Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K।H। Hasyim Asy'ari। Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur. Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki. Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas. Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh. Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya. Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik. sumber gusdur.net
Selasa, 20 November 2007
KH Abdurrahman Wahid
Diposting oleh
lukmanul hakim
di
20.29
0
komentar
Kolumnis Diadili
Kolumnis diadili, cemarkan Kejaksaan Agung Gara-gara pelarangan buku sejarah SMP dan SMU serta novel Pramoedya Ananta Toer
Menulis kolom opini di surat kabar bisa menuai perkara di meja hijau. Kasus itulah yang menimpa penulis kolom, Bersihar Lubis yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Depok karena didakwa menghina instansi Kejaksaan Agung dan dituntut sesuai pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo 310 ayat (1) KUHP. Jaksa Penuntut Umum Tikyono dari Kejaksaan Negeri Depok menuntut terdakwa dengan hukuman delapan bulan penjara pada 14 November lalu. Lubis menyampaikan pledooinya pada 21 November 2007.
Kisah ini berawal ketika Lubis menulis kolom pendapat di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007 yang berjudul "Kisah Interogator yang Dungu." Tulisan opini itu mengkritisi pelarangan buku sejarah SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung pada Maret lalu. Lubis juga mengaitkannnyadengan pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (BM) dan Anak Semua Bangsa (ASB) pada 1981, juga oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus Pram, Lubis mengutip ceramah lisan Joesoef Isak, penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan novel Pram, BM dan ASB pada 1981 lalu di Hari Sastra Indonesia di Paris pada Oktober 2004 lalu. Lubis mengutip, Joesoef Isak diperiksa interrogator dari KejaksaanAgung pada 1981 yang menuturkan mulanya ia meminta supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah symposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya-karya Pram. Tapi ditolak dengan alasan interrogator lebih paham dari siapapun bahwa BM dan ASB adalah karya sastra Marxis.
Tapi kemudian pemeriksa meminta Joesoef Isak menunjukkan baris-baris mana yang memperlihatkan adanya teori Marxis dalam novel BM dan ASB. Padahal, semula katanya lebih paham dari siapapun. Interrogator beralasan bahwa mereka memang tidak bisa mengidentifikasi pada baris-baris mana teori Marxis dalam novel itu, tapi dapat merasakannya. Itulah yang membuat Joesoef mengucapkan "kata dungu" di Hari Sastra Indonesia di Paris itu. Nah, kutipan kata "dungu" dalam kontek interogasi Joesoef Isak itulah yang dicuplik Lubis, sehingga ia didakwa telah menghina instansi Kejaksaan Agung.
Kisah lama itu ditulis Lubis sehubungan dengan langkah Kejaksaan Agung melarang belasan buku sejarah SMP dan SMU karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan PKI di Madiun (1948) dan pemberontakan PKI pada 1965. "Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Muchtar Arifin, Jaksa Agung Muda Intelijen, kini Wakil Jaksa Agung RI.
Dalam kolomnya, Lubis mengkritisi pelarangan buku sejarah itu dari sudut kesejarahan belaka. "Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan Anhar Gonggong, dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah," tulis Lubis di Koran TEMPO.
Kebebasan Berpendapat
Dalam pembelaannya yang dibacakan pada 21 November 2007 di PN Depok, Lubis mantan wartawan Majalah TEMPO (1978-1994) itu mengutip berbagai fakta dalam persidangan. Ternyata tak seorang saksi pun yang secara tegas dan meyakinkan mengatakan bahwa kata "dungu" itu berasal dari Lubis. Dua saksi dari Kejaksaan Negeri Depok, sekaligus saksi pelapor ke Polres Depok, yakni Pudin Saprudin dan Abdul Syukur, semula berkata bahwa kata "dungu" dalam tulisan itu berasal dari Lubis. Kemudian keduanya bimbang setelah dicecar hakim.Akhirnya, keduanya berkata, "tidak tahu."
Beda dengan saksi Susanto SH, juga dari Kejaksaan Negeri Depok, mengatakan bahwa kata "dungu" adalah kutipan dari Joesoef Isak. Keterangan saksi Daru Priyambodo selaku Redaktur Eksekutif Koran TEMPO dengan tegas mengatakan bahwa kata-kata "dungu" itu berasaldari Joesoef Isak, bukan terdakwa.
Saksi Joesoef Isak, mulanya menjelaskan bahwa istilah "dungu" itu tidak sepenuhnya mencerminkan ceramah lisannya di Paris. Tapi mantan Pemred Harian Merdeka ini mengaku tak bisa mengulanginya secara persis (beliau sudah berusia 79 tahun). Namun ketika Lubismemperlihatkan teks pidatonya sehubungan karya-karya Pram di Fordham University, New York pada 24 April 1999 di depan Majelis Hakim, Joesoef Isak membenarkan. Ia mengakui adanya kata "idiocy" dalam pidatonya di New York tersebut. Ia pun membenarkan beberapa butir teks pidatonya di New York, yang dikonfirmasikan terdakwa di depan majelis dan klop dengan tulisan terdakwa di Koran TEMPO.
Joesoef Isak adalah penerima Hadiah Jeri Laber Pour La Liberte De l'edition dari Perhimpunan Penerbit Amerika, Partner Pen American Center, April 2004 di New York. Selain juga penghargaan dari Australia dan Belanda.
Menurut Lubis, teks pidato Joesoef di New York juga dibagikan-bagikan pada Hari Sastra Indonesia di Paris pada 2004. Ceramah dan teks pidato itulah yang kemudian dilaporkan oleh JJ Kusni, koresponden Majalah MEDIUM di Paris dan mengirimkannya ke Majalah MEDIUM lengkap dengan foto-foto Joesoef Isak di Paris dan dimuat pada edisi 27 Oktober-9 November 2004. Pada saat itu, Lubis menjadi Pemimpin Redaksi Majalah MEDIUM di Jakarta.
Ketika Kejaksaan Agung melarang buku sejarah SMP dan SMU pada Maret 2007 lalu, Lubis pun mengutip laporan dari Hari Sastra Indonesia di Paris itu, sebagai bahan untuk tulisan Pendapat atau Opini di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007.
Keterangan saksi Joesoef Isak ini klop dengan keterangan saksi ahli Frans Asisi Datang, M. Hum dari UI Jakarta yang menjelaskan bahwa jika kata dungu itu berasal dari tulisan (teks pidato Joesoef Isak, pen), harus dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan.
Dalam pledooinya, Lubis mengatakan bahwa tulisannya di Koran TEMPO bukanlah perbuatan pidana. "Tetapi adalah wujud ekspresi dalam kebebasan berpendapat sebagaimana dibenarkan dalam pasal 28 UUD 1945, dan merupakan bagian dari alam demokrasi di Indonesia," kataLubis. Untuk itu ia mohon Majelis Hakim membebaskannya dari segala dakwaan.
Komunitas Sejarah
Dalam pleedoinya, Lubis juga mengutip keterangan Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia) Jhonson Panjaitan di media massa yang mengkritik Kejaksaan Agung terkait pelarangan 13 buku sejarah. PBHI mewakili Komunitas Sejarah Indonesia melihatpelarangan itu tak berdasar. Misalnya, pelarangan buku pelajaran kelas I SMP karena pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku tersebut tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Padahal, buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965 karena pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan Nusantara. Belum sampai ke periode Peristiwa Madiun dan G30S/PKI 1965. Bahkan, selain melarang bukuyang tidak mencantumkan G30S/PKI (Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, Erlangga) tetapi juga melarang buku yang tetap menggunakan istilah G30S/PKI (Tugiyono dkk, Pengetahuan Sosial, Grasindo).
Bertolak dari pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer dan pelarangan buku sejarah untuk SMP dan SMU, menurut Lubis, telah menimbulkan ketidak-pastian hukum. Bahkan dapat menghambat kreatifitas penulisan dan penerbitan karya sastra maupun buku-buku sejarah yang merugikan dunia penerbitan secara ekonomi dalam kaitannya dengan pencerdasanbangsa. Mengutip pasal 310 ayat (3) KUHAP, maka kritik yang dilakukan Lubis adalah demi kepentingan umum, dan bukan merupakan perbuatan pidana pencemaran tertulis (Bersihar Lubis).
Catatan:
1. Bersihar Lubis, 57 tahun. Nomor HP. 081317889457. Penah bekerja di Majalah TEMPO (1978-1994); Majalah GATRA (1995-1999); Majalah GAMMA (1999-2003); Majalah MEDIUM (2003- awal 2006). Sekarang penulis tetap Weekly Review di Medan Bisnis (Medan) tulisan Opini di Harian Analisa (Medan), Harian Riau Pos (Pekanbaru), Sumut Pos (Medan), Pikiran-Rakyat (Bandung), Batak Pos (Jakarta); Koran TEMPO (Jakarta) dan sesekali di Harian KOMPAS (Jakarta) dan Sinar Harapan (Jakarta). Ayah empat anak, kelahiran Gunungtua Batangonang, Tapanuli Selatan Sumatera Utara, 25 Februari 1950.
2. Dalam persidangan, saya tidak didampingi penasihat hukum. Tapi berdiskusi dan menerima masukan dari rekan-rekan PBHI Jakarta (Irfan Fahmi al Kindy, HP, 08159023416). media-jakarta.blogspot.com
Diposting oleh
lukmanul hakim
di
20.26
0
komentar
Kamis, 15 November 2007
Rosihan Anwar : Symbol Kebebasan Berpikir
Dia wartawan, penulis, pendidik, seniman dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disenut sebagai simbol kebebasan berpikir. Rezim Orde Baru dan Lama menyimpan rasa love-hate terhadapnya. Karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan. Tak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya.
Banyak yang pernah berhubungan dengan Rosihan atau mengenalnya dari jauh, menganggapnya sebagai pribadi yang arogan. Ada pula yang menggambarkan Rosihan sebagai tokoh yang punya karisma kuat, disayang, tetapi dibenci. Tetapi, sebagian terbesar dari 60 tahun lebih karier jurnalistiknya penuh ambivalensi dalam hubungannya dengan dua rezim pertama negeri ini.
Begitu Abdullah Alamudi, Wartawan senior, instruktur pada Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta, menggambarkan sosok Rosihan dalam kolomnya di Kompas (10/5). Berikut penuturan Abdullah perihal profil Rosihan:
Rezim Orde Baru dan Lama tampak menyimpan rasa love-hate terhadap Rosihan. Sebagian besar karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan, yang tidak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya. Seperti kata Virginia Woolf itu.
Ketika Jenderal Spoor dan pasukannya melancarkan aksi polisionil Belanda pertama, Juli 1947, mereka menyekap Rosihan di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Lalu, Presiden Soekarno menutup korannya, Pedoman, pada tahun 1961. Pemerintah Orde Baru menghargai pengabdian tiada henti Rosihan sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan menganugerahinya Bintang Mahaputra III, tetapi mereka menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya-termasuk Jakob Oetama.
Sekarang pun, sikap kritisnya tidak berubah. Ini tercermin, misalnya, dalam tulisannya di Jakarta Post (4/3/01). Di sana, Rosihan bercerita mengenai pengalaman dan pendapat seorang penulis dan wartawan Belanda, Willem Walraven, tentang pergerakan Indonesia di tahun 1940-an.
Walraven meninggal di kamp konsentrasi Jepang di Jawa Timur pada tahun 1943. Dan Rosihan berkomentar: "Oligarki pribumi". "Tanpa ampun terhadap bangsa sendiri". "Penderitaan yang menyedihkan bagi pekerja biasa". "56 tahun merdeka, 15 bulan dalam pemerintahan Gus Dur. Aku melihat sekeliling republik yang luas ini dan semuanya seperti tiada perubahan."
Di harian Kompas (26/4), dia mengingatkan pers Indonesia tentang kecenderungan penguasa sekarang dan anggota DPR untuk mengekang kebebasan pers seperti di zaman kolonial. Rosihan mengingatkan wartawan supaya tidak banyak menaruh harapan kepada para anggota DPR dan elite politik kini yang digambarkannya sebagai golddiggers, pemburu harta. Dia berseru kepada masyarakat pers agar mereka "merapatkan barisan untuk siap siaga terhadap datangnya malapetaka pemasungan atas diri mereka."
Sikap kerasnya itu merupakan reaksi terhadap golddiggers yang berusaha memasung pers dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang Rahasia Negara dan RUU tentang Penyiaran yang lebih banyak berisi larangan ketimbang mengembalikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Ketika memperingati "Hari Kemerdekaan Pers Dunia" (Kompas, 7/5/97), Rosihan mengingatkan, ada suatu masa di zaman Revolusi pers Indonesia menikmati kebebasan, yakni sewaktu Perdana Menteri Mohammad Hatta membiarkan pers mengkritiknya dan koran-koran oposisi mengecamnya. "...Warisan sejarah itu jangan dilupakan," katanya. Pesan ini baik juga diingat oleh golddiggers yang ingin mengembalikan pers Indonesia ke zaman kolonial.
Sebagai reporter Asia Raya sejak 1943, redaktur harian Merdeka, pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat sebelum mendirikan harian Pedoman, Rosihan banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada edisi pertama harian Merdeka 1 Oktober 1945, Rosihan menulis sajak yang pesan-pesannya amat kiri, berjudul, “Kini Abad Rakyat Merdeka.” Sebagian dari sajak itu berbunyi:"... Kami putra abad sekarang/Gairah berjuang terus-menerus/Mewujudkan cita semboyan kudus:/SAMA RASA, SAMA RATA/Tiada lagi bangsa terjajah/Mereka semua berdaulat sendiri/Buat jaminan damai abadi."
Ensiklopedi berjalanLahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, Rosihan belajar di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Dia melanjutkan pendidikannya di AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Ayahnya adalah Asisten Demang Anwar, gelar Maharaja Sutan di Sumatera Barat.
Memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, sedikitnya Rosihan sudah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di negeri ini dan di beberapa penerbitan asing. Dia juga bermain dalam beberapa film Indonesia sejak tahun 1950, bahkan dia salah satu pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950 bersama (alm) Usmar Ismail dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Rosihan adalah bagian dari sejarah Indonesia. Dia seolah ensiklopedia Indonesia berjalan. Karena itu pula Masyarakat Sejarah Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang anggota kehormatannya.
Dalam pengantarnya pada buku H Rosihan Anwar: Wartawan Dengan Aneka Citra, Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas, menggambarkan Rosihan sebagai "...wartawan sejati, bukanlah man of power melainkan man of conscience and of culture, lebih cenderung kepada suara hati dan kebudayaan (baca: kemanusiaan) daripada kekuasaan."
Sakit hati Rosihan pada Pemerintah Orde Baru, yang tetap menolak Pedoman terbit kembali meski Menteri Penerangan Mashuri sudah memintakannya kepada Presiden Soeharto. Itu tercermin pada penolakannya menjadi duta besar dan berkuasa penuh untuk Vietnam. Rosihan menolaknya secara halus dengan alasan dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya yang masih duduk di sekolah menengah.
Banyak peninjau politik melihat keputusan Rosihan saat itu sebagai tindakan terlalu berani untuk menolak penugasan terhormat dari seorang "Raja Jawa" (baca: Presiden Soeharto). Tetapi, itulah Haji Waang-julukan banyak orang terhadap Rosihan, yang mereka ambil dari nama tokoh lugu dan polos dalam tajuk-tajuk rencana Pedoman setiap Jum'at. Rosihan memang tidak membentak atau menghardik orang, tetapi sentilannya (baca: arogansinya) dalam menghujam di hati, lama mendengung di kuping.
Rosihan juga seorang pendidik, fair, dan selalu memberi kesempatan kepada stafnya untuk maju. Keterampilannya menulis menjadikan Rosihan kolumnis yang mungkin terbaik di Indonesia saat ini. Dia bercerita sebagai seorang storyteller dan menunjukkan authenticity artikelnya dengan menampilkan diri dalam tulisannya, menjadi saksi sejarah, sehingga pembaca hanyut dalam arus ceritanya.
Bila menulis obituary, Rosihan bercerita tentang the life and work orang bersangkutan dan tempatnya dalam sejarah negeri ini sehingga pembaca bisa meneteskan air mata. Selalu ada warna dalam ceritanya, tetapi tanpa flowery words dan tak ada lubang dalam tulisannya.
Penampilan fisik H Rosihan Anwar, yang hari ini berumur 80 tahun, rasanya tidak berbeda dengan penampilannya pada 1968. Bahkan, Rosihan tampak lebih rapi karena dia tidak lagi mengenakan ciri khasnya yang dulu: saputangan di tengkuk untuk melindungi kerah baju dari keringatnya.
Namun, betapapun penampilan dan arogansinya, Rosihan adalah panutan para wartawan dalam menghadapi orang-orang yang dia sebut golddiggers.
Sumber : tokohindonesia.com
Diposting oleh
lukmanul hakim
di
05.00
Rosihan Anwar : Symbol Kebebasan Berpikir
Dia wartawan, penulis, pendidik, seniman dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disenut sebagai simbol kebebasan berpikir. Rezim Orde Baru dan Lama menyimpan rasa love-hate terhadapnya. Karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan. Tak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya.
Banyak yang pernah berhubungan dengan Rosihan atau mengenalnya dari jauh, menganggapnya sebagai pribadi yang arogan. Ada pula yang menggambarkan Rosihan sebagai tokoh yang punya karisma kuat, disayang, tetapi dibenci. Tetapi, sebagian terbesar dari 60 tahun lebih karier jurnalistiknya penuh ambivalensi dalam hubungannya dengan dua rezim pertama negeri ini.
Begitu Abdullah Alamudi, Wartawan senior, instruktur pada Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta, menggambarkan sosok Rosihan dalam kolomnya di Kompas (10/5). Berikut penuturan Abdullah perihal profil Rosihan:
Rezim Orde Baru dan Lama tampak menyimpan rasa love-hate terhadap Rosihan. Sebagian besar karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan, yang tidak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya. Seperti kata Virginia Woolf itu.
Ketika Jenderal Spoor dan pasukannya melancarkan aksi polisionil Belanda pertama, Juli 1947, mereka menyekap Rosihan di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Lalu, Presiden Soekarno menutup korannya, Pedoman, pada tahun 1961. Pemerintah Orde Baru menghargai pengabdian tiada henti Rosihan sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan menganugerahinya Bintang Mahaputra III, tetapi mereka menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya-termasuk Jakob Oetama.
Sekarang pun, sikap kritisnya tidak berubah. Ini tercermin, misalnya, dalam tulisannya di Jakarta Post (4/3/01). Di sana, Rosihan bercerita mengenai pengalaman dan pendapat seorang penulis dan wartawan Belanda, Willem Walraven, tentang pergerakan Indonesia di tahun 1940-an.
Walraven meninggal di kamp konsentrasi Jepang di Jawa Timur pada tahun 1943. Dan Rosihan berkomentar: "Oligarki pribumi". "Tanpa ampun terhadap bangsa sendiri". "Penderitaan yang menyedihkan bagi pekerja biasa". "56 tahun merdeka, 15 bulan dalam pemerintahan Gus Dur. Aku melihat sekeliling republik yang luas ini dan semuanya seperti tiada perubahan."
Di harian Kompas (26/4), dia mengingatkan pers Indonesia tentang kecenderungan penguasa sekarang dan anggota DPR untuk mengekang kebebasan pers seperti di zaman kolonial. Rosihan mengingatkan wartawan supaya tidak banyak menaruh harapan kepada para anggota DPR dan elite politik kini yang digambarkannya sebagai golddiggers, pemburu harta. Dia berseru kepada masyarakat pers agar mereka "merapatkan barisan untuk siap siaga terhadap datangnya malapetaka pemasungan atas diri mereka."
Sikap kerasnya itu merupakan reaksi terhadap golddiggers yang berusaha memasung pers dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang Rahasia Negara dan RUU tentang Penyiaran yang lebih banyak berisi larangan ketimbang mengembalikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Ketika memperingati "Hari Kemerdekaan Pers Dunia" (Kompas, 7/5/97), Rosihan mengingatkan, ada suatu masa di zaman Revolusi pers Indonesia menikmati kebebasan, yakni sewaktu Perdana Menteri Mohammad Hatta membiarkan pers mengkritiknya dan koran-koran oposisi mengecamnya. "...Warisan sejarah itu jangan dilupakan," katanya. Pesan ini baik juga diingat oleh golddiggers yang ingin mengembalikan pers Indonesia ke zaman kolonial.
Sebagai reporter Asia Raya sejak 1943, redaktur harian Merdeka, pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat sebelum mendirikan harian Pedoman, Rosihan banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada edisi pertama harian Merdeka 1 Oktober 1945, Rosihan menulis sajak yang pesan-pesannya amat kiri, berjudul, “Kini Abad Rakyat Merdeka.” Sebagian dari sajak itu berbunyi:"... Kami putra abad sekarang/Gairah berjuang terus-menerus/Mewujudkan cita semboyan kudus:/SAMA RASA, SAMA RATA/Tiada lagi bangsa terjajah/Mereka semua berdaulat sendiri/Buat jaminan damai abadi."
Ensiklopedi berjalanLahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, Rosihan belajar di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Dia melanjutkan pendidikannya di AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Ayahnya adalah Asisten Demang Anwar, gelar Maharaja Sutan di Sumatera Barat.
Memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, sedikitnya Rosihan sudah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di negeri ini dan di beberapa penerbitan asing. Dia juga bermain dalam beberapa film Indonesia sejak tahun 1950, bahkan dia salah satu pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950 bersama (alm) Usmar Ismail dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Rosihan adalah bagian dari sejarah Indonesia. Dia seolah ensiklopedia Indonesia berjalan. Karena itu pula Masyarakat Sejarah Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang anggota kehormatannya.
Dalam pengantarnya pada buku H Rosihan Anwar: Wartawan Dengan Aneka Citra, Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas, menggambarkan Rosihan sebagai "...wartawan sejati, bukanlah man of power melainkan man of conscience and of culture, lebih cenderung kepada suara hati dan kebudayaan (baca: kemanusiaan) daripada kekuasaan."
Sakit hati Rosihan pada Pemerintah Orde Baru, yang tetap menolak Pedoman terbit kembali meski Menteri Penerangan Mashuri sudah memintakannya kepada Presiden Soeharto. Itu tercermin pada penolakannya menjadi duta besar dan berkuasa penuh untuk Vietnam. Rosihan menolaknya secara halus dengan alasan dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya yang masih duduk di sekolah menengah.
Banyak peninjau politik melihat keputusan Rosihan saat itu sebagai tindakan terlalu berani untuk menolak penugasan terhormat dari seorang "Raja Jawa" (baca: Presiden Soeharto). Tetapi, itulah Haji Waang-julukan banyak orang terhadap Rosihan, yang mereka ambil dari nama tokoh lugu dan polos dalam tajuk-tajuk rencana Pedoman setiap Jum'at. Rosihan memang tidak membentak atau menghardik orang, tetapi sentilannya (baca: arogansinya) dalam menghujam di hati, lama mendengung di kuping.
Rosihan juga seorang pendidik, fair, dan selalu memberi kesempatan kepada stafnya untuk maju. Keterampilannya menulis menjadikan Rosihan kolumnis yang mungkin terbaik di Indonesia saat ini. Dia bercerita sebagai seorang storyteller dan menunjukkan authenticity artikelnya dengan menampilkan diri dalam tulisannya, menjadi saksi sejarah, sehingga pembaca hanyut dalam arus ceritanya.
Bila menulis obituary, Rosihan bercerita tentang the life and work orang bersangkutan dan tempatnya dalam sejarah negeri ini sehingga pembaca bisa meneteskan air mata. Selalu ada warna dalam ceritanya, tetapi tanpa flowery words dan tak ada lubang dalam tulisannya.
Penampilan fisik H Rosihan Anwar, yang hari ini berumur 80 tahun, rasanya tidak berbeda dengan penampilannya pada 1968. Bahkan, Rosihan tampak lebih rapi karena dia tidak lagi mengenakan ciri khasnya yang dulu: saputangan di tengkuk untuk melindungi kerah baju dari keringatnya.
Namun, betapapun penampilan dan arogansinya, Rosihan adalah panutan para wartawan dalam menghadapi orang-orang yang dia sebut golddiggers.
Sumber : tokohindonesia.com
Diposting oleh
lukmanul hakim
di
05.00
Pahlawan Nasional Republik Indonesia KH Noer Ali
Gerilyawan Handal, Revolusioser Karismatik, Tokoh Spiritual, Pejuang Pendidikan, Republiken Tulen, Anggota Konstituante dari Partai Masyumi, Politisi di Era Demokrasi Liberal, Pelopor Kealahiran MUI Pusat, Ideolog Resmi Warga Betawi, Pemersatu Dalam Semua Bidang, Toleran, Rendah Hati, Tegas, Ahli Ibadah, dan Istiqomah (Konasisten).
"Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali". ya itu adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para orang tua dulu. Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena ia menjadi ikon kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan "Singa Karawang Bekasi" atau ada juga yang menyebutnya "si Belut Putih".
Saya memang tidak banyak tau tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para orang tua. Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi.
Kembali ke KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama Ujung malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki lebih dari 50 Cabang. Dan saya adalah orang yang termasuk salah satu santri dicabangnya (At- Taqwa VIII). Cerita perjuangan beliau begitu banyak yang saya dapatkan baik dari para orang tua maupun guru (ceritanya seperti film-film kolosal ^_^). Ia selalu bisa lolos/menghilang ketika ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia berjuluk si belut putih), meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak, murid-muridnya yang kebal peluru karena amalan wirid dan ratibnya, dll. Beliau juga sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya, hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat tiong hoa yang non Muslim dari penjajah Belanda.
Alhamdulillah pada 9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
"Singa Karawang-Bekasi"
Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan),Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin.
Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: "Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!". Noer Ali pun "marah" dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali.
Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS.
Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari "Singa Karawang-Bekasi". Ada juga yang menyebutnya sebagai "Belut Putih" karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara.
Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI diPandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik.
Prof. Dr. Nina H. Lubis, M.S. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat menyebut, pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya
Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa.
Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.
Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.
Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik.
Gelar pahlawan nasional sebenarnya bukan tujuan akhir bagi sang syuhada ini. Ia dilahirkan untuk membela manusia yang ’teraniyaya’ dari koloni dan kekeringan spiritual. Meski dirinya seorang ulama, kiyayi, namun pola pikirnya dalam banyak hal kemanusaian cocok untuk masanya. Sebut saja soal pendidikan, pertanian, kemasyarakatan, nasionalesme, manajemen, dan penyumbang ide sekaligus aktor dalam kelahiran wadah ulama secara nasional (Majelis Ulama Indonesia), wakaf, dan lainnya. Itu semua dilakukan dengan bingkai keagamaannya yang sangat kokoh.
Saat ini segudang agenda besar yang telah ditancapkannya belum banyak yang melihat secara detail, kecuali hanya diiedentikkan dengan posisi pahlawan nasional semata. Di luar itu menjadi garapan kita semua atas karya abadi dalam dan untuk bangsa ini yang sangat dicintainya. Ke depan usaha-usaha menginventarisasi karya al-maghfurlah sangat di tunggu untuk menjadi referensi bagi generasi setelahnya yang membangun bangsa ini dalam bingkai agama. Dari berbagai sumber.
Diposting oleh
lukmanul hakim
di
04.39