Kamis, 28 Februari 2008

Kopiah Sebagai Simbol Patriotisme


KOPIAH adalah tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6 sampi 12 Cm. Dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Di tempat lain kopiah juga disebut sebagai songkok ada juga yang menyebut peci. Kopia ini sudah cukup lama dipakai oleh masyarakat Islam Nusantara terutama kalangan pesantren.

Dikisahkan bahwa seorang santri Sunan Giri Gresik dikenal sebagai raja cengkeh, karena kalau pulang ke kampung halamannya Maluku selalu membawa kopiah, sambil menyiarkan Islam di daerah yang dulu dikenal dengan nama Hitu itu membawa kopiah, setiap sebuah kopiah diganti oleh masyarakat setempat dengan cengkih yang banyak sekali, sehingga ketika kembali ke pesantren Giri santri tersebut membawa cengkih yang amat banyak, yang sangat laku di Gresik. Demikian juga santri Giri yang pulang ke daerah asalnya juga selalu membawa kopiah, sehingga tutup kepala yang satu ini menyebar di seluruh penjuru Nusantara.
Kalangan Islam pesantren mewajibkan tidak hanya kalangan santri tapi pemeluk Islam pada umumnya untuk selalu memakai tutup kepala yang digunakan sebagai bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang, atau minimal sebagai bentuk kelaziman. Kitab Ta’limulmuta’alim misalnya sangat menekankan untuk selalu memakai tutup kepala dalam kehidupan. Oleh pesantren tidak diterjemahkandalam bentuk sorban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.
Oleh karena itu santri tidak pernah melepas peci, demikian juga saat menjalankan sembahyang masyarakat Islam selalu menggunakan kopiah, dianggap kurang utama bila menangalkannya. Bahkan santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul (tidak memakai tutup kepala) dan itu kemudian diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama, aturan dan pelajaran. Dengan demikian salah satu bentuk tradisi pesantren adalah tradisi memakai kopiah hingga saat ini, walaupun beberapa pesantren modern mulai meningalkannya.
Penggunaan kopiah sebagai identitas kiai itu semakin marak sejalan dengana semakin meluasnya Islam baik oleh para wali dan ulama maupun kiai di berbagai tempat, sehingga mereka yang sudah santri itu meneguhkan identitasnya dengan emakai kopiah berwarna hitam itu. Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa bagi santr atau orang Islam yang belum menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan memakai peci haji. Karena itu bila ada orang belum haji tentu sangat malu dan dicela ketika memakai peci haji warna putih. Mereka itu tahu adat dengan demikian mereka tetap mengunakan peci hitam.
Pada awal pergerakan Nasional 1908 kebanyakan para aktivis masih memakai destar dan tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat, tetapi seiring dengan meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, yang menolak bahasa kromo, sebagaimana yang dikembangkan oleh Tjokroaminoto aktivis Sarekat Islam (SI) yang berasal dari Madiun dan bermarkas di Surabaya yang merupakan kota santri. Sehari-hari Cokro menakai tradisi ini. Dengan sendirinya penampilan tokoh idola yang selalu berkopiah itu menjadi anutan kaum pergerakan baik yang santri dan kalangan priyayi. Apalagi para murid Cokro sendiri termasuk Soekarno yang dulunya masih memakai blangkon kini turut memakai kopiah.
Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional atau kopiah nasional, sebagai identitas nasional yang dipelopori oleh kaum pergerakan. Sebagai orator yang ulung Soekarno tampil sebagai peraganya sendiri, yang tampil sangat prima dan mempesona, karena itu para aktivis dan priyayi mulai menggunakan kopiah, tidak hanya sebagai simbol Islamisme tetapi juga sekaligus sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang berbeda dengan para priyayi atau para ambtenar yang menjadi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, di mana NU mulai sangat aktif melibatkan diri dalam merespon perkembangan dunia luar baik nasional maupun internasional. Saat itu NU mengakui Nasioalisme Hindia Belanda itu, pada saat yang sama membolehkan warganya untuk memakai pantalon, asal masih memakai kopiah, agar identitas kesantriannya masih tampak, sehingga masih bia dibedakan dengan kolonial Belanda.
Kaum pergerakan yang dalam acara resmi baik rapat maupun perundingan selalu memakai peci. Kebiasaan itu berkembang menjadi kelaziman yang tidak pernah ditinggalkan, karena itu bila ada ada tokoh yang tidak memakai kopiah pasti menjadi rasanan para aktivis lainnya. Ketika Muhammad Hatta mewakili Indonesia dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Hag, 27 desember 1949, Hatta digunjing oleh para aktivis lainnya sebagai blootshoofd (tanpa kopiah), sehingga ciri khas Keindonesiaannya tidak ditampilkan, yang diharapkan bisa memberi garis tegas antara nasionalisme dan kolonialisme.
Bung Karno adalah salah seorang penghobi berat kopiah, karena itu ia memilih bahas sendiri untuk pembuatan kopiah dengan beludru terbaik dari luar negeri. Biasanya bila kelihatan kopiah menteri atau koleganya telah lusuh diberinya bahn beludru itu untuk dibawa ke penjait khusus. Bahkan ketika kekuasannya telah diujung tandauk ia masih tenag bersama KH Saifuddin Zuhri berbincang tentang identitas nasional itu. Sewaktu pulang kiai itu diberi dua meter beludru yang menurut Bung karno bisa digunakan untuk membuat enam puah kopiah.
Selama masa Indonesia merdeka sampai akhir orede baru kopiah yang telah menjadi identitas nasional dipakai oleh semua pejabat tinggi negara dalam acara resmi. Termasuk para kontingen olah raga atau Paskibraka, bahkan wanitapun memakai kopiah. Presiden atau menteri dalam kunjungan ke luar negeri selalu menampakkan identitas ini. Tetapi setelah reformasi, terutama ketika liberalisme telah merambah dalam kesadaran beberapa pejabat termasuk presiden, tidak lagi menggunakan kopiah dalam acara resmi.
Walaupun kopiah telah menjadi identitas nasional dipakai siapa saja baik abangan, kalangan priyayi termasuk pengikut agama non Islam, teapi Kopiah masih menjadi identitas kesantrian yang kuat, sebab dalam kopiah di lingkunagn ini menjadi pakaian sehari-hari, setidaknya untuk sembahyang. Karena itu industri kopiah di Nusantara ini masih dikuasai kalangan santri dan tumbuh di kota-kota santri yang berbasisi nahdliyin.
Sejak zaman Sunan Giri hingga saat ini Gresik tetap terdepan dalam industri kopiah, hal itu kemudian diikuti beberapa kota lain seperti Kudus, Pekalongan Tasik dan sebagainya. Saat ini produsen kopiah terkenal adalah Awing, Muslimin selain itu juga banyak produk yang lebih rendah yang diproduksi dalam rumah tangga tanpa merek Ini menunukkan bahwa identitas nasional itu masih dijaga oleh para santri dan pengrajin di masyarakat. dari b
erbagai sumber

Read More..

Selasa, 26 Februari 2008

Novel Kolonel Noer Ali Diluncurkan

Sastra Khas Bekasi Pun Menggeliat
Acara ini memiliki spirit seperti yang ada dalam slogan “revolusi kebudayaan” di Perancis yang monumental itu. Sebab dari sini, lounching buku, tengah dimulai kembali pembacaan ulang atas sosok, sepak terjang dan ajaran yang disampaikan Almaghfurlah, KH Noer Ali. Penemuan data baru dan perdebatan pun kembali terjadi.
Buku ini sedikit berbau ‘bantahan’ atas karya sebelumnya yang ditulis oleh sejarawan Bekasi, Ali Anwar atau karya lainnya yang mengulas soal sosok KH Noer Ali. Bisa jadi Ben Thayyeb Anwar Layu yang memiliki nama asli H Muhtadi Muntaha Lc ingin mengupas kembali soal ‘pernik’ KH Noer Ali dan kiprah para koleganya dalam membantu perjuangan Noer Ali namun kurang banyak ‘disebut’ dalam karya tersebut.
Buku ini setidaknya menjadi antitesa dari buku-buku sejenis yang lebih dahulu lahir soal KH Noer Ali. Ke depan diharapkan semakin banyak buku yang lahir dalam masalah yang sama maka akan lebih lengkap informasi dan data yang didapat pembaca. Dan bukan sebaliknya, sang penulis pertama akan terusik otoritasnya.
Buku ini lanyak dibaca bagi siapa saja terlebih bagi yang ingin mengenal secara luas tentang sosok KH Noer Ali. Ulasannya menggunakan khas bahasa betawi pinggir “ora” yang dikemas dalam bentuk novel. Hanya sekitar 100 halaman dan ukurannya sederhana sehingga memudahkan untuk dibawa kemana-mana.
Sekedar catatan, penggunaan kata “Kolonel” itu sendiri kurang didukung oleh data resmi. Corak penulisannya bergaya antologi yang sedikit menggangu kenyaman pembaca yang ingin tahu secara lengkap namun akan terputus lantaran dimulainya cerita baru yang relatif tak ada kaitannya. Di samping itu, gaya pembahasannya mencitrakan terlalu semangat sehingga ada beberapa hal yang disebut berulang-ulang.
Yang pasti buku ini mampu mengubah tradisi intelektual di Bekasi yang bergaya oral namun kini mulai mengarah pada penulisan buku. Buku ini, pada sisi tulisan akan menjadi catatan dalam banyak hal seperti geliat sastra ala bekasi dan tradisi inventarisasi data dalam bentuk buku. Perubahan kebudayaan ini idealnya direspon positif oleh oihak terkait.
Acara ini dihadiri Cawagub Jawa Barat Dedi Yusuf serta KH M Abid Marzuki, IKRA Attaqwa Pusat dan tokoh masyarakat. Sebagai tuan rumah M Abid dalam sambutannya mengulas soal kiprah KH Noer Ali diluar sebagai pejuang soal ide “mosi Integral M Natsir” serta kelahiran organisasi Majelis Ulama Indonesia yang sarat dengan aroma nasionalistik. Di luar itu, M Abid menyinggung soal letak geografis Bekasi ditinjau dari sudut geohistoris yang katanya Babad tanah Bekasi jauh lebih tua umurnya dari kerajaan Majapahit. Apa iya pak! Lukmanul Hakim

Read More..

Pilkada Riau Lesu Darah

Gairah menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau tahun ini terkesan tak bersemangat alias lesu darah. Berbeda dengan Pilkada tahun sebelumnya yang diadakan sekitar Oktober 2003. Saat itu, aroma Pilkada sangat terasa. Mulai kehadiran sesumbar dari bakal calon (balon), pengamat dan instrumen partai politik pengusung terlihat jelas arahnya. Kali ini, bisa jadi kesunyian itu justru akibat dari konstelasi politik dan hukum belakangan ini tengah memanas dan membuat ‘nyali’ balon sedikit ketar ketir untuk memastikan dirinya tampil dalam Pilkada.
Pastinya waktu penyelenggaraan Pilkada Riau tak lebih dari satu tahun. Malah, bila dihitung hanya tinggal beberapa bulan lagi. Sementara kondisi kali ini terbilang beda dan membuat semua orang bertanya-tanya dan melahirkan spekulasi. Kondisi ini juga dapat diistilahnya bagi warga Jakarta, boro-boro ada spanduk, seminar, deklarasi, perang wacana, demontrasi antar pendudukung dan orasi namun mencari orang yang berani mengaku balon saja sulit didapat.
Spekulasi atas kaitan tersebut dapat dibenarkan. Buntutnya mereka yang berhasrat jadi kandidat Cagub dan Cawagub Riau jadi ngeper. Meski tak bermaksud mendahului, sebut saja kasus korupsi APBD Riau yang kini kasusnya masih ditangani pihak berwenang. Kasus keterlibatan pejabat di Riau dalam penebangan hutan (ilegal logging). Dua kasus ini sempat menghiasi media massa nasional dan malah masalah tersebut sempat merembet hingga ke anak buah jajaran SBY-JK di kabinet. Karena begitu besarnya dosa yang dilakukan mereka sepertinya kurang percaya diri alias ‘ga PeDe’ untuk tampil ke publik sebagai orang yang bakal dipilih menjadi orang nomor satu di negeri lancang kuning.
Bagi mereka hal ini akan membuat serba salah. Bakal calon melakukan gerakan diam-diam juga akan salah karena masyarakat ingin kenal dan tahu mutu dari para calon yang bakal tampil. Sebaliknya, berterus terang justru hanya akan menjadi cacian dan sasaran tembak lagi dari saingannya karena masih ada kaitan dangan kasus yang telah disebut diawal. Parahnya lagi, bagi yang telah ditetapkan sebagai ‘tersangka’ justru menjadi bumerang dan hanya bentuk menggali lubang kubur saja pada Pilkada bila terlalu cepat naik naik panggung.
Masih soal buntut dari kesunyian ini justru berakibat pada kurang sehatnya iklim proses pendewasaan masyarakat dalam berpolitik. Pesta demokrasi yang dilakukan secara langsung bakalan kurang dinikmati sepenuhnya sebagai makna dari kebebasan individu dalam berpolitik dan kebebasan akan hak dasar bagi setiap warga negara. Kesempatan ini juga dapat mendorong publik untuk bersikap apatis dan apolitis dalam masalah pembangunan dan tanggung jawabnya dalam masa depan Riau. Kondisi ini juga bakalan langgeng bila situasi Pilkada tahun ini masih tak bergairah dengan indikator tak ada balon yang tampil jelang Pilkada yang waktunya hanya dalam hitungan bulan saja.
Kesenyapan ini mendorong suasana di mana masyarakat akan sulit mengenal calonnya dalam Pilkada secara baik. Laksana pepatah klasik ‘jangan membeli kucing dalam karung.’ Pasalnya, calon belum ada mau mengaku dan masih berstatus gelap sementara waktu perlaksanaannya sangat dekat.
Menurut kabar yang beredar di kalangan yang sangat terbatas, bakal kandidat yang akan tampil hanya baru terjaring sebanyak tiga pasang. Sebut saja mantan Gubri yang kini anggota DPR RI, Saleh Djasit berpasangan dengan Ketua Partai Amanat Nasional, Topan Andoso Yakin. Gubri Rusli Zainal dengan Raja Mambang Mit yang bakalan didukung Partai Golkar. Serta Bupati Indragiri Hulu yang juga Ketua Partai Demokrat Raja Thamsir Rachman dengan Wagubri Wan Abu Bakar. Pasangan terakhir bakalan didukung koalisi Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan. Tiga pasang balon tersebut pun relatif tak mau tampil dihadapan mata masyarakat meski di kalangan tertentu sudah tak asing lagi.
Akankah suasana seperti ini masih bertahan lama sementara waktu pelaksanaan makin dekat. Di pihak lain, warga Riau ingin segera tahu siapa yang akan mereka pilih sebagai orang yang diamanatkan soal upaya perbaikan nasib dan peningkatan kersejahteraan ke pundak pemimpinnya. Kalau begitu, dengan pertimbangan waktu yang kian dekat, mari kepada semua orang bahwa kans untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam Pilkada memiliki peluang yang sama. Soal hasil itu urusan nanti namun yang terpenting balon jangan sampai lesu darah dahulu jelang Pilkada yang telah di depan mata.

Read More..

Jumat, 22 Februari 2008

Pelantikan KNPI Kab Bekasi Mulus

Apel akbar dan pelantikan pengurus DPD KNPI Kabupaten Bekasi periode 2008-2012 berlangsung di lapangan depan kantor Pemda Kabupaten Bekasi berjalan lancar. Usai melantik, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan berharap KNPI harus banyak berbuat untuk masyarakat dan menjauhi perangai peramanisme. “Budaya premanisme harus ditinggalkan,” katanya.
Acara yang dihadiri sedikitnya dua ribu peserta tak merasa terganggu dengan kedatangan massa yang demontrasi. Mereka minta acara tersebut batal dilaksanakan lantaran diklaim Danny kurang perduli dengan urusan Bekasi. Danny menjawab kepada pers bahwa apa yang dilakukan wajar dalam negara demokrasi. “Biasa dalam era demokrasi saat ini,’ singkat Danny usai acara yang ditemani Bupati Bekasi HM Saaduddin MM dan unsure Muspida.
Ketua DPD KNPI Kabupaten Bekasi Rahmat Damanhuri SH, mengontari aksi demontrasi pada acara yang digelarnya sudah tergolong lumrah. “Itu biasa pak,” katanya. Tapi dirinya bangga dengan kedatangan gubernur dan kesediaannya untuk melantik yang kata dia beda dengan KNPI lain di Jawa Barat dalam kegiatan serupa.
Menurut sumber media ini, aksi demontrasi di Bekasi umumnya dilakukan oleh pemain lama dan ‘one man show’ yang tak banyak berpengaruh bagi kemaslahatan orang banyak. Rata-rata demontrasi dilakukan untuk kepentingan pribadi dan politis.


Read More..

Orang Betawi Setelah Tahun 2000

Bicara Betawi atau lebih jelasnya suku Betawi saat ini kembali hangat untuk dibicarakan. Hanya saja tingkat penekanannya berbeda. Bila dahulu menyebut etnis asli penduduk Jakarta ini hanya untuk kepentingan budaya atau pelengkap kota Jakarta semata kini bicara Betawi justru menukik pada jati diri dan produk lain yang terkait dengannya. Pembicaraan ini tak terkait dengan urusan politik dalam arti efek kemenangan Fauzi Bowo sebagai Gubernur Jakarta yang berdarah Betawi.
Di lapangan pembicaraan soal Betawi relatif melebar dan rentan dengan pembiasan di sana-sini. Hal itu terjadi, kata banyak orang, akibat ketidaklengkapan data dan informasi yang didapat sehingga kesimpulan yang dibuat pun menjadi melenceng. Pencitraan soal betawi pun menjadi lain dari betawi itu sendiri. Ataukah memang apa yang dikatakan orang soal betawi saat ini ada benarnya. Seperti ‘kaum betawi kampungan,’ ‘bukan penduduk asli Jakarta’ atau ‘orang betawi tak berpendidikan’ dan segudang pencitraan negatif lainnya. Setuju atau tidak, ini pendapat yang kuat dan beredar di telinga masyarakat.
Lalu siapa betawi sebenarnya, banyak buku dan tulisan yang muncul beberapa tahun belakangan ini mengulas soal potret orang betawi atau kebetawian. Sebut saja kumpulan tulisan dari wartawan senior Alwy Shahab yang berseri. Buku tersebut bisa jadi sedikit dipercaya lantaran dirinya orang betawi dan melakuakn penelitian mendalam serta mampu mengenal budayanya secara baik. Terlihat dari mutu tulisannya yang padat dengan informasi berharga soal betawi. Dalam buku tersebut, suku betawi diakui sebagai suku asli Jakarta namun dalam perjalannya suku betawi banyak dipengaruhi oleh banyak kultur budaya asing. Sebut saja, budaya Arab, China, Potugis dan lainnya. Pendapat ini ada benarnya karena dapat dibuktikan kenyataannya di lapangan.
Bila kita penggal babak sejarah betawi setelah tahun 2000, bicara betawi banyak dipengaruhi dengan urusan formal. Seperti kelahiran berbagai organisasi yang mengatasnamakan orang betawi atau betawi. Seperti dikatakan pengurus badan musyawarah masyarakat betawi (bamus Betawi) baru-baru ini, setidaknya tercatat mendekati 80 organisasi yang mengatasnamanakan betawi. Menariknya, kelahiran organisasi tersebut tak jauh dari tahun 2000-an.
Apakah sebelum tahun itu tak ada orang betawi yang ‘bisa’ membuat organisasi serupa? Atau masalah kesempatan dan waktu saja yang belum mendukung. Ini perubahan dahsat bagi orang betawi yang mendiami wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Paling tidak kata salah seorang pengurus dan pendiri Ormas betawi, menurutnya, era tahun 2000-an merupakan era kebangkitan orang betawi dari tidur panjangnya. Dahulu, orang betawi selalu dipinggirkan baik dalam kebijakan formal maupun kemasyarakatan. Sekarang orang betawi mulai unjuk gigi lewat kemunculan organisasi. Paling tidak kata dia, lewat inilah dirinya mampu berperan di Jakarta dan dapat membela hak-hak orang betawi yang dahulu terpinggirkan.
Saat ini, gubernur Jakarta telah dipegang oleh orang betawi. Kehadiran Foke menjadi orang nomor satu di Jakarta sedikit banyak mendorong komunitas ras betawi sedikit ‘diorangin.’ Maksudnya adalah penghargaan untuk orang betawi mulai naik ‘satu kelas’ dari kesan ketertinggalan yang melekat selama ini.
Masalah berikutnya, apakah dengan kemunculan banyak organisasi betawi plus gubernur Jakarta dari orang betawi justru akan menampakan orang betawi seperti jadi dirinya yang sebenarnya. Atau menjadi suku ‘predator’ yang siap memangsa suku lainnya di kampung sendiri. Ini tentu jangan sampai terjadi sebab siapan pun tahu orang betawi selalu ‘welcome’ alias terbuka kepada siapa saja untuk sejajar di sampingnya asalkan harge diri gue kaga lu usik-usik.









Read More..