Minggu, 01 Juni 2008

Republik Kapitalis

Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 30 persen kembali menjadi isu nasional. Kenaikan ini bakalan menaikan harga bakan bakar jenis premium yang semula Rp4500 per liter kini diperkirakan menjadi Rp6000 per liter. Kenaikan ini secara per lahan akan menaikan semua jenis bahan bakar dari peredaran.

Imbas dari kenaikan tersebut sudah pasti akan mendorong kenaikan harga bahan pokok di masyarakat. Kondisi ini makin diperparah dengan kenaikan sepihak di pasaran. Pasalnya, ketetapan harga kenaikan BBM secara resmi yang dilakukan pemerintah yang hingga kini belum keluar namun dipasaran secara sepihak harga semakin naik. BBM belum naik tapi harga sembako dan barang lainnya telah naik terlebih dahulu. Malah, kenaikan tersebut mencapai 25 persen.

Gelombang penolakan yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat kembali bergejolak. Hampir di setiap kampus terjadi aksi demontrasi untuk menolak menolak rencana kebijakan yang tak pro rakyat. Gerakan moral mereka rupanya hanya sebatas teriakan yang tak memiliki arti apa-apa. Sebab keputusan ada di pemerintah dan DPR.

Di satu sisi, pemerintah tak mau disalahkan dengan rencana tersebut. Seperti yang dikatakan SBY-JK dalam sebuah bantahannya soal tersebut, belum lama ini, rencana kenaikan itu pasti dilakukan meski sangat berat untuk dilakukan. Pertimbangan yang paling besar, terkait tingginya harga minyak dunia dan tingginya ongkos operasional kerja negara. Lantaran itulah, hasil dari penjualan minyak negara dilakukan untuk menambah modal APBN.

Ungkapan tersebut bagi sebagian pengamat terkesan aneh, lantaran pemerintah tak punya nyali untuk menekan sebagian kecil pemilik saham di PT Pertamina. Sebut saja antara pemerintah dan swasta. Meski saham di sektor swasta terbilang sedikit lebih kecil namun nyali mereka lebih besar. Seakan pemerintah kalah gertak dengan pemilik saham. Buntut-buntutnya, harga minyak dinaikan dengan tujuan keuntungan yang didapat para kapitalis cepat menimbun keuntungan dengan kenaikan minyak dunia. Sementara rakyat yang membeli eceran makin susah. Bagi kapitalis kesusahan rakyat akibat hal ini bukan urusan mereka yang penting kantong mereka tebal dan deposito mereka cukup untuk tujuh turunan.

Parahnya lagi, sang kapitalis tetap memainkan peranan penting dalam proses kenaikan minyak negara. Dalam doktrin kapitalisme, urusan ekonomi negara diserahkan pada swasta sementara negara sebagai penonton. Sedangkan kewajiban negara dalam melindungi warganya soal ekonomi hanya mengharap ‘subsidi’ atau bantuan dari sistem tersebut. Nah, pemerintah sepertinya bertekuk lutut dengan sistem ini lantaran nekat menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) bagi si miskin. Padahal di sebagian daerah bantuan model ini banyak ditolak pejabat rendahan karena tak menyelesaikan masalah. Kalau begini jadinya apa bedanya, posisi negara di bawah kendali kapitalistik yang didalangi oleh para pemodal swasta yang hanya berpikir untung besar tanpa melihat masyarakat yang tengah kesusahan.

Apa jadinya bila pemerintah tetap ngotot menaikan harga BBM yang diputuskan pada Akhir Mei. Bagi masyarakat Indonesia yang tergolong santun tetap percaya dengan pemerintah agar bijaksana dalam melakukan kebijakan publik terutama soal BBM. Dalam kondisi seperti ini, kemiskinan yang mencapai 45 persen dari total penduduk Indonesia idealnya menjadi pertimbangan para pemegang kebijakan, seperti instrument pemerintah, DPR, dan para pemegang saham. Kerja keras dan kebijakan yang pro rakyat banyak mereka di tunggu segera. Mereka berharap BBM tak naik. Pemerintah serius melindungi warganya dalam semua hajat hidup.

Masalahnya akan menjadi lain, bila kenaikan harga BBM hanya untuk menggenjot kepentingan asing tanpa membuat perlindungan bagi warga yang tak mampu. Sudah sekian dari jumlah presiden, namun secara periodik kenaikan harga BBM hanya menjadi kebutuhan mereka terkait kerja negara dan aneka kepengtingannya. Bila hal ini masih dipertahankan, tak mustahil negara ini akan masuk diambang kebangkrutan.

Tidak ada komentar: