Rabu, 09 Januari 2008

Renungan Pilkada Kota Bekasi 2008

Pilkada Kota Bekasi yang bakal digelar 27 Januari besok bakal menentukan masa depan warga Bekasi. Meski warga Kota Bekasi saat ini banyak dihuni dari banyak suku dan etnis namun tak dapat dibantah bila penduduk asli kota bekasi adalah warga Betawi (betawi ora). Pilkada ini merupakan babak baru dan menuntukan masa depan warga betawi di tanah kelahirannya untuk masa depan.


Tiga pasang calon walikota dan wakil walikota yang bertarung saat ini adalah – sesuai nomor urut- Awing-Rony, Mukhtar Muhammad-Rahmat Effendi dan M Syaikhu-Kamaluddin. Tiga pasang calon tersebut, bila dilihat dari sudut kebekasian, suka atau tak suka, hanya Awing dan Kamaluddin serta Rahmat yang terbilang kelahiran Bekasi “asli.” Sisanya warga bekasi yang memiliki kelahiran luar bekasi. Ini bukan kampanye fitnah tapi fakta.
Soal peluang mereka dalam Pilkada ini tentu memiliki kans yang sama alias memiliki basis masing-masing yang dikaitkan dengan partai yang mengusung mereka. Misalnya, Awing-Ronny mengandalkan massa Partai Demokrat, Mukhtar-Rahmat mengandalkan massa Partai Golkar, PDIP, PAN, PPP, PBB dan lainnya, sedangkan Syaikhu-Kamaluddin mengandalkan massa Partai Keadilan Sejahtera. Selebihnya mereka menggaet massa dari Ormas atau warga Bekasi itu sendiri.
Di lihat dari budaya politik dan keagamaan warga bekasi terdapat polarisasi yang tajam. Satu sisi diisi oleh warga pendatang yang umumnya berasal dari aneka ragam suku dan jumlah mereka lebih besar dari warga asli kota bekasi. Perbandingannya, kira-kira, satu perempat antara warga asli Betawi dengan pendatang. Perbedaan yang amat jauh itu ditandai dengan padatnya lokasi perumahan modern yang menjamur di seantero Kota Bekasi yang dihuni eks warga Jakarta atau sekitarnya yang terlalu padat dan memilih tinggal di Kota Bekasi. Sedangkan warga Betawi tinggal di kawasan kampung yang tak tersentuh oleh perumahan atau yang biasa disebut “kampung udik.”
Sisi budaya keagamaan warga Betawi adalah Islam, Islam yang sedikit fanatik dan sedikit keras dalam beragama. Sementara praktek ibadah keseharian mirip dengan tradisi amaliyah Nahdlatul Ulama. Tradaisi tahlil dan kunut serta wirid usai solat. Ini fakta yang dianut umumnya orang Betawi di Kota Bekasi.
Soal amaliyah ibadah bagi orang betawi sudah final, malah masih banyak para orang tua yang tak setuju bila kebiasaan mereka ditinggalkan oleh anak cucu mereka. Karena saking kuatnya hal itu, mereka lebih memilih tak mengaku saudara atau anak bila mereka mati tak ditahlilin atau tak diajiin di depan makamnya oleh anak cucuk mereka bila mati kelak.
Kembali ke Pilkada Kota Bekasi 2008 ini, tentu semua orang ingin perbaikan di lini pemerintahan dan nasib hajat hidup setiap orang terutama warga asli betawi yang begini-begini aja. Pilihan atas calon yang jujur, bersih, profesional, paham akan budaya setempat dan cakap dalam memimpin itu pasti urusan nomor pertama. Tapi, perlu diingat mereka juga ingin tradisi budaya mereka tetap langgeng sampai kiamat. Sebab kecintaan pada seni dan budaya sendiri itu kodrat yang ada dalam setiap diri setiap manusia. Tegasnya lagi, mampukah semangat Betawi yang baik dapat menginspirasi kebijakan pembangunan Kota Bekasi ke depan.
Ini semua malah bersama yang perlu disikapi dengan arif oleh para calon. Suara warga asli ini perlu diarifi sebaik mungkin. Pada satu sisi mereka ingin kemajuan dan perubahan namun sisi lain tradisi sosial budaya dan budaya keagamaan mereka tetap bertahan di tengah perubahan yang makin gencar mengancam warga asli. Ini tak mudah saudara?

Tidak ada komentar: