Minggu, 30 Desember 2007

Bom Bunuh Diri Bukan Jihad (resensi atas buku jihad terindah)

Oleh: H Muhtadi Muntaha Lc/Penulis Buku “Jihad Terindah” dan “Kolonel Noer Ali”

Bom bunuh diri hukumnya haram. Ini harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Agama apa pun di muka bumi ini tidak ada yang mentolelir seseorang membunuh dirinya sendiri, terlebih lagi diri orang lain. Agak aneh kalau aksi bom bunuh diri dijadikan jalan untuk mencapai gelar mujahid fi sabilillah (Pejuang Allah).
Pertanyaannya sekarang, apakah sikap tegas ini sudah cukup untuk memerangi tindak terorisme? Pastikah diri ini akan terbebas dari bayang-bayang ancaman bom paska kematian Doktor Azahari, Misno, Salik Firdaus, Aip Hidayat dan penangkapan Abu Dujana cs.? Tidak inginkah kita mencari faktor “X” di balik sikap nekat pelaku bom bunuh diri yang sudah banyak memakan korban jiwa? Percayalah bahwa al-wiqayah khairun minal ilaj, mencegah lebih baik dari mengobati.
Atas segala pertanyaan di atas, novel bertajuk Jihad Terindah laiak hadir untuk menyingkapnya sekaligus mencarikan solusi yang tepat, bijak dan bermartabat dalam upaya memberantas tindakan brutal sekelompok orang di negeri ini, dengan mengingatkan mereka bahwa bom bunuh diri tidak ada dalam kamus jihad, setebal dan selengkap apa pun kamusnya.
Jihad Terindah ditulis oleh Ben Thayyeb Anwar Layu, mantan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Wakil Sekretaris ICMI Orsat Damaskus. Selain soal terorisme, penulis juga menyajikan berbagai problem hukum islam terkini di tengah-tengah masyarakat, seperti pro kontra pemakaian sitr (cadar penutup wajah wanita), musik gambus yang dianggap sebagai musik islami, legalisasi judi hingga ke persoalan ringan seperti hukum mencaplok sepotong daging ayam yang tidak disembelih dengan tata cara islam. Ada kesan kuat bahwa penulis ingin mendorong pembacanya agar selalu mengedepankan toleransi beragama yang diterjemahkan sebagai jihad paling indah di muka bumi ini.
Jihad, seperti yang ditulis cucu dari Pahlawan Nasional Republik Indonesia KH Noer Alie ini mengerahkan segala upaya untuk meninggikan kalimat Allah dan menegakkan masyarakat islam yang ditempuh melalui tiga tahapan; dakwah secara damai dengan mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan ujian berat, melakukan perang defensif (membalas kekuatan dengan kekuatan), dan qital (perang) melawan siapa pun yang menghalangi penegakan masyarakat islam, yang berlandaskan Al-Quran surat al-Hajj ayat 39; “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka (hlm. 222).
Dengan adanya tiga tahapan di atas, maka terhapuslah pendapat banyak orang yang membagi jihad ke dalam perang defensif dan ofensif, karena syariah jihad dilegalkan bukan atas dasar dua hal tersebut. Ia muncul karena kebutuhan pengakuan masyarakat islam pada sistem dan prinsip-prinsip islam (substantif), dan bukan bersifat simbolik (legalitas syariat). Maka terhapus pula pendapat sekelompok orang yang menganggap bom bunuh diri sebagai sebuah jihad. Sebab bagaimana bisa dikatakan jihad kalau syariat islam saja tidak wajib dilegalkan ke dalam undang-undang sebuah negara.
Jihad hanyalah implementasi dari kewajiban amar ma’ruf nahi munkar (kepekaan sosial) yang merupakan tanggung jawab setiap manusia terhadap sesama untuk membebaskan diri dari siksa abadi di hari kiamat. Jihad bukan berlatar belakang kedengkian dan dendam kesumat lalu membunuhi rakyat sipil. Hal ini pernah dialami sendiri oleh Rasulullah Saw. sesaat setelah kembali dari pengepungan kota Thaif. Kala itu sebagian sahabat memintanya agar berdoa untuk kehancuran musuh namun beliau malah berdoa agar Allah memberi hidayah kepada mereka, legowo memeluk islam. Sikap Rasulullah ini memberi sinyal kuat bagi umat islam bahwa seseorang dilarang berdoa kecuali doa tercurahkannya hidayah, keselamatan dan perbaikan untuk orang lain. (hlm. 227). Bahwa islam anti tindak kekerasan meski cuma sebatas mengeluarkan sumpah serapah di depan musuh. Islam sangat menjunjung tinggi etika politik dan konsisten mendukung upaya perdamaian di muka bumi. Sikap bijak inilah yang dahulu mendapat tempat di hati penduduk kota Madinah yang secara suka rela menyatakan masuk islam di hadapan Nabi Muhammad.
Metode dakwah ala Rasulullah tadi semestinya diikuti oleh seluruh umat islam. Sebab perjuangan (jihad) dengan menempuh cara-cara damai (silmiyyah) lebih diutamakan ketimbang jalan peperangan (qital). Dengan kata lain, ultimatum untuk berperang baru akan berlaku setelah melalui proses yang teramat panjang. Dan itu pun tidak bisa dilakukan hanya karena perasaan dendam terhadap musuh atau nekat ingin menghabisi nyawa anak-anak dan kaum wanita tak berdosa.
Terkait soal terorisme global, Jihad Terindah menyoroti kiprah Muhammad bin Usamah bin Ladin alias Osama bin Laden. Apa motifnya membenci Amerika yang dulu dibelanya mati-matian sewaktu melawan Uni Soviet di Afganistan? Benarkah miliarder Arab Saudi itu berjuang untuk islam ataukah hanya karena kehilangan posisi di Afganistan? Sepak terjang mendiang Saddam Husein juga tak luput dari sorotan. Presiden Irak terguling ini ditempatkan sebagai salah seorang mantan “kolega dekat” Amerika saat berperang melawan Iran pada dekade tahun 80-an, yang dalam sekejap berubah menjadi seteru abadi Amerika dan sekutunya.
Rasanya kurang afdol membahas masalah terorisme tanpa menyebut Amerika dan Israel di dalamnya. Novel ini menuding dua negara ini sebagai biang kerok yang telah memicu kebencian dan perlawanan terbuka dari berbagai kelompok di dunia. Amerika digugat atas segala sikap arogansinya. Sifatnya yang selalu mau tahu urusan negara lain. Di Palestina, Bush enggan mengakui pemerintahan Hamas yang nyata-nyata didukung rakyat lewat pemilu demokratis. Ini dilakukan semata-mata ingin melindungi kepentingan Israel yang jelas-jelas menjajah Palestina. Sedangkan dalam masalah Afganistan, Bush diberondong pertanyaan-pertanyaan kritis; “Mengapa Amerika menyerang rezim Taliban di Afganistan hanya karena tuduhan menyembunyikan Osama dan pengekangan hak-hak wanita? Mengapa Bush tidak menempuh jalan dialog yang panjang seperti dengan Korea Utara? Kenapa dia begitu bernafsu menghabisi Taliban yang berakibat jatuhnya ribuan korban jiwa, termasuk di antaranya anak-anak dan kaum perempuan tak berdosa? Apa hanya karena Taliban susah dikendalikan ataukah karena Bush ingin mengeruk kekayaan alam Afganistan saja?”
Sementara dalam kasus mendiang Saddam Husein, penulis novel ini memprediksi bakal berlangsung perang saudara tak berkesudahan antara kelompok sunni-syiah di Irak jika Saddam Husein dihukum gantung. Pertumpahan darah akibat perang berkepanjangan akan terjadi (hlm. 230). Terang saja, “penerawangan” penulis ternyata benar-benar terjadi. Kita tahu bahwa di Irak kini memang masih berlangsung “kiamat kecil” berupa aksi kekerasan dan bom bubuh diri paska eksekusi mati Saddam Husein.
Selain menyoal terorisme global, Jihad Terindah menyajikan juga sepak terjang para teroris rekrutan Noordin Moh.Top dan mendiang Doktor Azahari Husin seperti Misno, Salik Firdaus dan Aip Hidayat (anak-anak negeri yang menjadi eksekutor bom Bali II). Kelompok ini, oleh penulis dianggap sebagai komunitas yang tidak sabar menghadapi tantangan zaman dan realitas hidup (yaaisiin). Karena begitu gampang mereka menghabisi nyawanya dan nyawa orang lain dengan dalih panggilan jihad melawan Amerika dan sekutunya (hlm. 234). Bahkan saking “mangkel”nya terhadap Noordin Moh.Top dan mendiang Doktor Azahari, penulis menuding “ustaz-ustaz” asal Malaysia ini sebagai pejuang yang curang. Alasannya karena mereka tidak melakukan aksi bom bunuh diri di Malaysia. Padahal Malaysia setali tiga uang dengan Indonesia, yaitu dua negara yang tidak secara implisit memakai hukum islam sebagai dasar negara, dan sama-sama berhubungan baik dengan Amerika cs.. Lalu kenapa mereka mengekspresikan keyakinan yang aneh di negara kita?
Ada banyak hal yang dikemukakan dalam novel ini terkait sebab-sebab kemunculan pelaku teroris lewat aksi bom bunuh diri. Salah satunya adalah sistem intelijen negara yang dianggap tidak bekerja optimal. Penulis juga memfokuskan bahasan seputar “borok” agen Yahudi, yang menurutnya turut “punya saham” dalam “mencetak” para ekskutor bom bunuh diri di belahan dunia. Penulis lantas memaparkan secara panjang lebar sejarah penghianatan bangsa Yahudi sejak zaman Nabi Muhammad. Bangsa Yahudi, menurut penulis adalah bangsa yang identik dengan perilaku onar, teror dan kerap mengkhianati Rasulullah. Padahal Nabi begitu setia memegang butir-butir perjanjian damai dengan mereka.
Dalam novel ini terkuak satu per satu daftar bangsa Yahudi yang melakukan penghianatan, berikut isi penghianatannya. Lantas bagaimanakah Nabi menghadapinya? Apakah beliau menghunus pedang dan membunuh mereka? Jawabannya ada di novel setebal 273 halaman ini.

Berdialog Dengan Teroris
Novel ini mungkin dicap terlalu mengada-ada oleh para penegak hukum (Polisi) di negeri ini. Soalnya kita memang belum pernah mendengar ada perwira polisi yang mau berdialog dengan pelaku teroris seperti yang digagas penulis novel ini. Selama ini kita hanya mendengar tentang strategi pihak kepolisian dalam upaya menggagalkan rencana aksi teroris dan bagaimana cara menangkapnya.
Novel ini bisa menjadi alternatif bagi pihak kepolisian untuk mengubah paradigma dalam menghadapi aksi teroris. Tak cukup hanya mengandalkan “kehebatan” Tim Densus 88 Anti Teror yang dibentuk dengan biaya besar itu. Kapolri perlu mencari terobosan baru dengan menempuh cara-cara persuasif seperti melakukan dialog dengan pelaku, tersangka dan “calon” tersangka teroris.
Kalau memang elemen kepolisian enggan melakukan ide ini, toh ini masih bisa dilakukan oleh para pemuka agama. Kenapa tidak? Ketimbang sibuk masuk parpol, bukankah akan lebih terpuji jika para kyai berbuat sesuatu untuk menyelematkan generasi bangsa ini dari sebuah keyakinan keliru yang berakibat jatuhnya banyak korban jiwa. Sebab dengan dibukanya keran dialog dengan para tersangka dan pelaku tindak terorisme maka hal itu dapat mengeliminir tudingan bahwa pesantren adalah sarang teroris. Lagi pula kenapa kita alergi mengajak damai mereka? Berdialog untuk menyadarkan mereka secara baik-baik, bukan mengancam dengan senjata dan mobil lapis baja. Tahukah umat islam di negeri ini bahwa dengan orang-orang non muslim saja diwajibkan menjalin perdamaian, apalagi dengan saudara seagama?
Dalam hal ini pemimpin negara harus mengambil sikap berani bila ingin menciptakan iklim kondusif demi terselesaikannya berbagai krisis yang menghujam negeri ini (hlm. 242).
Sesungguhnya gagasan berdialog dengan musuh sudah sering dilakukan oleh Nabi Muhammad. Meski awalnya mendapat tantangan dari internal umat islam namun beliau tak bergeming menghadapinya. Tengoklah momentum deklarasi perjanjian Hudaibiyah yang sempat ditolak oleh para pengikuit Nabi. Malah di antaranya ada yang mengusulkan agar kaum muslim memerangi saja kelompok yang menghalangi kepergian mereka ke kota Mekah untuk ber-thawaf di Ka’bah. Tetapi Nabi bertahan dengan keputusannya dan tetap melakukan perdamaian dengan orang-orang kafir.
Jihad Terindah banyak bicara soal fikih, termasuk hukum bom bunuh diri. Ditulis seorang alumni fakultas syariah di salah satu universitas di Arab Suriah, negeri yang dianggap Amerika sebagai pelindung para teroris. Seberat apa pun kajian keislaman novel berisi 14 bab ini, pembaca dijamin akan merasa tetap enjoy karena bahasa yang disajikan sangat ringan dan membumi, yang dibungkus lewat budaya Betawi khas Bekasi (Betawi ora). Sehingga sesuatu yang serius dan njlimet berubah menjadi sebuah lelucon yang menggelitik perut tanpa kehilangan pokok permasalahan sedikit pun.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

sukses atas kemunculan situs webb ini, bravo

Anonim mengatakan...

sukses atas kemunculan situs webb ini, bravo