Selasa, 20 November 2007

Kolumnis Diadili

Kolumnis diadili, cemarkan Kejaksaan Agung Gara-gara pelarangan buku sejarah SMP dan SMU serta novel Pramoedya Ananta Toer
Menulis kolom opini di surat kabar bisa menuai perkara di meja hijau. Kasus itulah yang menimpa penulis kolom, Bersihar Lubis yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Depok karena didakwa menghina instansi Kejaksaan Agung dan dituntut sesuai pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo 310 ayat (1) KUHP. Jaksa Penuntut Umum Tikyono dari Kejaksaan Negeri Depok menuntut terdakwa dengan hukuman delapan bulan penjara pada 14 November lalu. Lubis menyampaikan pledooinya pada 21 November 2007.
Kisah ini berawal ketika Lubis menulis kolom pendapat di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007 yang berjudul "Kisah Interogator yang Dungu." Tulisan opini itu mengkritisi pelarangan buku sejarah SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung pada Maret lalu. Lubis juga mengaitkannnyadengan pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (BM) dan Anak Semua Bangsa (ASB) pada 1981, juga oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus Pram, Lubis mengutip ceramah lisan Joesoef Isak, penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan novel Pram, BM dan ASB pada 1981 lalu di Hari Sastra Indonesia di Paris pada Oktober 2004 lalu. Lubis mengutip, Joesoef Isak diperiksa interrogator dari KejaksaanAgung pada 1981 yang menuturkan mulanya ia meminta supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah symposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya-karya Pram. Tapi ditolak dengan alasan interrogator lebih paham dari siapapun bahwa BM dan ASB adalah karya sastra Marxis.
Tapi kemudian pemeriksa meminta Joesoef Isak menunjukkan baris-baris mana yang memperlihatkan adanya teori Marxis dalam novel BM dan ASB. Padahal, semula katanya lebih paham dari siapapun. Interrogator beralasan bahwa mereka memang tidak bisa mengidentifikasi pada baris-baris mana teori Marxis dalam novel itu, tapi dapat merasakannya. Itulah yang membuat Joesoef mengucapkan "kata dungu" di Hari Sastra Indonesia di Paris itu. Nah, kutipan kata "dungu" dalam kontek interogasi Joesoef Isak itulah yang dicuplik Lubis, sehingga ia didakwa telah menghina instansi Kejaksaan Agung.
Kisah lama itu ditulis Lubis sehubungan dengan langkah Kejaksaan Agung melarang belasan buku sejarah SMP dan SMU karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan PKI di Madiun (1948) dan pemberontakan PKI pada 1965. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Muchtar Arifin, Jaksa Agung Muda Intelijen, kini Wakil Jaksa Agung RI.
Dalam kolomnya, Lubis mengkritisi pelarangan buku sejarah itu dari sudut kesejarahan belaka. "Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan Anhar Gonggong, dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah," tulis Lubis di Koran TEMPO.
Kebebasan Berpendapat
Dalam pembelaannya yang dibacakan pada 21 November 2007 di PN Depok, Lubis mantan wartawan Majalah TEMPO (1978-1994) itu mengutip berbagai fakta dalam persidangan. Ternyata tak seorang saksi pun yang secara tegas dan meyakinkan mengatakan bahwa kata "dungu" itu berasal dari Lubis. Dua saksi dari Kejaksaan Negeri Depok, sekaligus saksi pelapor ke Polres Depok, yakni Pudin Saprudin dan Abdul Syukur, semula berkata bahwa kata "dungu" dalam tulisan itu berasal dari Lubis. Kemudian keduanya bimbang setelah dicecar hakim.Akhirnya, keduanya berkata, "tidak tahu."
Beda dengan saksi Susanto SH, juga dari Kejaksaan Negeri Depok, mengatakan bahwa kata "dungu" adalah kutipan dari Joesoef Isak. Keterangan saksi Daru Priyambodo selaku Redaktur Eksekutif Koran TEMPO dengan tegas mengatakan bahwa kata-kata "dungu" itu berasaldari Joesoef Isak, bukan terdakwa.
Saksi Joesoef Isak, mulanya menjelaskan bahwa istilah "dungu" itu tidak sepenuhnya mencerminkan ceramah lisannya di Paris. Tapi mantan Pemred Harian Merdeka ini mengaku tak bisa mengulanginya secara persis (beliau sudah berusia 79 tahun). Namun ketika Lubismemperlihatkan teks pidatonya sehubungan karya-karya Pram di Fordham University, New York pada 24 April 1999 di depan Majelis Hakim, Joesoef Isak membenarkan. Ia mengakui adanya kata "idiocy" dalam pidatonya di New York tersebut. Ia pun membenarkan beberapa butir teks pidatonya di New York, yang dikonfirmasikan terdakwa di depan majelis dan klop dengan tulisan terdakwa di Koran TEMPO.
Joesoef Isak adalah penerima Hadiah Jeri Laber Pour La Liberte De l'edition dari Perhimpunan Penerbit Amerika, Partner Pen American Center, April 2004 di New York. Selain juga penghargaan dari Australia dan Belanda.
Menurut Lubis, teks pidato Joesoef di New York juga dibagikan-bagikan pada Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Ceramah dan teks pidato itulah yang kemudian dilaporkan oleh JJ Kusni, koresponden Majalah MEDIUM di Paris dan mengirimkannya ke Majalah MEDIUM lengkap dengan foto-foto Joesoef Isak di Paris dan dimuat pada edisi 27 Oktober-9 November 2004. Pada saat itu, Lubis menjadi Pemimpin Redaksi Majalah MEDIUM di Jakarta.
Ketika Kejaksaan Agung melarang buku sejarah SMP dan SMU pada Maret 2007 lalu, Lubis pun mengutip laporan dari Hari Sastra Indonesia di Paris itu, sebagai bahan untuk tulisan Pendapat atau Opini di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007.
Keterangan saksi Joesoef Isak ini klop dengan keterangan saksi ahli Frans Asisi Datang, M. Hum dari UI Jakarta yang menjelaskan bahwa jika kata dungu itu berasal dari tulisan (teks pidato Joesoef Isak, pen), harus dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan.
Dalam pledooinya, Lubis mengatakan bahwa tulisannya di Koran TEMPO bukanlah perbuatan pidana. "Tetapi adalah wujud ekspresi dalam kebebasan berpendapat sebagaimana dibenarkan dalam pasal 28 UUD 1945, dan merupakan bagian dari alam demokrasi di Indonesia," kataLubis. Untuk itu ia mohon Majelis Hakim membebaskannya dari segala dakwaan.
Komunitas Sejarah
Dalam pleedoinya, Lubis juga mengutip keterangan Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia) Jhonson Panjaitan di media massa yang mengkritik Kejaksaan Agung terkait pelarangan 13 buku sejarah. PBHI mewakili Komunitas Sejarah Indonesia melihatpelarangan itu tak berdasar. Misalnya, pelarangan buku pelajaran kelas I SMP karena pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku tersebut tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Padahal, buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965 karena pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan Nusantara. Belum sampai ke periode Peristiwa Madiun dan G30S/PKI 1965. Bahkan, selain melarang bukuyang tidak mencantumkan G30S/PKI (Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, Erlangga) tetapi juga melarang buku yang tetap menggunakan istilah G30S/PKI (Tugiyono dkk, Pengetahuan Sosial, Grasindo).
Bertolak dari pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer dan pelarangan buku sejarah untuk SMP dan SMU, menurut Lubis, telah menimbulkan ketidak-pastian hukum. Bahkan dapat menghambat kreatifitas penulisan dan penerbitan karya sastra maupun buku-buku sejarah yang merugikan dunia penerbitan secara ekonomi dalam kaitannya dengan pencerdasanbangsa. Mengutip pasal 310 ayat (3) KUHAP, maka kritik yang dilakukan Lubis adalah demi kepentingan umum, dan bukan merupakan perbuatan pidana pencemaran tertulis (Bersihar Lubis).
Catatan:
1. Bersihar Lubis, 57 tahun. Nomor HP. 081317889457. Penah bekerja di Majalah TEMPO (1978-1994); Majalah GATRA (1995-1999); Majalah GAMMA (1999-2003); Majalah MEDIUM (2003- awal 2006). Sekarang penulis tetap Weekly Review di Medan Bisnis (Medan) tulisan Opini di Harian Analisa (Medan), Harian Riau Pos (Pekanbaru), Sumut Pos (Medan), Pikiran-Rakyat (Bandung), Batak Pos (Jakarta); Koran TEMPO (Jakarta) dan sesekali di Harian KOMPAS (Jakarta) dan Sinar Harapan (Jakarta). Ayah empat anak, kelahiran Gunungtua Batangonang, Tapanuli Selatan Sumatera Utara, 25 Februari 1950.
2. Dalam persidangan, saya tidak didampingi penasihat hukum. Tapi berdiskusi dan menerima masukan dari rekan-rekan PBHI Jakarta (Irfan Fahmi al Kindy, HP, 08159023416). media-jakarta.blogspot.com

Read More..

Kamis, 15 November 2007

Rosihan Anwar : Symbol Kebebasan Berpikir

Dia wartawan, penulis, pendidik, seniman dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disenut sebagai simbol kebebasan berpikir. Rezim Orde Baru dan Lama menyimpan rasa love-hate terhadapnya. Karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan. Tak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya.
Banyak yang pernah berhubungan dengan Rosihan atau mengenalnya dari jauh, menganggapnya sebagai pribadi yang arogan. Ada pula yang menggambarkan Rosihan sebagai tokoh yang punya karisma kuat, disayang, tetapi dibenci. Tetapi, sebagian terbesar dari 60 tahun lebih karier jurnalistiknya penuh ambivalensi dalam hubungannya dengan dua rezim pertama negeri ini.
Begitu Abdullah Alamudi, Wartawan senior, instruktur pada Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta, menggambarkan sosok Rosihan dalam kolomnya di Kompas (10/5). Berikut penuturan Abdullah perihal profil Rosihan:
Rezim Orde Baru dan Lama tampak menyimpan rasa love-hate terhadap Rosihan. Sebagian besar karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan, yang tidak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya. Seperti kata Virginia Woolf itu.
Ketika Jenderal Spoor dan pasukannya melancarkan aksi polisionil Belanda pertama, Juli 1947, mereka menyekap Rosihan di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Lalu, Presiden Soekarno menutup korannya, Pedoman, pada tahun 1961. Pemerintah Orde Baru menghargai pengabdian tiada henti Rosihan sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan menganugerahinya Bintang Mahaputra III, tetapi mereka menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya-termasuk Jakob Oetama.
Sekarang pun, sikap kritisnya tidak berubah. Ini tercermin, misalnya, dalam tulisannya di Jakarta Post (4/3/01). Di sana, Rosihan bercerita mengenai pengalaman dan pendapat seorang penulis dan wartawan Belanda, Willem Walraven, tentang pergerakan Indonesia di tahun 1940-an.
Walraven meninggal di kamp konsentrasi Jepang di Jawa Timur pada tahun 1943. Dan Rosihan berkomentar: "Oligarki pribumi". "Tanpa ampun terhadap bangsa sendiri". "Penderitaan yang menyedihkan bagi pekerja biasa". "56 tahun merdeka, 15 bulan dalam pemerintahan Gus Dur. Aku melihat sekeliling republik yang luas ini dan semuanya seperti tiada perubahan."
Di harian Kompas (26/4), dia mengingatkan pers Indonesia tentang kecenderungan penguasa sekarang dan anggota DPR untuk mengekang kebebasan pers seperti di zaman kolonial. Rosihan mengingatkan wartawan supaya tidak banyak menaruh harapan kepada para anggota DPR dan elite politik kini yang digambarkannya sebagai golddiggers, pemburu harta. Dia berseru kepada masyarakat pers agar mereka "merapatkan barisan untuk siap siaga terhadap datangnya malapetaka pemasungan atas diri mereka."
Sikap kerasnya itu merupakan reaksi terhadap golddiggers yang berusaha memasung pers dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang Rahasia Negara dan RUU tentang Penyiaran yang lebih banyak berisi larangan ketimbang mengembalikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Ketika memperingati "Hari Kemerdekaan Pers Dunia" (Kompas, 7/5/97), Rosihan mengingatkan, ada suatu masa di zaman Revolusi pers Indonesia menikmati kebebasan, yakni sewaktu Perdana Menteri Mohammad Hatta membiarkan pers mengkritiknya dan koran-koran oposisi mengecamnya. "...Warisan sejarah itu jangan dilupakan," katanya. Pesan ini baik juga diingat oleh golddiggers yang ingin mengembalikan pers Indonesia ke zaman kolonial.
Sebagai reporter Asia Raya sejak 1943, redaktur harian Merdeka, pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat sebelum mendirikan harian Pedoman, Rosihan banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada edisi pertama harian Merdeka 1 Oktober 1945, Rosihan menulis sajak yang pesan-pesannya amat kiri, berjudul, “Kini Abad Rakyat Merdeka.” Sebagian dari sajak itu berbunyi:"... Kami putra abad sekarang/Gairah berjuang terus-menerus/Mewujudkan cita semboyan kudus:/SAMA RASA, SAMA RATA/Tiada lagi bangsa terjajah/Mereka semua berdaulat sendiri/Buat jaminan damai abadi."
Ensiklopedi berjalanLahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, Rosihan belajar di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Dia melanjutkan pendidikannya di AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Ayahnya adalah Asisten Demang Anwar, gelar Maharaja Sutan di Sumatera Barat.
Memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, sedikitnya Rosihan sudah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di negeri ini dan di beberapa penerbitan asing. Dia juga bermain dalam beberapa film Indonesia sejak tahun 1950, bahkan dia salah satu pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950 bersama (alm) Usmar Ismail dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Rosihan adalah bagian dari sejarah Indonesia. Dia seolah ensiklopedia Indonesia berjalan. Karena itu pula Masyarakat Sejarah Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang anggota kehormatannya.
Dalam pengantarnya pada buku H Rosihan Anwar: Wartawan Dengan Aneka Citra, Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas, menggambarkan Rosihan sebagai "...wartawan sejati, bukanlah man of power melainkan man of conscience and of culture, lebih cenderung kepada suara hati dan kebudayaan (baca: kemanusiaan) daripada kekuasaan."
Sakit hati Rosihan pada Pemerintah Orde Baru, yang tetap menolak Pedoman terbit kembali meski Menteri Penerangan Mashuri sudah memintakannya kepada Presiden Soeharto. Itu tercermin pada penolakannya menjadi duta besar dan berkuasa penuh untuk Vietnam. Rosihan menolaknya secara halus dengan alasan dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya yang masih duduk di sekolah menengah.
Banyak peninjau politik melihat keputusan Rosihan saat itu sebagai tindakan terlalu berani untuk menolak penugasan terhormat dari seorang "Raja Jawa" (baca: Presiden Soeharto). Tetapi, itulah Haji Waang-julukan banyak orang terhadap Rosihan, yang mereka ambil dari nama tokoh lugu dan polos dalam tajuk-tajuk rencana Pedoman setiap Jum'at. Rosihan memang tidak membentak atau menghardik orang, tetapi sentilannya (baca: arogansinya) dalam menghujam di hati, lama mendengung di kuping.
Rosihan juga seorang pendidik, fair, dan selalu memberi kesempatan kepada stafnya untuk maju. Keterampilannya menulis menjadikan Rosihan kolumnis yang mungkin terbaik di Indonesia saat ini. Dia bercerita sebagai seorang storyteller dan menunjukkan authenticity artikelnya dengan menampilkan diri dalam tulisannya, menjadi saksi sejarah, sehingga pembaca hanyut dalam arus ceritanya.
Bila menulis obituary, Rosihan bercerita tentang the life and work orang bersangkutan dan tempatnya dalam sejarah negeri ini sehingga pembaca bisa meneteskan air mata. Selalu ada warna dalam ceritanya, tetapi tanpa flowery words dan tak ada lubang dalam tulisannya.
Penampilan fisik H Rosihan Anwar, yang hari ini berumur 80 tahun, rasanya tidak berbeda dengan penampilannya pada 1968. Bahkan, Rosihan tampak lebih rapi karena dia tidak lagi mengenakan ciri khasnya yang dulu: saputangan di tengkuk untuk melindungi kerah baju dari keringatnya.
Namun, betapapun penampilan dan arogansinya, Rosihan adalah panutan para wartawan dalam menghadapi orang-orang yang dia sebut golddiggers.

Sumber : tokohindonesia.com

Read More..

Rosihan Anwar : Symbol Kebebasan Berpikir

Dia wartawan, penulis, pendidik, seniman dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disenut sebagai simbol kebebasan berpikir. Rezim Orde Baru dan Lama menyimpan rasa love-hate terhadapnya. Karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan. Tak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya.
Banyak yang pernah berhubungan dengan Rosihan atau mengenalnya dari jauh, menganggapnya sebagai pribadi yang arogan. Ada pula yang menggambarkan Rosihan sebagai tokoh yang punya karisma kuat, disayang, tetapi dibenci. Tetapi, sebagian terbesar dari 60 tahun lebih karier jurnalistiknya penuh ambivalensi dalam hubungannya dengan dua rezim pertama negeri ini.
Begitu Abdullah Alamudi, Wartawan senior, instruktur pada Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta, menggambarkan sosok Rosihan dalam kolomnya di Kompas (10/5). Berikut penuturan Abdullah perihal profil Rosihan:
Rezim Orde Baru dan Lama tampak menyimpan rasa love-hate terhadap Rosihan. Sebagian besar karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan, yang tidak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya. Seperti kata Virginia Woolf itu.
Ketika Jenderal Spoor dan pasukannya melancarkan aksi polisionil Belanda pertama, Juli 1947, mereka menyekap Rosihan di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Lalu, Presiden Soekarno menutup korannya, Pedoman, pada tahun 1961. Pemerintah Orde Baru menghargai pengabdian tiada henti Rosihan sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan menganugerahinya Bintang Mahaputra III, tetapi mereka menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya-termasuk Jakob Oetama.
Sekarang pun, sikap kritisnya tidak berubah. Ini tercermin, misalnya, dalam tulisannya di Jakarta Post (4/3/01). Di sana, Rosihan bercerita mengenai pengalaman dan pendapat seorang penulis dan wartawan Belanda, Willem Walraven, tentang pergerakan Indonesia di tahun 1940-an.
Walraven meninggal di kamp konsentrasi Jepang di Jawa Timur pada tahun 1943. Dan Rosihan berkomentar: "Oligarki pribumi". "Tanpa ampun terhadap bangsa sendiri". "Penderitaan yang menyedihkan bagi pekerja biasa". "56 tahun merdeka, 15 bulan dalam pemerintahan Gus Dur. Aku melihat sekeliling republik yang luas ini dan semuanya seperti tiada perubahan."
Di harian Kompas (26/4), dia mengingatkan pers Indonesia tentang kecenderungan penguasa sekarang dan anggota DPR untuk mengekang kebebasan pers seperti di zaman kolonial. Rosihan mengingatkan wartawan supaya tidak banyak menaruh harapan kepada para anggota DPR dan elite politik kini yang digambarkannya sebagai golddiggers, pemburu harta. Dia berseru kepada masyarakat pers agar mereka "merapatkan barisan untuk siap siaga terhadap datangnya malapetaka pemasungan atas diri mereka."
Sikap kerasnya itu merupakan reaksi terhadap golddiggers yang berusaha memasung pers dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang Rahasia Negara dan RUU tentang Penyiaran yang lebih banyak berisi larangan ketimbang mengembalikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Ketika memperingati "Hari Kemerdekaan Pers Dunia" (Kompas, 7/5/97), Rosihan mengingatkan, ada suatu masa di zaman Revolusi pers Indonesia menikmati kebebasan, yakni sewaktu Perdana Menteri Mohammad Hatta membiarkan pers mengkritiknya dan koran-koran oposisi mengecamnya. "...Warisan sejarah itu jangan dilupakan," katanya. Pesan ini baik juga diingat oleh golddiggers yang ingin mengembalikan pers Indonesia ke zaman kolonial.
Sebagai reporter Asia Raya sejak 1943, redaktur harian Merdeka, pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat sebelum mendirikan harian Pedoman, Rosihan banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada edisi pertama harian Merdeka 1 Oktober 1945, Rosihan menulis sajak yang pesan-pesannya amat kiri, berjudul, “Kini Abad Rakyat Merdeka.” Sebagian dari sajak itu berbunyi:"... Kami putra abad sekarang/Gairah berjuang terus-menerus/Mewujudkan cita semboyan kudus:/SAMA RASA, SAMA RATA/Tiada lagi bangsa terjajah/Mereka semua berdaulat sendiri/Buat jaminan damai abadi."
Ensiklopedi berjalanLahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, Rosihan belajar di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Dia melanjutkan pendidikannya di AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Ayahnya adalah Asisten Demang Anwar, gelar Maharaja Sutan di Sumatera Barat.
Memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, sedikitnya Rosihan sudah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di negeri ini dan di beberapa penerbitan asing. Dia juga bermain dalam beberapa film Indonesia sejak tahun 1950, bahkan dia salah satu pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950 bersama (alm) Usmar Ismail dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Rosihan adalah bagian dari sejarah Indonesia. Dia seolah ensiklopedia Indonesia berjalan. Karena itu pula Masyarakat Sejarah Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang anggota kehormatannya.
Dalam pengantarnya pada buku H Rosihan Anwar: Wartawan Dengan Aneka Citra, Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas, menggambarkan Rosihan sebagai "...wartawan sejati, bukanlah man of power melainkan man of conscience and of culture, lebih cenderung kepada suara hati dan kebudayaan (baca: kemanusiaan) daripada kekuasaan."
Sakit hati Rosihan pada Pemerintah Orde Baru, yang tetap menolak Pedoman terbit kembali meski Menteri Penerangan Mashuri sudah memintakannya kepada Presiden Soeharto. Itu tercermin pada penolakannya menjadi duta besar dan berkuasa penuh untuk Vietnam. Rosihan menolaknya secara halus dengan alasan dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya yang masih duduk di sekolah menengah.
Banyak peninjau politik melihat keputusan Rosihan saat itu sebagai tindakan terlalu berani untuk menolak penugasan terhormat dari seorang "Raja Jawa" (baca: Presiden Soeharto). Tetapi, itulah Haji Waang-julukan banyak orang terhadap Rosihan, yang mereka ambil dari nama tokoh lugu dan polos dalam tajuk-tajuk rencana Pedoman setiap Jum'at. Rosihan memang tidak membentak atau menghardik orang, tetapi sentilannya (baca: arogansinya) dalam menghujam di hati, lama mendengung di kuping.
Rosihan juga seorang pendidik, fair, dan selalu memberi kesempatan kepada stafnya untuk maju. Keterampilannya menulis menjadikan Rosihan kolumnis yang mungkin terbaik di Indonesia saat ini. Dia bercerita sebagai seorang storyteller dan menunjukkan authenticity artikelnya dengan menampilkan diri dalam tulisannya, menjadi saksi sejarah, sehingga pembaca hanyut dalam arus ceritanya.
Bila menulis obituary, Rosihan bercerita tentang the life and work orang bersangkutan dan tempatnya dalam sejarah negeri ini sehingga pembaca bisa meneteskan air mata. Selalu ada warna dalam ceritanya, tetapi tanpa flowery words dan tak ada lubang dalam tulisannya.
Penampilan fisik H Rosihan Anwar, yang hari ini berumur 80 tahun, rasanya tidak berbeda dengan penampilannya pada 1968. Bahkan, Rosihan tampak lebih rapi karena dia tidak lagi mengenakan ciri khasnya yang dulu: saputangan di tengkuk untuk melindungi kerah baju dari keringatnya.
Namun, betapapun penampilan dan arogansinya, Rosihan adalah panutan para wartawan dalam menghadapi orang-orang yang dia sebut golddiggers.
Sumber : tokohindonesia.com

Read More..

Pahlawan Nasional Republik Indonesia KH Noer Ali

Gerilyawan Handal, Revolusioser Karismatik, Tokoh Spiritual, Pejuang Pendidikan, Republiken Tulen, Anggota Konstituante dari Partai Masyumi, Politisi di Era Demokrasi Liberal, Pelopor Kealahiran MUI Pusat, Ideolog Resmi Warga Betawi, Pemersatu Dalam Semua Bidang, Toleran, Rendah Hati, Tegas, Ahli Ibadah, dan Istiqomah (Konasisten).
"Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali". ya itu adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para orang tua dulu. Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena ia menjadi ikon kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan "Singa Karawang Bekasi" atau ada juga yang menyebutnya "si Belut Putih".
Saya memang tidak banyak tau tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para orang tua. Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi.
Kembali ke KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama Ujung malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki lebih dari 50 Cabang. Dan saya adalah orang yang termasuk salah satu santri dicabangnya (At- Taqwa VIII). Cerita perjuangan beliau begitu banyak yang saya dapatkan baik dari para orang tua maupun guru (ceritanya seperti film-film kolosal ^_^). Ia selalu bisa lolos/menghilang ketika ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia berjuluk si belut putih), meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak, murid-muridnya yang kebal peluru karena amalan wirid dan ratibnya, dll. Beliau juga sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya, hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat tiong hoa yang non Muslim dari penjajah Belanda.
Alhamdulillah pada 9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.

"Singa Karawang-Bekasi"
Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan),Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin.
Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: "Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!". Noer Ali pun "marah" dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali.
Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS.
Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari "Singa Karawang-Bekasi". Ada juga yang menyebutnya sebagai "Belut Putih" karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara.
Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI diPandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik.
Prof. Dr. Nina H. Lubis, M.S. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat menyebut, pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya
Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa.
Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.
Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.
Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik.
Gelar pahlawan nasional sebenarnya bukan tujuan akhir bagi sang syuhada ini. Ia dilahirkan untuk membela manusia yang ’teraniyaya’ dari koloni dan kekeringan spiritual. Meski dirinya seorang ulama, kiyayi, namun pola pikirnya dalam banyak hal kemanusaian cocok untuk masanya. Sebut saja soal pendidikan, pertanian, kemasyarakatan, nasionalesme, manajemen, dan penyumbang ide sekaligus aktor dalam kelahiran wadah ulama secara nasional (Majelis Ulama Indonesia), wakaf, dan lainnya. Itu semua dilakukan dengan bingkai keagamaannya yang sangat kokoh.
Saat ini segudang agenda besar yang telah ditancapkannya belum banyak yang melihat secara detail, kecuali hanya diiedentikkan dengan posisi pahlawan nasional semata. Di luar itu menjadi garapan kita semua atas karya abadi dalam dan untuk bangsa ini yang sangat dicintainya. Ke depan usaha-usaha menginventarisasi karya al-maghfurlah sangat di tunggu untuk menjadi referensi bagi generasi setelahnya yang membangun bangsa ini dalam bingkai agama. Dari berbagai sumber
.

Read More..

Sejarah Jakarta
"Sejarah adalah guru dari penghidupan dan pembawa berita dari masa yang lampau" Cicero, Filsuf

Kota Jakarta pada awalnya hanyalah sebuah bandar kecil bernama Sunda Kalapa, terletak di muara Sungai Ciliwung pada sekitar 500 tahun silam। Pada Abad ke-14 wilayah ini masuk dalam bagian kekuasaan dari Kerajaan Pajajaran, yang berfungsi sebagai kota perdagangan, kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan Internasional yang cukup ramai dikunjungan para saudagar dari berbagai mancanegara.


Bangsa Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa pada tahun 1522 berasal dari para pedagang Portugis dalam rangka mengembangkan perdagangannya di Asia Tenggara. Mereka lalu berusaha bekerja sama dengan Kerajaan Padjajaran yang dipimpin Sri Baduga Maharaja. Kala itu, Raja Padjajaran sedang menggalang kekuatan dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk bantuan kekuatan armada dari bangsa Portugis.
Dukungan kekuatan itu, diperlukan untuk mengantisipasi adanya perluasan kekuasaan dari kerajaan-kerajaan yang sedang berkembang di Jawa bagian Timur melakukan ekspansi ke Jawa bagian Barat. Munculnya kekhawatiran Raja seperti itu, memang terbukti. Beberapa tahun kemudian Kerajaan Demak yang terkenal dengan kekuatan agama Islam-nya, melakukan perluasan kekuasaan dan menyebarkan pengaruhnya ke Jawa bagian Barat.
Pemimpin perluasan itu, dipimpinan oleh Falatehan -atau lebih dikenal sebagai Fatahilah, seorang guru agama terkenal dan kharismatik dari Kerajaan Demak, yang memimpin penyerangan, kemudian merebut Banten dan Sunda Kalapa dari tangan Kerajaan Pajajaran --yang ketika itu beribukota di daerah pedalaman, dekat kota Bogor sekarang (Batu Tulis).
Fatahillah kemudian mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta -yang berarti "Kemenangan Akhir"-- pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Kekuasaan Fatahillah, kemudian direbut oleh orang-orang Belanda yang tiba di Sunda Kalapa pada tahun 1596.
Tahun 1602, Belanda mendirikan Benteng di Teluk Jakarta oleh Van Raay, seorang pegawai VOC, diberi nama "Batavia". Benteng ini menjadi pusat persekutuan dagang VOC untuk wilayah Hindia Timur. Sejak itulah Belanda memulai penjajahannya di seluruh kepulauan Nusantara.

Dari Gemeente Sampai Jakaruta Tokubetsu Shi
Berdasarkan Ordonansi (Undang-undang) tanggal 18 Maret 1905, Kota Batavia -- pada tanggal 1 April 1905-- ditetapkan sebagai sebuah daerah lokal, yang mempunyai kewenangan mengatur keuangan sendiri, berikut Dewan Daerah yang berdiri sendiri dengan nama: Gemeente Batavia. Ini adalah Gemeente pertama yang dibentuk di Hindia-Belanda. Luasnya ketika itu kurang lebih 125 km per segi, belum termasuk pulau-pulau yang ada di Teluk Batavia (kini Pulau Seribu).
Pada tahun 1908, untuk keperluan menjalankan pemerintahan Pamongpraja, Afdeling Stad en Voorsteden van Batavia dibagi menjadi 2 Distrik, yakni Distrik Batavia dan Weltevreden, serta 6 Onderdistrik (Mangga Besar, Penjaringan, Tanjung Priok, Gambir, Senen, Tanah Abang), yang dikepalai oleh para Wedana dan Assisten-Wedana. Dari 6 Onderdistrik dibagi lagi menjadi 27 buah Wijk, dan masing-masing Wijk dibagi lagi dalam Kampung-kampung.
Sebelumnya, tahun 1904 ada ketentuan baru bahwa untuk "Gemeente" tertentu oleh Gubernur-Jenderal dapat diangkat seorang Ketua Dewan "Gemeente" tersendiri. Ketua Dewan yang diangkat itu memakai sebutan Burgemeester (Walikota). Burgemeester Batavia pertama-yang diangkat oleh Gubernur-Jenderal pada tahun 1916 adalah Mr, G.J. Bisschop (nama Burgermeester Bisshopplein kemudian diabadikan untuk jalan yang sekarang menjadi JI Taman Suropati).
Disamping jabatan Burgemeester, ada pula jabatan "Loco-burgemeester" (Wakil Walikota). Beberapa tokoh bangsa Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota Gemeente Batavia, antara lain: Prof. Dr. Sardjito (almarhum), bekas Rektor Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat (almarhum), Sutan Mohammad (almarhum), Abdulmoeis (almarhum), dan yang paling terkenal adalah Mohammad Husni Thamrin (almarhum).
Husni Thamrin -yang asli putra Betawi-- pernah pula menjabat Loco-burgemeester dari Batavia, merangkap anggota Volksraad Kantor Sekretariat Gemeente Batavia hingga tahun 1912 di Binnen Nieuwpoortstraat (Gedung Balaikota pada masa Pemerintahan V.O.C. Tahun 1913, dan Binnen Nieuwpoortstraat lalu pindah ke Tanah Abang Barat No. 35, dan sejak 1919 hingga kini pindah di Koningsplein Zuid 9, yaitu Balaikota sekarang di Jl Merdeka Selatan No. 8-9 Jakarta Pusat).
Pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19, Stad (kota) Batavia dengan daerah-daerah sekelilingnya merupakan suatu Karesidenan, yang dipimpin oleh seorang residen. Daerah administratip Karesidenan Batavia ini dibagi pula secara administratip dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil, yang disebut "afdeling". Sampai permulaan abad ke-20, Karesidenan tersebut terdiri dari lima wilayah, yakni:

1. Afdeling "Stad en Voorsteden van Batavia" (Kota dan pinggiran kota Batavia),
2. Afdeling Meester Cornelis (sekarang Jatinegara),
3. Afdeling Tanggerang,
4. Afdeling Buitenzorg (sekarang Bogor)
5. Afdeling Krawang.

Afdeling "Stad en Voorsteden van Batavia" dikepalai seorang Asisten Residen. Afdeling ini dibagi lagi menjadi 4 distrik, yaitu: Distrik Penjaringan, Pasar Senen, Mangga Besar dan Tanah Abang. Termasuk pula dalam afdeling ini pulau-pulau di Teluk Batavia dan sebelah Utaranya (sekarang Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu).
Pada tahun 1922 keluarlah Undang-undang tentang Pembaharuan Pemerintahan. Berdasarkan Undang-undang ini berturut-turut terbitlah Undang-undang (UU) Propinsi (1924), UU Regentschap (Kabupaten, 1924) dan UU Stadsgemeente (Stadsgemeente Ordonnantie, disingkat: S.G.O., 1926).
Selanjutnya "Gemeente Batavia" ditetapkan menjadi "Stadsgemeente Batavia", yang kemudian menyelenggarakan Pemerintahan Daerahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam S.G.O.
S.G.O. menetapkan susunan Pemerintahan suatu Stadsgemeente terdiri dari:
1. Raad (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),
2. College van Burgemeester en Wethouders (Dewan Pemerintah Daerah),
3. Burgemeester (Walikota);

Jakaruta Tokubetsu Shi
Tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ke tangan balatentara Jepang. Dan pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia-Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah itu, pihak Jepang lalu mengeluarkan Undang-undang No.42 tentang "Perobahan Tata Pemerintahan Daerah". Menurut UU tersebut, Pulau Jawa dibagi dalam satuan-satuan Daerah yang disebut "Syuu" (Karesidenan), "Syuu'" dibagi dalam beberapa "ken" (Kabupaten) dan "Shi" (Stadsgemeente).
Kalau dalam Stadsgemeente hanya merupakan Badan yang mengurus rumah tangganya saja, tanpa melaksanakan urusan Pamongpraja, maka menurut UU Tata Pemerintahan Daerah pada masa pemerintahan Jepang, "'Shi" (Stadsgemeente) mengerjakan segala urusan pemerintahan (pamongpraja) dalam lingkungan daerahnya.
Urusan Pemerintahan (Pamongpraja) di dalam Stadsgemeente' yang diurus oleh Regent (Bupati), Wedana, Assisten-Wedana, Kepala Kampung atau Wijkmeester, sekarang termasuk dalam kekuasaan "Shichoo" (Walikota). Mereka itu menjadi pegawai Shi dan menjalankan urusan Pemerintahan Shi dibawah perintah dan pimpinan "Shichoo".
Selanjutnya menurut Undang-undang tersebut diatas, "Gunseikani' (Kepala Pemerintahan Balatentara Jepang) dapat membentuk "Tokubetsu Shi" (Stadsgemeente luar biasa). Bedanya antara "Tokubetsu Shi" dan "Shi" adalah, bahwa Tokubetsu Shi tidak merupakan Daerah Otonom dibawah Syuu, melainkan langsung dibawah Gunseikan. Dengan demikian, maka kedudukan Pemerintahan kota Jakarta telah meningkat lagi, "Jakaruta Tokubetsu Shi" dipimpin oleh "Tokubetsu Shichoo" dan beberapa orang "Zyoyaku" (Pegawai Tiggi), yang masing-masing diangkat pula oleh Gunseikan.
Sampai berakhirnya pendudukan Jepang dalam tahun 1945, kota Jakarta adalah satu-satunya "Tokubetsu Shi" di Indonesia. Jakaruta Tokubetsu Shichoo yang pertama adalah Tsukamoto, dan yang terakhir adalah Hasegawa.

Menjadi DCI/DKI Jakarta
Ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang ditandai dengan upacara pembacaan teks Proklamasi oleh Suwirjo di Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) No. 56, istilah "Jakaruta Tokubetsu Shi' diganti dengan "Pemerintahan Nasional Kota Jakarta". Sebagai Walikota pertama yang diangkat oleh Presiden Soekarno pada 29 September 1945 adalah Suwirjo -yang menjadi Ketua Panitia dan pembaca teks Proklamasi tersebut.
Tanggal 21 Nopember 1947, sewaktu Walikota Suwirjo bersama beberapa orang pejabat ditangkap dan kemudian diusir dari kota Jakarta oleh Pemerintah NICA (The Netherlands Indies Civil Affairs), maka untuk sementara kekuasaan Pemerintahan Nasional Kota Jakarta fakum. Baru pada tanggal 27 Desember 1949 Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang berbentuk Federasi dengan sebutan: Republik Indonesia Serikat.
Bagi Stadsgemeente Jakarta tidak ada banyak perubahah. Hanya saja-sesuai dengan ketetapan semula, Majelis Pemerintahan Kota Jakarta dan Badan Pemerintah Harian, pada tanggal 1 Maret 1950 meletakkan jabatannya. Untuk menghindari kekosongan Pemerintahan, pada tanggal 22 Februari 1950 Presiden R.I. memutuskan, bahwa semua kekuasaan dan kewajiban yang menurut Undang-undang seharusnya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Kota dan 'College van Burgemeester en Wethouders" dari "Haminte-Kota Jakarta, untuk sementara waktu diselenggarakan oleh Walikota, yang waktu itu masih dijabat oleh Mr. Sastromuljono.
Hal ini tidak berlangsung lama. Karena pada akhir bulan Pebruari 1950, dengan persetujuan Kementerian Dalam Negeri R.I.S. dibentuklah "Panitia Tujuh", yang terdiri dari tujuh orang tokoh. Yakni Suwirjo sebagai Ketua, dan sebagai anggota masing-masing: Supranoto, Mr. Sudjono, Mr. Jusuf Wibisono, Sjamsudin Saat, Mr. St. Takdir Ali Sjahbana dan B.A. Motik. Panitia ini bertugas untuk dalam waktu singkat membentuk Majelis baru yang didalamnya duduk wakil-wakil dari aliran-aliran politik dan lainnya yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari masyarakat Kota Jakarta pada saat itu.
Tugas Panitia Tujuh berakhir pada tanggal 9 Maret 1950 dengan membentuk:
Pemerintahan Kotapraja Jakarta, yang terdiri dari:
Dewan Perwakilan Kota Sementara.
Badan Pemerintah Harian,
Walikota;
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, yang terdiri dari 25 orang anggota. Walikota menjadi anggota merangkap Ketua. Anggota-anggota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri;
B.P .H. terdiri dari Wali kota sebagai anggota merangkap Ketua, dan 4 orang anggota lainnya, yang dipilih dari anggota-anggota D.P.K. Sementara;

Oleh karena diharapkan bahwa pemilihan umum akan dapat segera diadakan, maka D.P. K. Sementara dan B.P.H. tersebut, hanya diberi masa kerja 3 bulan saja, tetapi seiambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1950 harus sudah meletakkan jabatannya.
Keputusan Panitia Tujuh tersebut diatas disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I.S. tanggal16 Maret 1950 No. B.J.3/4/13, terhitung mulai tanggal15 Maret 1950.
Yang diangkat untuk pertama kali sebagai anggota B.P.H. adalah Supranoto, Sardjono, Tabrani dan De Quelju. Dan pada tanggal 23 Maret 1950 Suwirjo diangkat oleh Presiden R.I.S. sebagai Walikota Jakarta lagi. Mr. Sastromuljono mengadakan timbang-terima kepada Suwirjo pada tanggal 30 Maret 1950. Disusul dengan penyerahan kekuasaan Pemerintahan pada tanggal 31 Maret 1950 dari Gubernur Distrik Federal (Gubernur Batavia en Ommelanden) kepada Walikota Suwirjo, lingkungan wilayah Kotapraja ditambah dengan beberapa wilayah baru, yaitu:

Pulau Seribu
Onderdistrik Cengkareng, .
Sebagian dari Distrik Kebayoran (Onderdistrik Kebonjeruk, Kebayoran ilir dan Kebayoran Udik), dan
Sebagian dari Distrik Bekasi (Onderdistrik Pulogadung dan sebagian dari Onderdistrik Cilincing).

Apabila kota lainnya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagian disebut "Kota Besar" dan lainnya "Kota Kecil", maka Kota Jakarta adalah satu-satunya yang dengan resmi disebut: "Kotapraja". Wilayahnya waktu itu terdiri dari: 6 Kawedanan, 20 Kecamatan dan 136 Kelurahan.
Untuk menunjang pengelolaan manajemen pemerintah kota Jakarta yang semakin kompleks dan luas, tahun 1955, walikota Sudiro membagi kota Jakarta menjadi tiga wilayah kabupaten administratif. Yakni Jakarta Utara, Jakarta Tengah dan Jakarta Selatan. Masing-masing wilayah dipimpin Wedana Senior dengan pangkat Patih.

Setara Menteri
Setelah bertahun-tahun menjadi ibukota negara, baru tahun 1964 -melalui UU No 10/1964, status Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (saat itu disebut Daerah Chusus Ibukota/DCI Djakarta Raja).
Dengan alasan agar gerak Gubernur DKI Jakarta semakin dinamis, maka keluar lagi Penetapan Presiden tanggal 14 Juli 1965 No 15/1965 yang menyatakan -kedudukan Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta disetarakan dengan Menteri.
Sementara itu tahun 1964, Gubernur DKI Jakarta Soemarno sempat melepaskan jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Henk Ngantung. Namun, berdasarkan Keppres No.289/1965 yang dikeluarkan 14 Juli 1965, Soemarno diangkat kembali Menteri/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri.
Dalam rangka dekonsentrasi, melalui Lembar Daerah No.4 tahun 1966, wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi lima wilayah Kota Administratif, Yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Wilayah kota adminsitratif tersebut dipimpin oleh seorang Walikota. Namun batas wewenang dan tanggungjawabnya hanya meliputi teknis administratif, taktis operasional dan koordinasi teritorial. Kini, lima wilayah di DKI tersebut telah meningkat menjadi Kotamadya yang masing-masing dipimpin seorang walikota.

Foto :

Foto lukisan pelabuhan Sunda Kelapa/Batavia (landscape pelabuhan dengan latar belakang Stad Batavia (kota Jakarta Tempo Doeloe)
Foto museum Fatahila
Foto Balaikota DKI Jakarta
Foto DPR tahun 1950-an
Foto Bung Karno dan walikota Sumarno di Gedung Pola
Foto Pembangunan dan peresmian Bundaran HI
Foto jalan raya di Jakarta jaman 1960an
Foto lalulintas (trem, truk dll) di Jakarta
Foto Jalan Thamrin tempo doeloe
Foto kegiatan para mantan Gubernur DKI Jakarta dengan Presiden Soekarno
Dll (foto-foto tempo doeloe yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan DKI Jakarta).


Pointers :

Sejarah Jakarta

Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari j adi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
1 April 1905 berubah nama menjadi Gemeente Batavia.
8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakaruta Toko Betsu Shi.
September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan Pre Federal berubah nama menjadi Stad


Gemeente Batavia.

24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praja Jakarta.
18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Jakartaa Raya.
Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.


Tulisan II Jakarta Tempo Doloe :



"Queen of The East" & Weltevreden
Pada pertengahan Abad ke-18, ketika masih bernama Batavia, Jakarta sudah terkenal di dunia sebagai salah satu kota pantai yang menjadi pusat perdagangan di Timur Jauh. Tak mengherankan, ketika itu Jakarta dijuluki sebagai "Queen of The East".
Pemerintahan Hindia Belanda sangat mengandalkan Jakarta --sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan-di Timur Jauh. Apalagi ketika tahun 1886 dibangun pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan modern. Ini, membuat peran Jakarta semakin penting dan diperhitungkan, sekaligus menjadi pengimbang dalam perdagangan dunia yang kian dinamis, setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.
Sebagai kota yang penting dan diperhitungkan di dunia, pembangunan dan pengembangan Batavia ketika itu tidak lagi hanya sebagai kota dagang dan persinggahan. Tetapi ditujukan menjadi daerah koloni yang nyaman, sesuai selera orang Eropa. Karena itu, pemerintahan Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (kota lama) ke Weltevreden, dengan membangun kota baru. Berbagai gaya arsitektur bangunan Eropa yang telah diadaptasikan dengan iklim tropis, dimasukkan dalam penataan dan pelaksanaan kota.
Sarana dan prasarana pun di bangun dalam skala sebuah kota besar. Tahun 1873, dibangun jaringan transportasi darat, seperti jalan raya, jalur kereta api dari Batavia (Jakarta) sampai Buitenzorg (kini Bogor). Dilanjutkan dengan pembangunan jaringan-jaringan rel kereta pai ke berbagai kota. Di dalam kota dibangun pula jaringan trem uap.
Di pusat pemerintahan Weltevreden, dibangun istana Waterlooplein yang kemudian berfungsi sebagai kantor pemerintah, gedung pengadilan Hoogeerechtshof, gereja Katholik Kathedral, gereja Protestan Willemskerk, sekolah-sekolah, gedung kesenian Schowburg, asrama militer dan rumah sakit.
Sejak itu minat orang-orang Eropa ke Batavia kian tinggi. Berdasarkan data Gemeente Register, pada tahun 1924 penduduk Eropa di Batavia berjumlah 27.960 orang. Jumlah ini meningkat menjadi 28.848 orang pada tahun 1925. Dan pada (sensus) 21 Oktober 1926, jumlah bangsa Eropa di Batavia naik menjadi 29.126 jiwa. Sedangkan penduduk Tionghoa mencapai 40 ribu jiwa, Arab 13 ribu jiwa, dan yang terbanyak adalah penduduk asli Indonesia (bumiputra), mencapai 228.000 jiwa.
Ketika itu, luas Gemeente Batavia hanya 125 km persegi, tidak termasuk Kepulauan Seribu. Namun, sejak tahun 1917, sejalan dengan perkembangan kota, Gemeente Batavia diperluas. Tahun 1936, ketika Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) digabungkan, luas Stadsgemeente Batavia bertambah menjadi 182 km persegi.

Kawasan Menteng.
Strategi planologi yang berkembang di Eropa sangat berpengaruh pada strategi pembangunan dan perencanaan Batavia. Pada awal Abad 20, di Eropa sedang populer penataan kota taman (Garden City) dan Ir Thomas Kaarsten adalah salah seorang planolog taman saat itu. Tak heran di Batavia pun muncul peraturan untuk membangun taman-taman kota. Sejak itu, bermunculanlah taman-taman kota. Dan Batavia semakin cantik dengan adanya Wilhelminapark (kini kompleks Masjid Istiqlal), Frombergspark (kini Taman Chairil Anwar), Decapark (taman di depan Istana Merdeka), serta Burgermeester Bisschopplein (kini Taman Surapati).
Pengaruh tersebut (penataan kota taman) terlihat saat mengembangkan Menteng. Kawasan yang diambil dari van Muntinghe, pemilik awal lahan di Menteng itu, dibangun menjadi kawasan prestisius. Bahkan proyek ini dikuatkan oleh peraturan BBV 1919. Dibentuk pula badan Bowploeg, sebagai pengarah pembangunan. Pola penataan ruang kota disesuaikan dengan syarat kota modern. Jalan utama Nassau Boulevard (kini Jalan Imam Bonjol) dan Oranye Boulevard (kini Jalan Diponegoro) merupakan arteri, dengan titik pertemuan di Bisschoplein (Taman Surapati) dengan van Heuzt Boulevard.
Untuk membangun vila-vila, sengaja diundang arsitek-arsitek Eropa. Di sinilah awal berkembangnya seni arsitektur Indotropis.
Menteng yang dulunya terdiri dari Niew Gondangdia dan Menteng, merupakan salah satu contoh perancangan kota modern pertama di Indonesia. Menteng dibangun oleh developer swasta NV de Bouwploeg yang dipimpin arsitek PJS Moojen yang tampaknya juga merencanakan tata letak dasar keseluruhan kawasan tersebut.
Sistem Zoning. Strategi peruntukkan lahan kota di Batavia dulu, mengadaptasi Sistem Zoning yang telah dikembangkan di kota-kota Eropa. Tetapi sebenarnya sejak tahun 1930 metoda peruntukkan lahan kota telah diperkenalkan. Misalnya di Utara, Oud Batavia (kota tua) dipertahankan sebagai kawasan perdagangan. Di tengah, yaitu Noordwijk (kini Jalan Juanda), Rijswijk (kini Jalan Veteran), sampai Pasar Baru dijadikan sebagai kawasan campuran antara pertokoan, perkantoran, arena hiburan dan hotel-hotel. Di Selatan, yakni Koningsplein (kini kawasan Monas) sebagai perkantoran dan pemukiman. Setelah abad ke-20 Koningsplein berkembang sebagai pusat pemerintahan.
Pada tahun 1818, Daendels-lah yang pertama kali membuka lapangan seluas 1 x 0,85 km ini sebagai tempat latihan militer. Peningkatan peran kawasan ini (sekarang Monas), diawali ketika istana Waterloplein (kini Gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng) ditetapkan sebagai kantor pemerintahan. Sehingga Gubernur Jendral berdiam di Di Rijswijk (kini Istana Merdeka). Tempat itu kemudian dibangun menjadi istana dengan dua wajah. Yakni menghadap Rijswijk (kini Istana Merdeka) dan menghadap ke Koningsplein (kini Istana Negara).
Di sekeliling Koningsplein berdiri pula rumah-rumah mewah kediaman para pembesar pemerintahan Hindia Belanda, disusul bangunan penting, seperti Museum (kini Museum Gajah), kantor Gemeenteraad, Rechtshoogeschool atau Sekoilah Tinggi Hukum (kini Kantor Hankam), kantor Pelayaran Nederland & Rotterdamsche Indische Radio Omroep Maatschappij atau disingkat NIROM (kini RRI), kantor perusahaan minyak Koloniale Petroleum Verkoop Maatschappij (KPM), Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).

Gedung-gedung Bersejarah di Jakarta (berupa parade foto)
Foto :
Pasar Senen Tempo Doeloe dan sekarang
Pasar Tanah Abang Tempo Doloe dan sekarang
Lapangan Monas Tempo Doeloe dan sekarang
Istana Merdeka Tempoe Doeloe dan sekarang
Markas KKO dan bangunan bersejarah lainnya yang berkaitan dengan tulisan

Sumber bangyos.com
.

Read More..