Elka Asta Media di Maluku utara, Pertamina di Babelan Bekasi, Lapindo di Sidoarjo hingga Freeport dan Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua. Segala upaya yang dilakukan pengurus negara untuk mengundang investasi mengekstraksi bahan tambang dan migas sebesar-besarnya. Hingga tahun 2005 terdapat 1830 ijin pertambangan mineral dan batubara serta sedikitnya 202 blok migas, yang sebagian besar dikuasai asing. Dari 66 blok migas yang berproduksi sebagian besar diekspor hanya untuk melipat gandakan devisa negara. Tindakan ini telah melahirkan krisis energi yang berujung merugikan rakyat. Kontrak-kontrak jangka panjang migas telah melahirkan krisis migas di NAD yang ditandai dengan tutupnya PT Kertas Kraft Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh Fertilizer. Yang tak lama kemudain disusul krisis gas di Kaltim dan dikawasan lainnya. Belakangan krisis listrik juga terjadi menyusul krisis gas ini, menguatkan bukti rapuhnya ketahanan energi bangsa ini. Pengurus negara lebih suka menerapkan kebijakan suku bunga relatif tinggi. Akibatnya investasi portofolio menjadi pilihan pemodal dan menjadikan Indonesia sebagai ajang spekulasi investasi-investasi jangka pendek. Terbukti jumlah modal yang bergerak di Bursa Saham Jakarta hingga akhir 2005 mencapai 801,25 triliun, dengan lebih dari 4 juta transaksi, yang dijalankan oleh 336 emiten. Angka ini 10 kali lebih besar dari jumlah investasi asing yang masuk pada tahun 2005. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap transaksi spekulasi dan perpindahan uang keluar. Tak sedikitpun pelajaran dari kasus-kasus dan masalah yang terjadi sepanjang 40 tahun, sejak berlakunya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 diatas menjadi rujukan pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reorientasi penyusunan RUU PM. Dimana hampir semua pasalnya sangat terbuka agar dapat menarik modal sebanyak-banyaknya. Tak ada perlakuan berbeda antara investasi asing dan domestik, tak ada pembatasan penguasaan sektor publik. Tidak ada pengaturan investasi dikaitkan dengan national interest. Termasuk pengaturan yang ditujukan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, hingga dikaitkan dengan pengembangan wilayah, alih teknologi hingga pengembangan UKM. Bahkan semangat liberalisasi yang berlebihan melahirkan pasal-pasal sangat tegas tentang peluang investor melakukan transfer dan repatriasi secara bebas dan jaminan bebas nasionalisasi. Melihat subtansi RUU PM yang disusun pemerintah dan mengikuti rapat pembahasannya di Komisi VI DPR RI, terasa sekali pengurus negara hanya bersiap mengundang pemodal sebesar-besarnya, tanpa kehendak mengaturnya. Bangsa ini terbukti tak pernah bebas menentukan keputusan sendiri. Setelah Bank Dunia, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell mengintervensi penyusunan Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUU PM). Saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (15/3/2007) di Jakarta, Lord Powell mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar segala “ganjalan” investasi di tingkat pusat dan daerah. RUU PM akan mengganti peraturan lama yang telah berusia 40 tahun lalu, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970), tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional.Penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi, malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Negeri ini makin bergantung pada kekuatan asing. Saat ini, dominasi modal asing mencapai 70%. Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh. Setidaknya terdapat 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu per hari. Sepanjang 5 tahun terakhir, pertumbuhan angkatan kerja mencapai 6,9 juta jiwa lebih, dimana 2,8 juta tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia.Mereka malah menyusun RUU PM yang berpotensi membahayakan keselamatan dan produktivitas rakyat. RUU ini memperlakukan pemodal, khususnya modal asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. Pemodal juga bebas melakukan repatriasi, mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal hingga bebas nasionalisasi. Sedikitpun tidak nampak upaya sungguh-sungguh melakukan koreksi atas pengelolaan kebijakan ekonomi neoliberal selama ini.Ironisnya, pemerintah dan DPR RI yang harusnya mengubah secara mendasar subtansi RUU PM, justru ngotot segera mengesahkan. Mereka juga menolak melakukan konsultasi pubik yang dimandatkan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Mereka lebih patuh kepada pihak asing, yang secara gamblang disampaikan utusan khusus PM Inggris : mempercepat pengesahan RUU PM. Inggris adalah negara yang memiliki kepentingan sangat besar terhadap penanaman modal di Indonesia. Pada tahun 2005, mereka memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua di negeri ini setelah Singapura. Dominasi modal asing telah menutup akal sehat pemerintah dan DPR Senayan.RUU PM memberikan peluang industri manufaktur memindahkan modalnya ke luar negeri kapan pun. Industri tersebut diantaranya pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%. Akibatnya jaminan atas pekerjaan bagi buruh perempuan akan semakin melemah. Petani juga akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan oleh RUU ini. Pasalnya RUU ini akan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) sepanjang 80 tahun, hak pakai selama 70 tahun. Selain bertentangan dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, RUU ini lebih buruk dibanding peraturan pada masa kolonial Belanda yang hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU selama 75 tahun. Analisis
Substansi pasal yang tidak berpihak pada rakyat dan mengancam kedaulatan negara:
Pasal 1Ayat 3:
Penanaman modal asing adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Kritik: Pemerintah terkesan memberikan kebebasan sangat besar pada modal asing, dengan pernyataan “modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam”, mengindikasikan pemerintah memberikan kesempatan 100% bagi modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah seharusnya memberikan pembatasan pada investasi asing dan mengutamakan pada muatan lokal (local content).
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanam modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia.Kritik: Tidak ada ketetapan bahwa pemerintah menetapkan batas-batas sektoral dalam perekonomian Indonesia terhadap modal asing dan modal besar lainnya. Sektor publik seperti air, listrik, transportasi dll. seharusnya dilindungi.
Pasal 3Ayat 1 (d):
Pemerintah tidak memakai asas keadilan dan kesejahteraan rakyat serta perlindungan terhadap hak warga negara, affirmative action untuk sektor-sektor produksi rakyat, contohnya: industri rumah tangga, pertanian skala kecil, sektor informal, perikanan dan peternakan rakyat. Hal ini seharusnya juga diakomodasi di pasal 4 ayat 2 (a) dan (c).
Pasal 4.Ayat 1:Seperti komentar kami pada ayat 3, pemerintah menunjukkan keengganannya untuk memperhatikan asas keadilan memberantas kemiskinan, tidak memperkuat industri nasional, namun lebih berorientasi mendorong penanaman modal asing secara besar-besaran dan mengingkari perekonomian rakyat dalam Pancasila.
Ayat 2 (a): Pemerintah tidak memperhatikan ikatan masyarakat dengan tanah, aspek budaya, sejarah. Pasal ini mengancam kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, pangan serta aspek kehidupan yang lain.
Pasal 5.
Pasal ini tidak memuat usaha kelompok rakyat sebagai salah satu penanam modal, contohnya koperasi. Sebaliknya pemerintah terlihat lebih mengakomodasi usaha perorangan, padahal usaha perorangan ini justru menyebabkan akumulasi modal pada individu tertentu. Hal ini akan menimbulkan akibat berbahaya jika sewaktu-waktu terjadi pelarian modal ke luar negeri atau pemindahan nama pemegang saham atas nama orang lain yang berakibat pula pada pengalihan aset dan kepemilikan secara besar-besaran dan ilegal. Pasal 6. Pemerintah terkesan memberikan kebebasan atas masuknya penanaman modal asing dengan hak berproduksi yang sangat besar dan kewajiban yang sangat menguntungkan penanam modal, tanpa memikirkan kepentingan dan hak rakyat sendiri. Pemerintah seharusnya melarang untuk memberikan perlakuan yang sama, karena penanam modal asing tidak punya kedudukan dan hak yang sama di wilayah hukum Indonesia.
Pasal 7.
Pasal ini mencerminkan pemerintah berada di bawah wilayah kekuasaan internasional. Seharusnya Pemerintah memuat haknya untuk menguasai kepemilikan penanaman modal dan untuk memberlakukan pengambilalihan negara/nasionalisasi untuk kepentingan publik. Nasionalisasi adalah hak sebuah negara berdaulat untuk kepentingan publik, sejalan dengan pasal 33 UUD 1945.
Pasal 8.
Pasal ini berpotensi untuk terjadinya pelarian modal dan kepemilikan secara tak terbatas yang menyebabkan ketidakpastian hukum atas aset, yang akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Pengalihan aset tidak boleh berlaku untuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, demikian juga sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak”. Dengan demikian repatriasi yang artinya pelarian modal, harus dilarang. Seharusnya ada ketentuan bahwa dana modal harus mengendap di Indonesia selama jangka waktu tertentu.
Pasal 9.
Pasal ini sangat interpretatif, misalnya dalam kata-kata “tanggung jawab hukum, tanggung jawab sosial”. Tanggung jawab sosial dalam konteks korporasi (Corporate Social Responsibility) selalu menggunakan kata “should atau shall”, yang maknanya saran, tetapi bukan “have to” atau kewajiban imperatif. Ini merupakan salah satu bentuk penyuapan sosial. Jangan sampai tanggung jawab sosial hanya sebatas pertanggungan jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) yang bersifat semu atau memuaskan kepentingan korporasi. Kasus dana-dana Freeport untuk aktifitas karitatif sudah dianggap bertanggung jawab secara sosial, padahal makna tanggungjawab sosial lebih dari hanya sekedar pemberian dana karitatif.
Pasal 10
Pasal ini terlihat memberikan hak, fasilitas khusus dan kemudahan pada penggunaan tenaga kerja asing. Padahal penggunaan tenaga kerja asing akan menggusur tenaga kerja lokal. Pasal ini seharusnya memuat jaminan perusahaan untuk menghormati standar tenaga kerja inti (core labour standard) berupa jaminan perlindungan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan pekerja warga negara Indonesia.
Pasal 11.
Pasal ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada masalah dan penyelesaian sengketa perburuhan. Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial itu harus diselesaikan dengan sistem keterwakilan yang seimbang, bukan dengan tripartit yang selama ini komposisinya tidak seimbang. Seharusnya pasal ini memuat mengenai perlindungan tenaga kerja dalam hal fasilitas, kemudahan akses, kesehatan, jaminan kerja dan keselamatan.
Pasal 12.
Pasal ini mengatakan muatan bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka dan tertutup, namun pada kenyataannya tidak ada bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pasal ini sama sekali tidak ditujukan untuk melindungi perekonomian rakyat, sebaliknya sangat mencerminkan semangat neoliberalisme yang berlebihan yang jelas melanggar isi dan makna Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 15.
Pasal ini tidak memasukkan kriteria pelanggaran ham, kekerasan –termasuk kekerasan aparat pemerintah atau perusahaan, perlakuan diskriminasi, pelanggarn dan kerusakan lingkungan, pelaksanaan Amdal, penghormatan atas tradisi dan sistem kepercayaan masyarakat, budaya, ekosistem, kewajiban mensosialisasikan atau diseminasi pengetahuan/informasi adanya kemungkinan dampak lingkungan dari kegiatan usaha kepada msyarakat di sekitarnya, serta kewajiban untuk membagikan nilai lebih keuntungan perusahaan kepada masyarakat, dan kewajiban melakukan perbaikan lingkungan dan sosial paska kegiatan usaha yang berakhir (pasal selanjutnya harus memuat tentang sanksi-sanksi atas tidak dipenuhinya kewajiban di atas).
Pasal 16.
Pasal ini tidak memuat kewajiban penanam modal dalam pemberian jaminan, perlindungan lingkungan dan perlindungan hak kehidupan masyarakat sekitar.
Pasal 17.
Pasal ini berlogika bahwa alokasi dana perbaikan (recovery) oleh perusahaan dilakukan secara bertahap, padahal seharusnya dalam kegiatan usaha eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan maka perusahaan harus memberikan dana deposit di awal sebesar 50% dari total aset untuk menghindari eksploitasi brutal oleh perusahaan. Contoh kewajiban pemberian deposit perusahaan Newmont yang beroperasi di Nevada. Dalam pasal ini pemerintah tercermin melakukan langkah yang kuratif bukan preventif. Pemulihan lokasi tidak hanya berkait dengan rehabilitasi lahan secara fisik (contoh: lokasi operasional perusahan) tetapi terkait juga dengan kesehatan, dan kesiapan masyarakat sekitar.
Pasal 18.(a) Daerah terpencil tidak dapat menjadi alasan bagi pemberian fasilitas kemudahan pada penanaman modal, karena sebagian besar sektor industri ekstratif beroperasi di wilayah tersebut. (b) Bahwa pemberian pembebasan dan keringanan bea masuk barang modal atau mesin tidak akan mendorong produktifitas industri dalam negeri agar mampu memproduksi barang modal, mendorong produktiftas dan alih teknologi.
Pasal 19.
(a) Keberatan jika hak atas tanah diberikan sebagai fasilitas, sebab fasilitas itu akan mengubah hak kepemilikan dan perlindungan, kemudahan akses atas hak kepemilikan rakyat atas tanah, dan perubahan peta penguasaan atas tanah
b) Fasilitas perijinan impor, selama ini tidak pernah jelas tentang peraturan mengenai impor, apalagi adanya pemberian fasilitas atas impor tersebut. Impor tidak mendorong produk dalam negeri, sebaliknya impor justru membawa uang keluar bukan membawa uang masuk dalam devisa negara.
Pasal 20.]
(a) bertentangan dengan UUD 45 pasal 33 dan berlawanan dengan UU pokok Agraria. Didalam UU pokok Agraria, bagian penjelasan disebutkan bahwa Hak Guna Usaha merupakan mekanisme konversi atas hak erpacht, yang diberikan pada masa transisi dari masa revolusi 1945 untuk penataan struktur agraria. Dalam hal ini isi pasal 20 RUU Penanaman Modal tentang Hak Guna Usaha (95 tahun), Hak Guna Bangunan (80 tahun) dan Hak Pakai (70 tahun) itu berarti menghilangkan akses rakyat terhadap tanah sepanjang masa itu.
(b) Kegiatan penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara. Pemerintah tidak diperkenankan memberikan ijin kegiatan penanaman modal atas tanah negara. Pada prinsipnya tanah negara adalah tanah rakyat Indonesia. Pemerintah memfasilitasi rakyat mengambil manfaat atas tanah tersebut secara merata, tidak untuk dialihkan ke penguasaan pribadi/usaha komersial.
Ayat 3:
Ayat ini hanya mempertimbangkan kapasitas produksi lahan dan proses produksi oleh pemilik modal di tempat tersebut. Ayat ini tidak memperhatikan evaluasi dan kepentingan masyarakat sekitarnya sebagai pemegang hak atas tanah (stakeholder).
Ayat 4: Pemberian dan perpanjangan dalam ayat ini seharusnya berdasarkan pada permintaan negara atas jaminan perusahaan untuk tidak melanggar hak asasi manusia secara keseluruhan, seperti rincian tentang perlindungan dan jaminan pada hak pekerja, anak-anak, perempuan dan rakyat sekitarnya.
Pasal 21.
Ayat 1: Pemerintah tidak perlu memberikan kemudahan fasilitas imigrasi. Fasilitas imigrasi seharusnya diberikan dengan standar yang sama pada setiap individu. Pasal 22. Fasilitas tidak perlu diberikan secara istimewa atau khusus. Sudah waktunya pemerintah melarang dengan tegas impor barang-barang sisa/buangan luar negeri yang jelas tidak dapat lagi digunakan di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus tegas menetapkan standar barang impor (bekas/baru).
Pasal 28.
Sebelum menetapkan pasal ini, pemerintah seharusnya menyelesaikan dan melakukan koordinasi kewajiban pembagian tugas dan wewenang pusat dan daerah secara adil dan benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, bukan kesejahteraan pemerintah dan pemilik modal.
Pasal 29.
Catatan: Kawasan ekonomi khusus hanya tercermin memberikan kemudahan bagi kegiatan berproduksi pemilik modal tanpa mencerminkan kepentingan pemerintah pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta wawasan lingkungan hidup. Pemerintah hendaknya menentukan kwasan ini pada kepentingan rakyat dan lingkungan hidup, bukan menjadikan rakyat sekitar menjadi terasing dan tidak mempunyai kemudahan akses apapun atas hidupnya di kawasan tersebut.
Pasal 30.
Ayat 4:
(a) Sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing harus berada dalam wilayah hukum Indonesia, tidak dalam wilayah hukum internasional. Arbitrase internasional terlalu riskan karena kemenangan atas sengketa ditentukan oleh besarnya dana.
(b). Pemerintah tidak memperhatikan kemungkinan adanya sengketa antara rakyat dengan penanam modal. Ini berarti pemerintah hanya memperhatikan kepentingan kegiatan penanaman modal yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
Pasal 31.
(a) Merujuk pada kertas posisi kami Pasal 15 yang berisi: “Paling sedikit menyimpan deposit 50% dari total aset. Dan tidak melanggar hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, tidak melakukan kekerasan dalam pengelolaan serta wajib menjaga, tidak merusak ekosistem dan memenuhi prasyarat dan kewajiban Amdal”. Pemerintah dalam menetapkan sanksi seharusnya berkewajiban melakukan sosialisasi jenis usaha dan dampak kepada masyarakat, dan terutama memperhatikan bentuk-bentuk pelanggaran para penanam modal secara keseluruhan, taat hukum dan konsisten. (b) Pada pasal ini pemerintah hanya menerapkan sanksi administratif, sementara kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan (misalnya pelanggaran Amdal, HAM, kerusakan lingkungan dan kerugian lain) tidak dicantumkan, demikian pula dengan sanksi perdata maupun pidana atas kemungkinan kasus-kasus di atas yang dapat terjadi.
Pasal 34.
Ayat 4: Tidak ada kejelasan tentang batas waktu yang tegas yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang lalu (UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri 1968). Jika misalnya suatu perusahaan sudah melakukan eksploitasi berdasarkan UU PMA 67 atau PMDN 68 sudah habis masa berlakunya atau hampir habis mas berlakunya, jangan sampai ia doberikan kesempatan untuk kembali melakukan eksploitasi berdasarkan UU Penanaman Modal. Sebagai catatan penting, pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal ini tidak mencantumkan sedikitpun tentang ketentuan mengenai keharusan audit terhadap semua aktifitas penanaman modal.
Kesimpulan:
Pertama, RUU ini tidak mengedepankan kepentingan nasional, namun justru melayani internasionalisasi modal. Orientasi kebijakan ekonomi Indonesia masih terlihat berada pada eksploitasi bahan baku, yang berarti ekonomi Indonesia tidak diarahkan pada ekonomi yang bersifat kompetitif. Dengan demikian RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI, karena memfasilitasi modal asing, menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat Indonesia). Pemerintah secara jelas tidak menunjukkan itikad baik untuk menopang kehidupan rakyat sekitar secara khusus dan rakyat secara keseluruhan atas aktifitas penanaman modal, sebaliknya justru menunjukkan indikasi masuknya kolonialisme baru.
Kedua, RUU ini tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK, akibat perusahaan tutup sebagai dampak pindah lokasi usaha. Sementara itu pemerintah justru memfasilitasi kehadiran tenaga kerja asing melalui kemudahan-kemudahan keimigrasian dan fasilitas lainnya, tanpa regulasi khusus mengenainya.
Ketiga, RUU ini memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara, khususnya korporasi.
Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri, seperti investasi pada pabrik garment, sepatu, mainan anak, tekstil, dan industri lainnya yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%, akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembngkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.
Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan dalam sektor tersebut. BAHAN KAJIAN NEOLIBERALISME DALAM KASUS RUU PMA*Fauzi Fashri
Abstraksi Awal
RUU berisi 36 pasal ini, hanya menitik beratkan bagaimana mengundang pemodal sebanyak-banyaknya dan melayani mereka bak majikan.Tahun 2005 jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri mencapai USD 8,55 miliar yang dinvestasikan pada 785 proyek.Selama Januari hingga Oktober 2006, jumlah modal asing bertambah USD 4,48 miliar yang dinvestasikan pada 770 proyek.Perbaikan investasi dijadikan alasan mempercepat keluarnya RUU PM, setidaknya pada Februari 2007 nanti. Dengan alasan yang sama Bank Dunia juga ikut mendesak RUU ini segera dikeluarkan. Pengurus negara tak pernah menghitung biaya eksternalitas, berupa biaya dan nilai oportunitas sosial dan lingkungan yang dibebankan kepada rakyat di kawasan dimana penanaman modal beroperasi.Biaya eksternalitas bisa dengan mudah dijumpai hampir disemua titik-titik investasi industri ekstraktif dalam bentuk pemiskinan, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.Mulai dari Exxon Mobil di NAD, Laverton Gold di Sumatera selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimantan timur, Arutmin di Kalimantan selatan, Aurora Gold di Kalimantan tengah, PT INCO di Sulawesi selatan, Expan Tomori di Sulawesi tengah, Antam Pomalaa di Sulawesi tenggara. Juga Newmont di Sulawesi utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, juga Newcrest, PT Anggai dan PT Elka Asta Media di Maluku utara, Pertamina di Babelan Bekasi, Lapindo di Sidoarjo hingga Freeport dan Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua. Segala upaya yang dilakukan pengurus negara untuk mengundang investasi mengekstraksi bahan tambang dan migas sebesar-besarnya. Hingga tahun 2005 terdapat 1830 ijin pertambangan mineral dan batubara serta sedikitnya 202 blok migas, yang sebagian besar dikuasai asing. Dari 66 blok migas yang berproduksi sebagian besar diekspor hanya untuk melipat gandakan devisa negara. Tindakan ini telah melahirkan krisis energi yang berujung merugikan rakyat. Kontrak-kontrak jangka panjang migas telah melahirkan krisis migas di NAD yang ditandai dengan tutupnya PT Kertas Kraft Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh Fertilizer. Yang tak lama kemudain disusul krisis gas di Kaltim dan dikawasan lainnya. Belakangan krisis listrik juga terjadi menyusul krisis gas ini, menguatkan bukti rapuhnya ketahanan energi bangsa ini. Pengurus negara lebih suka menerapkan kebijakan suku bunga relatif tinggi. Akibatnya investasi portofolio menjadi pilihan pemodal dan menjadikan Indonesia sebagai ajang spekulasi investasi-investasi jangka pendek. Terbukti jumlah modal yang bergerak di Bursa Saham Jakarta hingga akhir 2005 mencapai 801,25 triliun, dengan lebih dari 4 juta transaksi, yang dijalankan oleh 336 emiten. Angka ini 10 kali lebih besar dari jumlah investasi asing yang masuk pada tahun 2005. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap transaksi spekulasi dan perpindahan uang keluar. Tak sedikitpun pelajaran dari kasus-kasus dan masalah yang terjadi sepanjang 40 tahun, sejak berlakunya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 diatas menjadi rujukan pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reorientasi penyusunan RUU PM. Dimana hampir semua pasalnya sangat terbuka agar dapat menarik modal sebanyak-banyaknya. Tak ada perlakuan berbeda antara investasi asing dan domestik, tak ada pembatasan penguasaan sektor publik. Tidak ada pengaturan investasi dikaitkan dengan national interest. Termasuk pengaturan yang ditujukan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, hingga dikaitkan dengan pengembangan wilayah, alih teknologi hingga pengembangan UKM. Bahkan semangat liberalisasi yang berlebihan melahirkan pasal-pasal sangat tegas tentang peluang investor melakukan transfer dan repatriasi secara bebas dan jaminan bebas nasionalisasi. Melihat subtansi RUU PM yang disusun pemerintah dan mengikuti rapat pembahasannya di Komisi VI DPR RI, terasa sekali pengurus negara hanya bersiap mengundang pemodal sebesar-besarnya, tanpa kehendak mengaturnya. Bangsa ini terbukti tak pernah bebas menentukan keputusan sendiri. Setelah Bank Dunia, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell mengintervensi penyusunan Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUU PM). Saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (15/3/2007) di Jakarta, Lord Powell mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar segala “ganjalan” investasi di tingkat pusat dan daerah. RUU PM akan mengganti peraturan lama yang telah berusia 40 tahun lalu, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970), tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional.Penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi, malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Negeri ini makin bergantung pada kekuatan asing. Saat ini, dominasi modal asing mencapai 70%. Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh. Setidaknya terdapat 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu per hari. Sepanjang 5 tahun terakhir, pertumbuhan angkatan kerja mencapai 6,9 juta jiwa lebih, dimana 2,8 juta tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia.Mereka malah menyusun RUU PM yang berpotensi membahayakan keselamatan dan produktivitas rakyat. RUU ini memperlakukan pemodal, khususnya modal asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. Pemodal juga bebas melakukan repatriasi, mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal hingga bebas nasionalisasi. Sedikitpun tidak nampak upaya sungguh-sungguh melakukan koreksi atas pengelolaan kebijakan ekonomi neoliberal selama ini.Ironisnya, pemerintah dan DPR RI yang harusnya mengubah secara mendasar subtansi RUU PM, justru ngotot segera mengesahkan. Mereka juga menolak melakukan konsultasi pubik yang dimandatkan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Mereka lebih patuh kepada pihak asing, yang secara gamblang disampaikan utusan khusus PM Inggris : mempercepat pengesahan RUU PM. Inggris adalah negara yang memiliki kepentingan sangat besar terhadap penanaman modal di Indonesia. Pada tahun 2005, mereka memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua di negeri ini setelah Singapura. Dominasi modal asing telah menutup akal sehat pemerintah dan DPR Senayan.RUU PM memberikan peluang industri manufaktur memindahkan modalnya ke luar negeri kapan pun. Industri tersebut diantaranya pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%. Akibatnya jaminan atas pekerjaan bagi buruh perempuan akan semakin melemah. Petani juga akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan oleh RUU ini. Pasalnya RUU ini akan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) sepanjang 80 tahun, hak pakai selama 70 tahun. Selain bertentangan dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, RUU ini lebih buruk dibanding peraturan pada masa kolonial Belanda yang hanya membolehkan pemakaian tanah semacam HGU selama 75 tahun. Analisis
Substansi pasal yang tidak berpihak pada rakyat dan mengancam kedaulatan negara:
Pasal 1Ayat 3:
Penanaman modal asing adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Kritik: Pemerintah terkesan memberikan kebebasan sangat besar pada modal asing, dengan pernyataan “modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam”, mengindikasikan pemerintah memberikan kesempatan 100% bagi modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah seharusnya memberikan pembatasan pada investasi asing dan mengutamakan pada muatan lokal (local content).
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanam modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia.Kritik: Tidak ada ketetapan bahwa pemerintah menetapkan batas-batas sektoral dalam perekonomian Indonesia terhadap modal asing dan modal besar lainnya. Sektor publik seperti air, listrik, transportasi dll. seharusnya dilindungi.
Pasal 3Ayat 1 (d):
Pemerintah tidak memakai asas keadilan dan kesejahteraan rakyat serta perlindungan terhadap hak warga negara, affirmative action untuk sektor-sektor produksi rakyat, contohnya: industri rumah tangga, pertanian skala kecil, sektor informal, perikanan dan peternakan rakyat. Hal ini seharusnya juga diakomodasi di pasal 4 ayat 2 (a) dan (c).
Pasal 4.Ayat 1:Seperti komentar kami pada ayat 3, pemerintah menunjukkan keengganannya untuk memperhatikan asas keadilan memberantas kemiskinan, tidak memperkuat industri nasional, namun lebih berorientasi mendorong penanaman modal asing secara besar-besaran dan mengingkari perekonomian rakyat dalam Pancasila.
Ayat 2 (a): Pemerintah tidak memperhatikan ikatan masyarakat dengan tanah, aspek budaya, sejarah. Pasal ini mengancam kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, pangan serta aspek kehidupan yang lain.
Pasal 5.
Pasal ini tidak memuat usaha kelompok rakyat sebagai salah satu penanam modal, contohnya koperasi. Sebaliknya pemerintah terlihat lebih mengakomodasi usaha perorangan, padahal usaha perorangan ini justru menyebabkan akumulasi modal pada individu tertentu. Hal ini akan menimbulkan akibat berbahaya jika sewaktu-waktu terjadi pelarian modal ke luar negeri atau pemindahan nama pemegang saham atas nama orang lain yang berakibat pula pada pengalihan aset dan kepemilikan secara besar-besaran dan ilegal. Pasal 6. Pemerintah terkesan memberikan kebebasan atas masuknya penanaman modal asing dengan hak berproduksi yang sangat besar dan kewajiban yang sangat menguntungkan penanam modal, tanpa memikirkan kepentingan dan hak rakyat sendiri. Pemerintah seharusnya melarang untuk memberikan perlakuan yang sama, karena penanam modal asing tidak punya kedudukan dan hak yang sama di wilayah hukum Indonesia.
Pasal 7.
Pasal ini mencerminkan pemerintah berada di bawah wilayah kekuasaan internasional. Seharusnya Pemerintah memuat haknya untuk menguasai kepemilikan penanaman modal dan untuk memberlakukan pengambilalihan negara/nasionalisasi untuk kepentingan publik. Nasionalisasi adalah hak sebuah negara berdaulat untuk kepentingan publik, sejalan dengan pasal 33 UUD 1945.
Pasal 8.
Pasal ini berpotensi untuk terjadinya pelarian modal dan kepemilikan secara tak terbatas yang menyebabkan ketidakpastian hukum atas aset, yang akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Pengalihan aset tidak boleh berlaku untuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, demikian juga sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak”. Dengan demikian repatriasi yang artinya pelarian modal, harus dilarang. Seharusnya ada ketentuan bahwa dana modal harus mengendap di Indonesia selama jangka waktu tertentu.
Pasal 9.
Pasal ini sangat interpretatif, misalnya dalam kata-kata “tanggung jawab hukum, tanggung jawab sosial”. Tanggung jawab sosial dalam konteks korporasi (Corporate Social Responsibility) selalu menggunakan kata “should atau shall”, yang maknanya saran, tetapi bukan “have to” atau kewajiban imperatif. Ini merupakan salah satu bentuk penyuapan sosial. Jangan sampai tanggung jawab sosial hanya sebatas pertanggungan jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) yang bersifat semu atau memuaskan kepentingan korporasi. Kasus dana-dana Freeport untuk aktifitas karitatif sudah dianggap bertanggung jawab secara sosial, padahal makna tanggungjawab sosial lebih dari hanya sekedar pemberian dana karitatif.
Pasal 10
Pasal ini terlihat memberikan hak, fasilitas khusus dan kemudahan pada penggunaan tenaga kerja asing. Padahal penggunaan tenaga kerja asing akan menggusur tenaga kerja lokal. Pasal ini seharusnya memuat jaminan perusahaan untuk menghormati standar tenaga kerja inti (core labour standard) berupa jaminan perlindungan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan pekerja warga negara Indonesia.
Pasal 11.
Pasal ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada masalah dan penyelesaian sengketa perburuhan. Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial itu harus diselesaikan dengan sistem keterwakilan yang seimbang, bukan dengan tripartit yang selama ini komposisinya tidak seimbang. Seharusnya pasal ini memuat mengenai perlindungan tenaga kerja dalam hal fasilitas, kemudahan akses, kesehatan, jaminan kerja dan keselamatan.
Pasal 12.
Pasal ini mengatakan muatan bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka dan tertutup, namun pada kenyataannya tidak ada bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pasal ini sama sekali tidak ditujukan untuk melindungi perekonomian rakyat, sebaliknya sangat mencerminkan semangat neoliberalisme yang berlebihan yang jelas melanggar isi dan makna Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 15.
Pasal ini tidak memasukkan kriteria pelanggaran ham, kekerasan –termasuk kekerasan aparat pemerintah atau perusahaan, perlakuan diskriminasi, pelanggarn dan kerusakan lingkungan, pelaksanaan Amdal, penghormatan atas tradisi dan sistem kepercayaan masyarakat, budaya, ekosistem, kewajiban mensosialisasikan atau diseminasi pengetahuan/informasi adanya kemungkinan dampak lingkungan dari kegiatan usaha kepada msyarakat di sekitarnya, serta kewajiban untuk membagikan nilai lebih keuntungan perusahaan kepada masyarakat, dan kewajiban melakukan perbaikan lingkungan dan sosial paska kegiatan usaha yang berakhir (pasal selanjutnya harus memuat tentang sanksi-sanksi atas tidak dipenuhinya kewajiban di atas).
Pasal 16.
Pasal ini tidak memuat kewajiban penanam modal dalam pemberian jaminan, perlindungan lingkungan dan perlindungan hak kehidupan masyarakat sekitar.
Pasal 17.
Pasal ini berlogika bahwa alokasi dana perbaikan (recovery) oleh perusahaan dilakukan secara bertahap, padahal seharusnya dalam kegiatan usaha eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan maka perusahaan harus memberikan dana deposit di awal sebesar 50% dari total aset untuk menghindari eksploitasi brutal oleh perusahaan. Contoh kewajiban pemberian deposit perusahaan Newmont yang beroperasi di Nevada. Dalam pasal ini pemerintah tercermin melakukan langkah yang kuratif bukan preventif. Pemulihan lokasi tidak hanya berkait dengan rehabilitasi lahan secara fisik (contoh: lokasi operasional perusahan) tetapi terkait juga dengan kesehatan, dan kesiapan masyarakat sekitar.
Pasal 18.(a) Daerah terpencil tidak dapat menjadi alasan bagi pemberian fasilitas kemudahan pada penanaman modal, karena sebagian besar sektor industri ekstratif beroperasi di wilayah tersebut. (b) Bahwa pemberian pembebasan dan keringanan bea masuk barang modal atau mesin tidak akan mendorong produktifitas industri dalam negeri agar mampu memproduksi barang modal, mendorong produktiftas dan alih teknologi.
Pasal 19.
(a) Keberatan jika hak atas tanah diberikan sebagai fasilitas, sebab fasilitas itu akan mengubah hak kepemilikan dan perlindungan, kemudahan akses atas hak kepemilikan rakyat atas tanah, dan perubahan peta penguasaan atas tanah
b) Fasilitas perijinan impor, selama ini tidak pernah jelas tentang peraturan mengenai impor, apalagi adanya pemberian fasilitas atas impor tersebut. Impor tidak mendorong produk dalam negeri, sebaliknya impor justru membawa uang keluar bukan membawa uang masuk dalam devisa negara.
Pasal 20.]
(a) bertentangan dengan UUD 45 pasal 33 dan berlawanan dengan UU pokok Agraria. Didalam UU pokok Agraria, bagian penjelasan disebutkan bahwa Hak Guna Usaha merupakan mekanisme konversi atas hak erpacht, yang diberikan pada masa transisi dari masa revolusi 1945 untuk penataan struktur agraria. Dalam hal ini isi pasal 20 RUU Penanaman Modal tentang Hak Guna Usaha (95 tahun), Hak Guna Bangunan (80 tahun) dan Hak Pakai (70 tahun) itu berarti menghilangkan akses rakyat terhadap tanah sepanjang masa itu.
(b) Kegiatan penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara. Pemerintah tidak diperkenankan memberikan ijin kegiatan penanaman modal atas tanah negara. Pada prinsipnya tanah negara adalah tanah rakyat Indonesia. Pemerintah memfasilitasi rakyat mengambil manfaat atas tanah tersebut secara merata, tidak untuk dialihkan ke penguasaan pribadi/usaha komersial.
Ayat 3:
Ayat ini hanya mempertimbangkan kapasitas produksi lahan dan proses produksi oleh pemilik modal di tempat tersebut. Ayat ini tidak memperhatikan evaluasi dan kepentingan masyarakat sekitarnya sebagai pemegang hak atas tanah (stakeholder).
Ayat 4: Pemberian dan perpanjangan dalam ayat ini seharusnya berdasarkan pada permintaan negara atas jaminan perusahaan untuk tidak melanggar hak asasi manusia secara keseluruhan, seperti rincian tentang perlindungan dan jaminan pada hak pekerja, anak-anak, perempuan dan rakyat sekitarnya.
Pasal 21.
Ayat 1: Pemerintah tidak perlu memberikan kemudahan fasilitas imigrasi. Fasilitas imigrasi seharusnya diberikan dengan standar yang sama pada setiap individu. Pasal 22. Fasilitas tidak perlu diberikan secara istimewa atau khusus. Sudah waktunya pemerintah melarang dengan tegas impor barang-barang sisa/buangan luar negeri yang jelas tidak dapat lagi digunakan di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus tegas menetapkan standar barang impor (bekas/baru).
Pasal 28.
Sebelum menetapkan pasal ini, pemerintah seharusnya menyelesaikan dan melakukan koordinasi kewajiban pembagian tugas dan wewenang pusat dan daerah secara adil dan benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, bukan kesejahteraan pemerintah dan pemilik modal.
Pasal 29.
Catatan: Kawasan ekonomi khusus hanya tercermin memberikan kemudahan bagi kegiatan berproduksi pemilik modal tanpa mencerminkan kepentingan pemerintah pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta wawasan lingkungan hidup. Pemerintah hendaknya menentukan kwasan ini pada kepentingan rakyat dan lingkungan hidup, bukan menjadikan rakyat sekitar menjadi terasing dan tidak mempunyai kemudahan akses apapun atas hidupnya di kawasan tersebut.
Pasal 30.
Ayat 4:
(a) Sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing harus berada dalam wilayah hukum Indonesia, tidak dalam wilayah hukum internasional. Arbitrase internasional terlalu riskan karena kemenangan atas sengketa ditentukan oleh besarnya dana.
(b). Pemerintah tidak memperhatikan kemungkinan adanya sengketa antara rakyat dengan penanam modal. Ini berarti pemerintah hanya memperhatikan kepentingan kegiatan penanaman modal yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
Pasal 31.
(a) Merujuk pada kertas posisi kami Pasal 15 yang berisi: “Paling sedikit menyimpan deposit 50% dari total aset. Dan tidak melanggar hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, tidak melakukan kekerasan dalam pengelolaan serta wajib menjaga, tidak merusak ekosistem dan memenuhi prasyarat dan kewajiban Amdal”. Pemerintah dalam menetapkan sanksi seharusnya berkewajiban melakukan sosialisasi jenis usaha dan dampak kepada masyarakat, dan terutama memperhatikan bentuk-bentuk pelanggaran para penanam modal secara keseluruhan, taat hukum dan konsisten. (b) Pada pasal ini pemerintah hanya menerapkan sanksi administratif, sementara kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan (misalnya pelanggaran Amdal, HAM, kerusakan lingkungan dan kerugian lain) tidak dicantumkan, demikian pula dengan sanksi perdata maupun pidana atas kemungkinan kasus-kasus di atas yang dapat terjadi.
Pasal 34.
Ayat 4: Tidak ada kejelasan tentang batas waktu yang tegas yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang lalu (UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri 1968). Jika misalnya suatu perusahaan sudah melakukan eksploitasi berdasarkan UU PMA 67 atau PMDN 68 sudah habis masa berlakunya atau hampir habis mas berlakunya, jangan sampai ia doberikan kesempatan untuk kembali melakukan eksploitasi berdasarkan UU Penanaman Modal. Sebagai catatan penting, pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal ini tidak mencantumkan sedikitpun tentang ketentuan mengenai keharusan audit terhadap semua aktifitas penanaman modal.
Kesimpulan:
Pertama, RUU ini tidak mengedepankan kepentingan nasional, namun justru melayani internasionalisasi modal. Orientasi kebijakan ekonomi Indonesia masih terlihat berada pada eksploitasi bahan baku, yang berarti ekonomi Indonesia tidak diarahkan pada ekonomi yang bersifat kompetitif. Dengan demikian RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI, karena memfasilitasi modal asing, menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat Indonesia). Pemerintah secara jelas tidak menunjukkan itikad baik untuk menopang kehidupan rakyat sekitar secara khusus dan rakyat secara keseluruhan atas aktifitas penanaman modal, sebaliknya justru menunjukkan indikasi masuknya kolonialisme baru.
Kedua, RUU ini tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK, akibat perusahaan tutup sebagai dampak pindah lokasi usaha. Sementara itu pemerintah justru memfasilitasi kehadiran tenaga kerja asing melalui kemudahan-kemudahan keimigrasian dan fasilitas lainnya, tanpa regulasi khusus mengenainya.
Ketiga, RUU ini memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara, khususnya korporasi.
Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri, seperti investasi pada pabrik garment, sepatu, mainan anak, tekstil, dan industri lainnya yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90%, akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembngkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.
Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan dalam sektor tersebut. dari berbagai sumber


Tidak ada komentar: