Minggu, 01 Juni 2008

Demokrasi ala Gus Dur (lagi) Dipertanyakan

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat ini tetap menjadi ikon demokratisasi di Indonesia. Kerja keras Gus Dur soal ini tidak perlu diragukan lagi. Meski kerap kali mendapat perlawanan dari aus besar dirinya tetap ngotot untuk membangun iklim demokratis. Sebut saja upayana dalam melindungi hak-hak kaum minoritas dan kekebasan berekspresi serta tindakan kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan. Pembelaan itulah, ia menjadi tempat mengadu kelompok yang merasa dirampas hak-hak dasarnya di negara ini. Karena itulah dirinya disebut tokoh dermokrat sejati.

Nama besar yang disandang Gus Dur saat ini kembali diuji terkait kasus diinternal partai yang didirikannya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Masalah ini terjadi di penghujung bulan Maret dan bersamaan dengan acara ‘pelepasan’ Mahfud MD sebagai anggota hakim Mahkamah Konstitusi setelah dirinya lolos dalam uji seleksi baru-baru ini. Bagi sangkaan banyak orang, DPP PKB yang dikomandokan Gus Dur telah melakukan ‘catatan’ yang relativ kurang baik lantaran meminta Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar untuk mundur dari jabatannya dalam acara Pleno. Ini masalah internal PKB, tapi yang dibicarakan di sini kasus tersebut dalam tinjauan demokratisme. Terutama bagi kelompok yang kurang setuju dengan sikap itu dianggap melanggar asas-asas demokrasi lantaran berbau dictator yang kontras dengan prinsip demokrasi.

Persoalannnya yang perlu dijawab bersama, apakah tokoh sebesar Gus Dur melakukan pencederaan dalam kasus tersebut? Apakah dirinya tak sadar untuk melacurkan ide demokrasi yang dibangun puluhan tahun hanya dengan kasus di partainya? Apakah Gus Dur mau mendengar sepihak ucapan si pembisik atau si penyusup yang berada di partainya? Bila sangkaan banyak orang ada benarnya berarti Gus Dur tengah melakukan bunuh diri atas nama besarnya sebagai pejuang demokrasi.

Kegelisaan serupa atas kasus tersebut datang dari kolega Gus Dur. Seperti pernyataan pengamat politik dari CSIS J Kristiadi yang katanya, ‘kandang’ PKB bagi Gus Dur sepertinya terlalu sempit. Jawaban seperti ini tentu yang tahu hanya Gus Dur sendiri dan Tuhan. Sebab, sejak awal dirinya sering memulai lakon politiknya dengan memakai cara-cara antagonis untuk melanggengkan aapa yang m,enjadi kemaunnya dalam banyak hal. Bisa jadi kasus ini bagian dari upaya tersebut.

Terlepas dari ketokohan Gus Dur, kasus ini banyak menimbulkan polemik di berbagai kalangan lantaran kontras dengan apa yang selama ini diperjuangkan soal demokrasi. Tak hanya dari rivalnya di politik namun teman seperjuangannya sibuk membicarakan sepak terjang mantan cucu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama menjelang satu tahun diadakannya Pemilu 2009. Pro dan kontra komentar soal ini muncul menghiasi media. Malah ada yang hanya menuding bahwa masalah ini hanya trik dirinya dalam menyiasati perolehan suara PKB pada Pemilu yang digelar tahun depan.

Yang pasti bola panas atas kasus ‘pemecatan’ Muhaimin belum usai. Bola liar ini masih menggelinding. Kedua belah pihak, Muhaimin versus Gus Dur masih memasang jurus masing-masing. Gelagat untuk untuk damai hingga saat ini belum terlihat juntrungannya. Malah kedua belah pihak siap saling gugat di meja hijau untuk mencari kebenaran masing-masing.

Bagi kita, masalah ini tentu menjadi wacana baru terkait relasi antara dermokratisasi, wilayah politik dengan Gus Dur di era kekinian. Tak bermaksud mendahului Gus Dur, apakah penerapan atas konsep demokrasi di ranah politik berbeda modelnya dengan di luar kawasan itu. Konsekuensinya pemimpin partai bakalan meneruskan gaya-gaya kepemimpinan model Adolf Hitler atau Musollini sebagai figur sentral kekuasaan dalam politik. Kalau begini jadinya, dinamika seorang Gus Dur yang fenomel dan sang kampium demokrasi di negara ini akan dipertanyakan lagi kapasitasnya soal ini. Oh Gus Dur!

Tidak ada komentar: