Kamis, 08 November 2007

Info soal Infrastruktur daerah tertinggal

Pearan Infrastruktur Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
Oleh Ir Lucky H Korah, Msi
(Deputi Bidang peningkatan Infrastuktur Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal )

Infrastruktur merupakan instrumen yang sangat berperan dalam mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Dalam peranannya yang demikian strategis dalam mengurangi ketersisolasian daerah, meningkatkan kualitas SDM dan pengembangan ekonomi lokal, maka infrastruktur selalu diidentikan sebagai mesin penggerak utama yang dirinya akan menjadi pemicu pertumbuhan sektor perekonomian dan pemicu perkembangan daerah tertinggal.
Infrastruktur juga mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memobilisasi modal dan faktor produksi, sehingga kegiatan produksi semakin tumbuh dan berkembang. Dengan peranannya yang demikian strategis, maka infrastruktur dapat merjadi salah satu penentu tingkat kesejahteraan masyarakat.
Itu sebanya dalam RPJM tahun 2004-2009 ditekankan mengenai prioritas pembangunan infrastruktur dilaksanakan dengan mempertimbangkan kriteria: (1) Menciptakan banyak lapangan kerja, langsung maupun tidak langsung; (2) menunjang pembangunan ekonomi wilayah; (3) Menciptakan manfaat ekonomi secara besar-besaran pada masyarakat di sekitar proyek infrastruktur; dan (4) Layak secara ekonomis dan finansial sehingga menarik investor dalam maupun luar negeri.
Penyediaan infrastruktur di daerah tertinggal harus pula memperhatikan karakteristik, citra, dan sebaran daerah tertinggal, sebab dengan mengakomodasi tipologi dan karateristik masing-masing daerah, maka penyediaan infrastruktur menjadi tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.

Sebaran dan Ciri Daerah Tertinggal
Sebaran daerah tertinggal di Indonesia perlu ditelaah karena dalam pembangunan infrastruktur, kedaaan gegrafis, tifologi dan kondisi sosial masyarakat perlu diperhitungkan. Berikut ini dijelaskan mengenai sebaran daerah tertinggal di Indonesia antara lain:
(1) Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pengunungan yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju. Daerah ini dicirikan oleh: aksesibilitas tak ada; sarana dan prasarana sosial ekonomi tak ada; aktivitas sosial dan ekonomi terbatas secara hukum untuk mencegah kerusakan hutan; tidak ada pembinaan daerah instansi yang berwenang; tempat hunian komunitas ada terpencil; produksi rendah untuk keperluan sendiri dan teknologi sederhana; hunian terpencar dalam jarak yang jauh.
(2) Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lerbih maju serta daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir. Daerah ini dicirikan oleh sebagian besar nelayan tradisional dan buruh nelayan; terjadi keadaan tangkap lebih (overs fishing); terbatasnya sarana dan prasarana sosial ekonomi; pola kehidupan sangat tergantung pada lingkuangan laut; keterkaitan terhadap pemilik modal/kapal sangat tinggi.
Dengan ciri daerah tertinggal seperti yang disebutkan di atas maka akan teridentifikasi mengenai kebutuhan pembangunan infrastruktur di daerah yang tertinggal.

Kondisi Eksisting Infrastruktur Daerah Tetinggal

Kondisi Eksisting Infrastruktur Sosial;
Dari analisa data, persebaran SDN di dearah tertinggal sebanyak 351.279 ruang kelas, kondisi baik; 148.687 ruang kelas, kondisi ruang ringan; 119.234 ruang kelas dan kondisi rusak berat; 83.318 ruang kelas; sedangkan kondisi SMP di daerah tetinggal: 50.115 ruang kelas, kondisi baik: 41.095 ruang kelas, kondisi rusak rungan/berat sebanyak 9.020 ruang kelas.
Demikian juga sarana kesehatan memperlihatkan bahwa jumlah Puskesmas saat ini sebanyak 7333 unit, Pustu sebanyak 22.053 dan Polindes sebayak 28.558 unit. Jika jumlah sarana kesehatan di pedesaan ini disandingkan dengan jumlah desa/kelurahan di Indonesia yang mencapai 69.730 maka dapat dipastikan bahwa Polindes (28.558) tidak tersedia secara merata. Artinya hampir separuh dari desa/kelurahan di Indonesia tidak memiliki sarana kesehatan. Sedangkan penyediaan air bersih, menurut hasil kajian kantor Menko Perekonomian Mencatat bahwa jumlah rumah tangga di pedesaan yang tidak mempunyai akses ke sumber air bersih mencapai 30,88 persen.

Kondisi Eksisting Infrastruktur Transportasi
Panjang jalan nasional di daerah tertinggal yang kondisinya rusak ringan sekitar 1.845,6 km dan rusak berat sekitar 19.260 km. sedangkan panjang jalan provinsi yang rusak ringan sekitar 5.507,5 km dan rusak besar sekitar 7.847,2 km. Total biaya pemeliharaan jalan rusak ringan diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar Rp2,26 triliun, sedangkan yang rusak berat membutuhkan anggaran sekitar Rp10,9 triliun. Di sektor transportasi laut, dari tahun ke tahun telah menunjukan adanya peningkatan infrastruktur transportasi di daerah tertinggal, namun dari segi angkutan barang, hal itu masih menjadi masalah.
Kondisi Eksisting Infrastruktur Energi (Listrik)
Sampai dengan tahun 2005 sekitar 12.618 desa di Indonesia yang belum mendapat aliran listrik. Sekitar 50 persen berada di daerah tertinggal yang sangat sulit dijangkau karena lokasinya sangat terpencil dan tersebar. Oleh sebab itu perlu memanfaatkan sumber energi dan terbarukan untuk menyuplai listrik dari pedesaan melalui Program Desa Mandiri Energi dan memanfaatkan sumber energi lokal seperti: Mikrohidro, Angin dan Surya.
Kondisi Eksisting Infrastruktur Telekomunikasi
Saat ini seluruh Indonesia hanya terdapat tujuh juta sambungan telepon atau sekitar tiga sambungan per seratus penduduk. Dengan angka tersebut teledensitas di daerah pedesaan memiliki angka yang sangat rendah. Untuk mengatasi rendahnya teledensitas di daerah pedesaan dan sekaligus membuka isolasi informasi di pedesaan. Maka pemerintah telah membuka pelayanan fasilitas telepon melalui program Univesal Service Obligation dan konsep satu desa satu fatsel. Selain itu, melaksanakan pembangunan telekomunikasi di daerah-daerah yang kurang drofitable sehingga merakan pembangunan prasarana telekomunikasi dapat terjamin.
Kondisi Eksisting Infrastruktur Ekonomi
Sekitar 1,5 juta ha dari 6,7 juta ha jaringan irigasi dalam kondisi rusak ringan dan berat, sedangkan pemerintah hanya mampu menyediakan anggaran sekitar 40-50 persen. Selain itu, sekitar 15 ribu-20 ribu ha per tahun lahan pertanian beririgasi teknis beralih fungsi (konversi) menjadi lahan non pertanian. kerusakan jaringan irigasi terbanyak berada di wilayah Sumatera dan Jawa yang merupakan lumbung padi nasional.

Upaya-upaya yang dilajaukan Kemterian PDT
Pemerintah SBY-JK memiliki Political Will untuk membangun daerah tertingal. Hal ini dibuktikan antara lain dengan meningkatnya alokasi anggaran infrastruktur yang masuk di daerah tertinggal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang diperkirakan sekitar Rp12 triliun atau sekitar 23 persen dari alokasi anggaran infrastruktur tahun 2007 telah masuk di daerah tertinggal.
Hal ini antara lain dapat dilihat pada program infrastruktur pedesaan sejak tahun 2005-2007, setiap desa memperoleh Rp250 juta dan desa-desa yang mendapat bantuan tersebut sekitar 70 persen sampai 90 persen berada di daerah tertinggal. Demikian juga program USO yang mencakup 18 ribu desa yang dilaksanakan tahun 2007 sekitar 70 persen diantaranya berada di daerah tertinggal.
Upaya peningkatan infrastruktur di daerah untuk mengatasi kondisi eksisting infrastruktur seperti dirasakan di atas, maka Kementrian PDT diamanatkan mengemban tugas dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal (sesuai Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2005 Tentang Tugas dan Fungsi Kementrian Negara PDT).
Hasil yang diperoleh dari koordinasi pelaksanaan kebijakan pembangunan infrastrukur di daerah tertinggal antara lain semakin meningkatknya alokasi anggaran pembangunan infrastruktur transportasi, infrastruktur informasi dan komunikasi yang masuk di daerah tertinggal.
KPDT akan terus berupaya dan berkoordinasi dengan sektor agar program sektor berpihak ke daerah tertinggal. Sedangkan untuk melaksanakan fungsi operasionalisasi, maka beradsarkan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006, Kemeneg PDT menjalankan operasional kebijakan di bidang bantuan infrastruktur pedesaan mengemban ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat.
Fungsi koordinasi dan operasionalisasi yang dijalankan oleh Kementrian PDT, lewat Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur Transportasi, infotel, sosial, ekonomi, dan energi. Infrastruktur tersebut dipandang sangat vital dan sangat strategis untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal dan menggerakan ekonomi lokal dan mengangkat desa dan masyarakatnya dari ketertinggalan. Program pembangunan dan mengangkat desa dan masyarakatnya dari ketertinggalan. Program pembangunan infrastruktur tidak hanya mengandalkan sumber daya pendanaan dari KPDT, tapi dengan kewenangan yang dimilikinya, KPDT berupaya menjadi fasilitator, koordinator, dan akselerator untuk memperjuangkan program infrastruktur agar lebih banyak masuk ke daerah tertinggal.
Program KPDT hanya berupa dana stimulan yang akan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk berpartisipasi mendukung dana yang ada melalui pemberdayaan organisasi masyarakat setempat (OMS) sehingga pembangunan infrastruktur dapat berkelanjutan, karena operasionalisasi dan pemeliharaan infrastruktur yang telah dibangun dapat dijalankan oleh masyarakat setempat.
Sebagai gambaran sejak tahun 2006-2007 PLTS yang telah dan akan dibangun sebanyak 90 kabupaten, demikian juga PLTB/Angin di tiga kabupaten, PLTMH (sekitar 25 kw) di sembilan kabupaten, dan beberapa kegiatan seperti irigasi desa, jalan desa, dermaga, perahu nelayan, air bersih dan lain-lain. Tentunya percepatan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal akan berhasil jika semua stakeholder (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, swasta dan masyarakat) bersinergi.

Tidak ada komentar: