Minggu, 01 Juni 2008

Untuk Kepentingan Di 2009

Menjelang Pemilu 2009 suasana ke arah tersebut makin terasa getarannya. Hal itu terlihat dari arah kebijakan pemerintah yang kelihatnnya bermata ganda hingga bertebaran bendera dan spanduk partai di simpang jalan. Gejala ini hadir untuk mencari simpati masyarakat dan berujung pada perolehan suara dalam Pemilu tahun depan.

Presiden SBY dalam satu kesempatan pernah memperingatkan anak buahnya agar tak melakukan hal itu dan tetap fokus dalam profesionalitas sebagai menteri di kabinetnya. Ungkapan itu lahir setelah dirinya melihat adanya usaha dari anak buahnya untuk menggunakan posisi strategis untuk kepentingan partainya di Pemilu ketimbang mengurus masalah yang dihadapi masyarakat. Seperi naiknya harga sembako, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dan korban musibah akibat kelalaian perusahaan di berbagai daerah. Karenanya, larangan presiden ada benarnya sebab kampanye gratis yang dilakukan pejabat memakai fasilitas negara yang semestinya dihindari.

Secara kasat mata, masyarakat mengeluh soal kenaikan harga minyak goreng yang mencapai sekitar Rp17 ribu, kelangkaan BBM, korban lumpur lapindo, busung lapar, ancaman flu burung, pengangguran, biaya sekolah mahal dan lainnya. Masalah ini makin besar seiring kesibukan anak buah SBY di partainya.

Presiden sebagai pimpinan dari para menteri tak selamanya ada benarnya terkait dengan pelarangan tersebut. Pasalnya sistem negara ini menganut asas multipartai yang presidential. Di mana para menteri diisi sebagian dari partai yang pengusung pasangan SBY-JK pada Pemilu lalu. Satu sisi sang menteri menjadi penyambung lidah presiden dan harus taat pada atasannya. Pada sisi lain menteri yang berasal dari partai tentu terikat dengan partai dan aturan partai yang ditetapkan. Dua pilihan itu sangat tipis antara posisi menteri dan orang partai dalam melalukan tugas sehari-hari. Karena sulit mengontrol secara tegas soal larangan menggurus partai atau berselingkuh dengan urusan partai lewat fasilitas negara.

Soal kesulitan memisahkan satu sisi dari dua sisi berbeda dalam diri seorang menteri sangat sulit dipisah tapi bentuk pelarangan untuk masalah tertentu ada benarnya. Sebut saja, sang menteri melakukan kerja partai namun menggangu tugas-tugasnya. Kondisi ini diperparah dengan semakin dekatnya, era kampanye 2009 yang mesti dimulai perang dingin antarpartai untuk kemenangan di Pemilu.

Di laur itu, bisa jadi larangan presiden tak berlaku ketika sang menteri melakukan penajaman atas programnya yang dibantu dengan instrumen partai. Partai dijadikan alat efektif untuk mendukung program pemerintah. Sebab partai sebagai kekuatan di luar pemerintah yang memiliki pengaruh besar di masyarakat dapat memperkuat agenda pemerintah di level paling bawah. Untuk urusan ini, SBY bisa jadi tak ada masalah.

Lebih jauh lagi, komunitas partai dalam sejarah tercatat pernah memiliki kekuatan vital dalam negara dan masyarakat. Sebab bagi sebagian orang, partai itu merupakan kekuatan kedua di luar perintah setelah unsur kepolisian. Sebut saja partai-partai yang dominan di sebuah negara, partai dapat menggerakan rakyat untuk perkara besar. Partai dengan kekuatan ideologi yang tangguh dan soliditas kader banyak membawa negara dalam kemakmuran dan kemajuan serta kewibawaan. Misalnya yang teradi Eropa dan di sebagian negara di Asia.

Terlepas apakah lembaga partai sebagia indikator dari demokratisasi, ia berpotensi untuk wadah kaderisasi dan ‘sekolah’ bagi calon pemimpin masa depan. Fenomena ini diperkuat dengan terbukanya arus reformasi di negara ini yang membawa angin segar bagi Parpol untuk melakukan kebebasan dalam banyak hal. Parpol dapat berkembang dengan sendirinya dengan modal yang dimiliki untuk kemajuan masyarakat.

Belakangan ini sikap ‘aneh’ kembali muncul menjelang Pemilu 2009. keanehan itu sangat merugikan masyarakat lantaran program pemerintah yang dipimpin menteri banyak terbuang waktunya hanya mengurus partai. Masalahnya yang menjadi menteri saat ini bukan sekedar kader partai namun banyak yang berasal dari orang papan atas di struktur partai. Otomatis problem partai mesti kembali ke pundak seorang menteri. Untuk orang ini, beban partai jauh lebih besar ketimbang menjalankan tugas negara.

Rupanya, trik dan jurus partai untuk kemenangan partainya tak hanya berupa penggalangan di tingkat pengurus dan mencari simpati konstituen. Strategi tersebut menembus ke jantung pemegang keputusan juga. Buntutny adalah partai lawan partai. Kartu mati lawan politik yang dikantongi sejak lama mulai dikeluarkan satu demi satu. Ujung-ujungnya, kasus pemberantasan korupsi, dan konflik lain tetap banyak terkait dalam agenda besar partai.

Sebut saja banyak masalah saat ini yang menimpa tokoh partai tertentu. Meski bukan bermaksud ada upaya adu domba antarpartai namun masalah tersebut berujung pada sikap negativ di kalangan partai yang bermasalah. Kasus ini tentu ada keuntungan dari partai lain yang relative aman. Gejala ini, kontras terjadi jelang semakin dekatnya pelaksanaan Pemilu.

Larangan SBY, pada satu sisi ada benarnya. Mungkin saja apa yang dikatakannya bukan sekedar mengunakan fasilitas negara untuk kampanye diinternalnya dengan modal dari negara. Di luar, itu konflik di partai lain jangan sampai dikompori oleh tokoh partai lain yang juga duduk di kabinet. Keduanya sama-sama merugikan negara dan masyarakat lantaran menguras tenaga dan anggaran rakyat hanya untuk kepentingan di 2009.

Tidak ada komentar: